Doa Meminta Petunjuk, Ketakwaan, Iffah dan Kekayaan
Doa Meminta Petunjuk, Ketakwaan, Iffah dan Kekayaan
Pembaca yang budiman, kali ini pembaca sekalian akan kami perkenalkan dengan sebuah doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang ringkas namun padat maknanya. Demikianlah memang, salah satu keutamaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah beliau diberikan jawami’ al kalim, yaitu kemampuan untuk berkata-kata ringkas namun padat dan luas maknanya. Demikian pula dalam keumuman doa-doa beliau.
Berikut ini doanya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam beliau biasa berdoa:
/Allaahumma innii as-alukal hudaa wat tuqaa wal ‘afaafa wal ghinaa/
(Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, keterjagaan, dan kekayaan)”
(HR. Muslim no. 2721, At Tirmidzi no. 3489, Ibnu Majah no. 3105, Ibnu Hibban no. 900 dan yang lainnya).
Derajat hadits
Hadits ini shahih tanpa keraguan, semua perawinya tsiqah. Dan hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, yang sudah cukup menjadi indikasi shahihnya hadits tersebut.
Penjelasan hadits
Dalam doa ini, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kita untuk memohon 4 hal, yaitu:
- Al Hudaa (petunjuk)
- At Tuqaa (ketaqwaan)
- Al ‘Afaaf (keterjagaan)
- Al Ghina (kekayaan)
Namun para ulama menjabarkan lebih luas makna dari 4 hal yang kita minta di sini. Al Mulla Ali Al Qari menjelaskan makna-makna: “Al Hudaa, artinya hidayah yang sempurna. At Tuqaa, artinya ketaqwaan yang menyeluruh. Al ‘Afaaf, dengan ‘ain di-fathah, artinya al kafaaf (kecukupan rezeki). Sebagian ulama mengatakan artinya adalah al iffah (terjaganya diri dari maksiat). Sebagian ulama mengatakan artinya keterjagaan diri dari yang haram. Dalam kamus Ash Shihah, ya’ifu – ‘affan, ‘iffatan, ‘afaafan artinya kaffun (kecukupan). Dan dinukil dari Abul Futuh An Naisaburi bawah ia berkata: ‘Al Afaaf artinya keshalihan jiwa dan hati’. Adapun al ghinaa artinya kekayaan hati, yaitu merasa cukup dari apa yang ada pada manusia” (Mirqatul Mafatih, 5/1721).
Imam An Nawawi juga menjelaskan, “Al ‘Afaaf dan al iffah artinya terhindar dari hal-hal yang tidak halal dan terjaganya diri dari hal tersebut. Adapun al ghinaa di sini adalah kekayaan jiwa, dan merasa cukup dari apa yang ada pada manusia dan apa yang ada di tangan mereka” (Syarah Shahih Muslim 17/41).
Ibnu ‘Allan Asy Syafi’i menjelaskan, “Al Hudaa, dengan ha di-dhammah dan dal di-fathah, artinya lawan dari kesesatan. At Tuqaa, dengan ta di-dhammah, maknanya taqwa. Yaitu isim mashdar dari ittaqaytullah itqaa-an, artinya adalah menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Al ‘Afaaf, dengan ‘ain di-fathah dan dua huruf fa’, mashdar dari ‘affa, artinya terhindar dari segala maksiat dan keburukan. Al Ghinaa, dengan ghain di-kasrah dan dalam bentuk qashr, artinya tidak ada perasaan merasa butuh kepada makhluk” (Dalilul Falihin, 7/275).
Dengan demikian jika kita ringkas dari penjelasan-penjelasan di atas, 4 hal yang diminta dalam doa ini adalah:
- Al Hudaa, yaitu petunjuk yang sempurna dari Allah untuk menjalani jalan yang lurus
- At Tuqaa, yaitu ketaqwaan yang menyeluruh dalam semua hal, dalam menjalankan perintah agama dan menjauhi yang dilarang dalam agama
- Al ‘Afaaf, yaitu keterjagaan dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama dan hal-hal yang tidak halal, sehingga hati dan jiwa kita menjadi shalih.
- Al Ghina, yaitu kekayaan hati, sehingga tidak merasa bergantung dan terlalu mengharapkan apa yang ada di tangan manusia, melainkan bergantung dan berharap pada apa yang ada di tangan Allah
Pembaca yang budiman, mengapa al huda dan at tuqaa lebih didahulukan untuk diminta? Nah, ketahuilah bahwa ternyata urutan dari 4 hal yang diminta tadi pun ada rahasianya. Simak penjelasan Ibnu ‘Allan berikut ini: “Al Huda (petunjuk) didahulukan karena dialah landasan, dan ketaqwaan dibangun di atasnya. Sedangkan digandengkannya al ‘afaaf kepada al huda, ini merupakan penggandengan sesuatu yang khusus kepada sesuatu yang umum, dalam rangka menegaskan hal yang khusus tersebut. Karena nafsu, memiliki kecenderungan untuk mengajak kepada lawan dari al ‘afaaf (yaitu maksiat dan keburukan). Maka seorang hamba hendaknya meminta pertolongan Allah untuk meninggalkannya. Nah, setelah sempurna permintaan-permintaan yang terkait dengan agama, maka selanjutnya permintaan ditujukan untuk sebagian perkara dunia, yaitu al ghinaa, merasa cukup atau tidak ada perasaan merasa butuh kepada makhluk” (Dalilul Falihin, 7/275).
At Thibbiy juga menjelaskan rahasia lainnya, “Dimintanya al huda dan at tuqaa secara mutlak untuk meraih petunjuk yang semestinya diterapkan dalam mendapatkan penghidupan, perbekalan dan akhlak-akhlak mulia. Dan juga petunjuk untuk menghindari apa-apa yang semestinya dijauhi dalam melakukannya, baik baik berupa syirik, maksiat dan akhlak-akhlak tercela. Adapun meminta al ‘afaaf dan al ghina adalah penyebutan yang lebih khusus setelah disebutkan yang lebih umum” (dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 9/324).
Subhaanallah… ternyata doa yang singkat ini adalah doa yang mengumpulkan hal-hal yang bisa meraih banyak kebaikan agama dan kebaikan dunia bagi seseorang. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di juga menjabarkan bagaimana dahsyatnya doa ini, beliau berkata: “Doa ini merupakan diantara doa yang paling padat dan paling bermanfaat. Karena di dalamnya terkandung permintaan kebaikan agama dan kebaikan dunia. Sebab, yang dimaksud al hudaa adalah ilmu yang bermanfaat, at tuqaa adalah amal shalih dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan dua hal ini, terwujudlah kebaikan agama. Karena hakikat agama adalah ilmu yang bermanfaat dan pemahaman yang benar, dan inilah al hudaa, serta menegakkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan inilah at tuqaa.
Sedangkan permintaan al ‘afaaf dan al ghina mengandung ketercukupan diri dari makhluk dan tidak bergantungnya hati kepada mereka. Lalu merasa cukup dengan Allah dan rizki dari Allah, serta qana’ah dengan apa yang diberikan Allah, dan meminta segala kecukupan yang bisa membuat hati seorang hamba tenang. Dengan semua ini, sempurnalah kebahagiaan dunia dan kelapangan hati. Inilah kehidupan yang thayyibah. Barangsiapa yang diberi rizki oleh Allah berupa al hudaa, at tuqaa, al ‘afaaf dan al ghinaa ia telah mendapatkan dua kebahagian dan ia mendapatkan semua yang hal diinginkan serta terhindar dari semua hal yang tidak disukai. Wallahu a’lam” (Bahjah Qulub Al Abrar, 205).
Menariknya di sini As Sa’di menjelaskan bahwa hidayah adalah ilmu dan taqwa adalah amal shalih. Seseorang dikatakan mendapatkan hidayah ketika ia berilmu, dan bertaqwa ketika mengamalkan agama berdasarkan ilmu. Bukan karena ikut-ikutan, hawa nafsu atau berdasarkan opini masing-masing. Oleh karena itu, Thalq Bin Habib Al’Anazi mengatakan:
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
“Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah” (Siyar A’lamin Nubala, 8/175).
Demikian, mudah-mudahkan kita diberi hidayah oleh Allah untuk dapat mengamalkan doa ini dalam keseharian kita. Terutama dibaca di waktu-waktu yang mustajab seperti ketika sepertiga malam yang akhir, di antara adzan dan iqamah, diwaktu bersujud atau sebelum salam dalam shalat, ketika hujan dan waktu-waktu mustajab lainnya. Semoga kita diantara para hamba yang mendapatkan kebahagiaan dunia dan kelapangan hati. Wabillahi at taufiq wa sadaad.
***
Post a Comment