Setiap Nabi Menggembala Kambing

Setiap Nabi Menggembala Kambing 

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggembala kambing bersama saudara susuannya di perkampungan Bani Sa’ad, lalu ketika itu malaikat datang dan membelah dada beliau.

Dalam hadits disebutkan,

… فَبَيْنَمَا أَنَا مَعَ أَخٍ لِي خَلْفَ بُيُوْتِنَا نَرْعَى بِهِمَا لَنَا إِذْ أتَانِي رَجُلاَنِ – عَلَيْهِمَا ثِيَابٌ بِيْضٌ- بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مَمْلُوْءٍ ثَلْجًا ثُمَّ أَخَذَانِي فَشَقَّا بَطْنِي ثُمَّ اسْتَخْرَجَا قَلْبِي فَشَقَّاهُ فَاستخْرَجَا مِنْهُ عَلَقَةً سَوْدَاءَ فَطَرَحَاهُ ثُمَّ غَسَلاَ قَلْبِي وبَطْنِي بِذَلِكَ الثَّلْجِ حَتَّى أَنْقَيَاه ُ…

Ketika aku sedang berada di belakang rumah bersama saudaraku (saudara angkat) menggembalakan anak kambing, tiba-tiba aku didatangi dua orang lelaki—mereka mengenakan baju putih—dengan membawa baskom yang terbuat dari emas penuh dengan es. Kedua orang itu menangkapku, lalu membedah perutku. Keduanya mengeluarkan hatiku dan membedahnya, lalu mereka mengeluarkan gumpalan hitam darinya dan membuangnya. Kemudian keduanya membersihkan dan menyucikan hatiku dengan air itu sampai bersih.” (Lihat Shahih As-Sirah An-Nabawiyah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hlm. 16.)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ » . فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ « نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ »

Tidak ada Nabi kecuali pernah menjadi penggembala kambing.” Mereka para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Iya, saya telah menggembala dengan imbalan beberapa qirath (mata uang dinar, pen.) dari penduduk Mekah.” (HR. Bukhari, no. 2262)

Nabi lain yang menjadi penggembala kambing adalah Nabi Musa ‘alaihis salam sebagaimana disebutkan dalam ayat,

قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى.

Musa berkata, “Ini adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” (QS. Thaha: 18)

Faedah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Menjadi Pengembala Kambing

1- Kenapa sampai para nabi menjadi penggembala kambing? Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hikmah di balik penggembalaan kambing sebelum masa kenabian tiba adalah agar mereka terbiasa mengatur kambing yang nanti dengan sendirinya akan terbiasa menangani problematika umat manusia. (Fath Al-Bari, 4:441). Kalau sukses menggembala kambing, maka nantinya akan mudah mengatur manusia kelak saat menjadi seorang nabi.

2- Dengan menggembala kambing akan dilatih untuk sabar dalam menyantuni dan mengayomi. Karena ketika kambing dalam jumlah banyak lantas terpisah, maka harus ada kemampuan untuk mengatur kambing-kambing tersebut karena ada yang sifatnya taat dan ada yang membangkang. Maka ada pengalaman mengatur orang yang punya tabiat yang berbeda. Demikian pula disebut oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 4:441.

3- Menunjukkan sifat tawadhu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau mau mengungkap masa lalu beliau yang hanyalah orang biasa. Biasanya jika seseorang dahulu miskin dan susah, kalau memiliki sifat sombong saat ini, ia tidak akan mau mengungkit masa lalunya.

4- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi penggembala kambing untuk mengajarkan bahwa seorang dai itu baiknya tidak bergantung pada orang lain. Seorang dai harus punya pekerjaan untuk mendukung nafkah diri dan keluarganya. Karena jika seseorang bergantung kepada orang lain, dakwahnya bisa jadi ada basa-basi. Karena bayaran, seorang dai akhirnya tidak boleh menyampaikan kebenaran karena harus menyesuaikan pada pesanan jamaah.

Ajaran Tawadhu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Tawadhu’ adalah ridha jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz-Dzari’ah ila Makarim Asy-Syari’ah, Ar-Raghib Al-Ash-fahani, 299).

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fath Al-Bari, 11:341)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia. (Lihat Syarh Shahih Muslim,  16:128)

Imam Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’ab Al-Iman, Al Baihaqi, 6:304)

Dai Menerima Amplop

Seorang dai sebagaimana dijelaskan sebelumnya harus mempunyai pekerjaan untuk bisa menafkahi keluarganya. Bagaimana jika seorang dai diundang lantas ia menerima amplop?

Allah Ta’ala berfirman,

اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 21)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan faedah untuk ayat di atas sebagai berikut.

Sudah sepatutnya bagi seorang dai yang berdakwah ikhlas karena Allah tidak menerima pemberian dari manusia dari harta walaupun ia diberi (bukan meminta). Karena itu akan merendahkan dirinya ketika menerima upah semacam itu karena ia berdakwah dan memberikan nasihat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak meminta upah (amplop), baik dengan omongan langsung atau lewat mimiknya. Maka ada yang menyampaikan nasihat begitu bagusnya dan ketika selesai ia meminta tarif untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan ini dan itu. Akhirnya petuahnya hanya dengan maksud mencari dunia.

Namun Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan bahwa kalau memang seorang dai dalam keadaan butuh, maka tidak mengapa ia mengambil amplop. Beliau berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

Sesungguhnya yang lebih pantas untuk diambil upah adalah dari pengajaran Al Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5737). LihatTafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat Yasin, hlm. 77-78.

Kesimpulannya, seorang dai baiknya tidak menerima amplop ketika ia berdakwah, ini demi memuliakan dirinya dan menjaga keikhlasan.

Ia bisa menerimanya ketika ia dalam keadaan butuh karena barangkali aktivitasnya hanya sibuk untuk berdakwah. Namun tentu saja yang paling baik adalah tidak memasang tarif, apalagi sangat-sangat tinggi.

Kita sendiri mesti berhusnuzan ketika ada dai yang berdakwah lantas menerima amplop mungkin karena ia butuh dan hanya sibuk dengan aktivitas dakwah saja.

Perintah Nabi untuk Memelihara Kambing

Dari Ummu Hani radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

اتَّخِذِى غَنَمًا فَإِنَّ فِيهَا بَرَكَةً

“Peliharalah kambing karena kambing itu penuh berkah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2304. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

Dari ‘Urwah Al-Bariqi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْإِبِلُ عِزٌّ لِأَهْلِهَا وَالْغَنَمُ بَرَكَةٌ وَالْخَيْرُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِي الْخَيْلِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Unta adalah suatu kebanggaan bagi pemiliknya, kambing (di dalamnya) ada barakah, dan kebaikan itu terikat pada jambul kuda hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 2805; Muslim, no. 1873)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّاةُ مِنْ دَوَابِّ الْجَنَّةِ

Kambing itu hewan yang ada di surga.” (HR. Ibnu Majah, no. 2306. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan, begitu pula Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 3752, 8:227-228.)

Ibnu Majah membawakan hadits-hadits di atas dalam Bab “Memelihara hewan gembalaan”.

Kaitan Wudhu, Shalat dan Kotoran Kambing

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْوُضُوءِ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ فَقَالَ « تَوَضَّئُوا مِنْهَا ». وَسُئِلَ عَنْ لُحُومِ الْغَنَمِ فَقَالَ « لاَ تَتَوَضَّئُوا مِنْهَا ». وَسُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ فَقَالَ « لاَ تُصَلُّوا فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيَاطِينِ ». وَسُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ فَقَالَ « صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai wudhu karena memakan daging unta, beliau menjawab, ‘Berwudhulah karena memakan daging unta.’ Beliau ditanya mengenai berwudhu karena memakan daging kambing, beliau menjawab, ‘Tidak perlu berwudhu karena memakan daging kambing.’ Beliau ditanya tentang shalat di tempat menderumnya unta, beliau menjawab, ‘Jangan shalat di tempat menderumnya unta karena unta biasa memberikan was-was seperti setan.’ Beliau ditanya tentang shalat di kandang unta, ‘Silakan shalat di kandang kambing, di sana mendatangkan keberkahan (ketenangan).’” (HR. Abu Daud, no. 184; Tirmidzi, no. 81; Ahmad, 4:288. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits di atas menunjukkan beberapa kesimpulan:

1- Memakan daging unta membatalkan wudhu. Inilah pendapat dari Imam Ahmad yang menyelisihi mayoritas ulama.

2- Memakan daging kambing tidak membatalkan wudhu.

3- Dilarang shalat di kandang unta di mana disebut dalam hadits bahwa unta itu dari setan, maksudnya adalah unta itu beramal seperti amalan setan dan jin, yaitu sering memberikan gangguan pada hati orang yang shalat.

4- Boleh shalat di kandang kambing. Imam Syafi’i menambahkan, kambing mendatangkan ketenangan dan keberkahan. Ketika ada yang shalat di kandang kambing, hewan itu tidak mengganggu dan tidak memutus shalat orang yang shalat. Dalam hadits ditunjukkan bolehnya shalat di kandang kambing dan tidak boleh shalat di kandang unta. Ini yang diringkas dari ‘Aun Al-Ma’bud, 1:231-232.

5- Hadits di atas juga jadi dalil tidak najisnya kotoran kambing. Karena orang yang shalat di kandang kambing masih boleh. Padahal di kandang tersebut tak lepas dari kotoran. Kambing adalah hewan yang halal dimakan. Maka dari sini para ulama mengeneralisir bahwa kotoran hewan yang halal dimakan itu suci, tidak najis.

Semoga menjadi pelajaran berharga.

Referensi:

  • Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  • Ar-Rahiq Al-Makhtum. Cetakan kesepuluh, Tahun 1420 H. Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darul Wafa’ dan Dar At-Tadmuriyah.
  • Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Abu ‘Abdirrahman Syaraful Haqq Muhammad  Asyraf Ash-Shiddiqi Al-‘Azhim Abadi. Penerbit Darul Fayha’.
  • Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.
  • Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah. Cetakan pertama, tahun 1422 H. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
  • Sunan Ibnu Majah. Cetakan Tahun 1430 H. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Qazwini. Penerbit Darus Salam.
  • Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat Yasin. Cetakan kedua, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsaraya

Referensi Terjemahan:

Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.

Tidak ada komentar