Syarat Wajib Haji Harus Mampu

Syarat Wajib Haji Harus Mampu 

Syarat wajib haji adalah istito’ah, punya kemampuan. Apa syarat wajib haji itu mampu? Mampu dari sisi harta sajakah ataukah fisik pula? Silakan lihat pembahasan Bulughul Maram berikut ini.

وَعَنْ أَنَسٍ ( قَالَ: { قِيلَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ, مَا اَلسَّبِيلُ? قَالَ: ” اَلزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ ” } رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, وَالرَّاجِحُ إِرْسَالُهُ  .

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sabil (jalan) itu?’ Beliau bersabda, ‘Bekal dan kendaran.’” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni. Hadits ini sahih menurut Al-Hakim. Hadits ini mursal menurut pendapat yang kuat). [HR. Ad-Daruquthni, 2:216; Al-Hakim, 1:442. Hadits ini dinyatakan sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya. Imam Adz-Dzahabi mendiamkannya. Namun, Imam Ad-Daruquthni menyatakan bahwa hadits ini memiliki ‘illah atau cacat, dianggap hadits ini mursal dari Al-Hasan].

Hadits #713

وَأَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عُمَرَ أَيْضًا, وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ

Hadits tersebut juga dikeluarkan oleh Tirmidzi dari hadits Ibnu ‘Umar. Dalam sanadnya ada kelemahan. [HR. Tirmidzi, no. 813, Tirmidzi menyatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa tidak ada hadits sahih dalam hal ini].

Faedah hadits

Pertama: Dalam ayat disebutkan bahwa syarat wajib haji adalah adanya kemampuan sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan mampu melakukan perjalanan adlaah: (1) sehat badan, (2) bekal uang yang cukup, (3) ada kendaraan tanpa ada bahaya. (Tafsir Ibnu Jarir, 7:38; As-Sunan Al-Kabiir oleh Imam Al-Baihaqi, 4:331. Sanad hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:167].

Karena haji itu terkait dengan jarak yang amat jauh. Syarat kemampuan ini mesti ada sebagaimana jika seseorang mau pergi jihad disyaratkan kemampuan.

Menurut ulama Syafiiyah, Hanafiyyah, dan Hambali, syarat mampu adalah memiliki kemampuan zaad (bekal) dan roohilah (kendaraan).

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam (5:168), istitho’ah adalah lafaz umum, bukan mujmal yang tidak perlu adanya bayan (penjelasan). Siapa saja yang punya kemampuan dengan harta dan badan, maka ia disebut mampu, masuk dalam lafaz umum ini.

Kedua: Hadits ini membicarakan perbekalan hakiki, bukan perbekalan takwa. Perbekalan takwa adalah kelebihan dari nafkah diri dan keluarga, hingga perbekalan kendaraan ketika pergi dan pulang. Sedangkan istitho’ah yang dimaksudkan dalam ayat Al-Qur’an adalah zaad (bekal) dan roohilah (kendaraan).

Perincian kemampuan ini disebutkan dalam kitab fikih sebagai berikut.

Syarat Istitha’ah (Kemampuan) dalam Haji

Jika seorang laki-laki tidak mendapati ar-raahilah (kendaraan), apakah ia wajib berhaji. Ada rincian:

  • Jika antara ia dan Makkah berjarak dua marhalah (84km) atau lebih, ia tidak wajib berhaji, baik ia mampu berjalan ataukah tidak.
  • Jika antara ia dan Makkah kurang dari dua marhalah (84lm), ia wajib berhaji jika mampu berjalan. Jika tidak mampu berjalan, haji tidaklah wajib untuknya.
  • Wanita barulah wajib berhaji jika ada kendaraan. Jika tidak ada kendaran, haji tidaklah wajib secara mutlak.

Istitha’ah adalah syarat dalam haji. Istitha’ah ada dua macam:

Pertama: Istitha’ah bin nafsi (pada diri sendiri), asalkan memenuhi tujuh syarat:

  1. Memiliki bekal pergi dan pulang.
  2. Memiliki kendaraan yang baik untuk dikendarai.
  3. Memiliki air dan makanan untuk hewan di tempat yang biasa dengan harga sepadan.
  4. Mampu naik kendaraan tanpa ada kesulitan berat.
  5. Mampu melakukan perjalanan.
  6. Perjalanan aman; secara perkiraan besar, perjalanannya itu selamat.
  7. Adanya suami atau mahram atau wanita yang tsiqqah (yang terpercaya) ketika ada wanita yang ingin berangkat.

Catatan: Wanita boleh berhaji sendirian untuk menunaikan kewajiban Islam jika ia yakin dirinya aman.

Kedua: Istitha’ah lil ghair (pada yang lain), yaitu: pada mayat dan pada orang ‘aajiz (tidak mampu, tidak mampu berangkat haji, maka ia mencari pengganti).

Kemampuan atas mayat ada tiga keadaan:

  1. Ia sudah wajib berhaji di masa hidupnya, ia wajib dihajikan dari harta peninggalannya. Jika ia tidak memiliki harta peninggalan, ahli waris disunnahkan menghajikannya. Dalam hal ini, yang bukan mahram (ajnabi) boleh menghajikan walau tanpa izin.
  2. Ia tidak terkena wajib haji pada masa hidupnya, maka kerabat atau yang bukan mahram (ajnabi) disunnahkan menghajikannya, baik ada wasiat ataukah tidak.
  3. Ia sudah pernah berhaji untuk dirinya, apakah ia perlu dihajikan lagi dengan status sunnah? Menurut pendapat al-mu’tamad: Ia dihajikan jika memang ada wasiat. Jika tidak ada wasiat, maka tidak perlu menghajikan.

Kemampuan atas ‘aajiz, orang yang tidak bisa lagi berhaji, maka ia bisa digantikan oleh yang lain dengan syarat:

  1. Dengan izin orang yang ‘aajiz.
  2. Orang yang menggantikan itu dipercaya.
  3. Yang menggantikan sudah pernah berhaji untuk dirinya sendiri.

Lihat bahasan Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii. Syaikh Dr. Labib Najib ‘Abdullah Ghalib.

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 5:166-168.
  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:569-570.
  • Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii (Qism Al-‘Ibaadaat). Syaikh Dr. Labib Najib ‘Abdullah Ghalib. hlm. 215-216. 

Tidak ada komentar