Memperhatikan Waktu Bermain Anak Dan Waktu Sholat
Memperhatikan Waktu Bermain Anak Dan Waktu Sholat
Hendaknya kita mendidik anak agar tidak bermain di waktu-waktu shalat, khususnya shalat Jum’at. Allah Ta’ala telah melarang aktivitas jual beli -padahal hukum asal jual beli adalah halal- di waktu shalat. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Demikian pula, anak-anak juga hendaknya dilarang untuk bermain menjelang tenggelamnya matahari (menjelang shalat maghrib). Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ، أَوْ أَمْسَيْتُمْ، فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ، فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ اللَّيْلِ فَحُلُّوهُمْ
“Jika awal malam telah tiba (setelah matahari tenggelam), tahanlah anak-anak kecil kalian (di dalam rumah), karena ketika itu setan sedang berkeliaran. Jika telah berlalu sesaat di waktu malam (misalnya setelah isya’, pen.), lepaskanlah mereka (jika mereka mau bermain di luar rumah, maka dipersilakan, pen.).” [1]
Berdasarkan hadits di atas, anak-anak tidak boleh bermain keluar rumah beberapa saat sebelum masuk waktu maghrib karena pada saat itu, setan-setan sedang berkeliaran.
Menjaga Anak-Anak dari “Maniak Bola”
Satu hal yang juga hendaknya menjadi perhatian serius bagi orang tua adalah hendaknya menjaga dan mengontrol anak-anak agar jangan sampai mereka menjadi “maniak” atau “kecanduan” sepak bola. Karena ketika mereka sudah menjadi penggila bola, maka hilanglah berbagai faidah kebaikan. Cinta dan benci mereka tidak lagi dibangun atas kecintaan dan kebencian karena Allah Ta’ala, tetapi dibangun di atas fanatisme terhadap klub sepak bola atau negara peserta piala dunia. Jadilah permusuhan mereka dibangun di atas fanatisme klub sepak bola, sebagaimana yang kita lihat dan kita saksikan di negeri kita.
Ketika menjadi penggila bola, kita bisa menyaksikan banyak anak-anak bermain bola atau minimal menjadi suporter pertandingan sepak bola, lalu mereka melupakan shalat, misalnya ketika mereka pergi ke stadion sejak siang sampai malam sehingga terlewat (minimal) shalat ashar atau maghrib. Atau mereka sibukkan diri mereka untuk membaca berita-berita sepak bola, transfer jual-beli pemain dan skor atau klasemen pertandingan. Mereka lebih rela bangun tengah malam untuk menonton pertandingan sepak bola daripada bangun shalat malam.
Apa faidah dan keuntungan yang bisa kita ambil, ketika membaca berita bahwa Perancis menang melawan Italia, misalnya? Tidak ada. Manfaat apa yang akan kembali ke diri kita baik dari sisi agama maupun dari sisi dunia? Tidak ada.
Lebih parah lagi, sebagian di antara kita yang juga penggila bola, justru memberikan nama anak-anak kita dengan mengambil nama pemain sepak bola yang notabene orang kafir. Hanya karena mereka terkenal sebagai pesebak bola dunia. Barangsiapa yang mencintai seseorang, maka mereka akan dikumpulkan bersama mereka.
Nasihat untuk Orang Tua: Jagalah Waktumu
Nasihat yang sama pun berlaku untuk orang tua agar menjaga waktu mereka, untuk diisi hal-hal yang bermanfaat. Jangan menghabiskan waktu hanya untuk bermain-main dengan anak dan istri, lalu melupakan aktivitas bermanfaat lainnya. Sebagaimana kegelisahan ini pernah dialami oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Diriwayatkan dari Handzalah Al-Usaidi radhiyallahu ‘anhu, yang beliau ini adalah juru tulis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Aku bertemu dengan Abu Bakar, dan beliau berkata, ‘Apa kabarmu, wahai Handzalah?’
Aku berkata, ‘Handzalah telah menjadi orang munafik.’
Abu Bakar berkata, ‘Subhanallah, apa yang Engkau katakan?’
Aku berkata, ‘Ketika kita duduk bermajelis di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga, seakan-akan keduanya ada di depan mata kita. Namun ketika kita pulang, kita sibuk dengan istri, anak-anak dan juga aktivitas bisnis (pekerjaan) kita, maka kita pun menjadi lupa akan banyak hal.’
Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah, aku juga mengalami hal seperti itu.’
Aku dan Abu Bakar pun pergi dan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, Handzalah sudah menjadi seorang munafik.’
Rasulullah berkata, ‘Ada apa ini?’
Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, ketika kami di sisimu, Engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga, sampai seakan-akan ada di depan mata kami. Ketika kami pulang, kami sibuk dengan istri, anak-anak dan aktivitas pekerjaan kami, sehingga kami pun menjadi lupa akan banyak hal (tentang akhirat, pen.).
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي، وَفِي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً» ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian terus-menerus berada dalam kondisi sebagaimana kalian pengajian bersamaku dan berdzikir, niscaya malaikat akan menjabat tangan-tangan kalian baik ketika di rumah atau di jalan-jalan. Akan tetapi wahai Handzalah, sesaat dan sesaat.’” (Nabi katakan hal ini tiga kali.) [2]
Maksud perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “sesaat dan sesaat” adalah, ada waktu ketika kita sibuk menuntut ilmu, ada waktu khusus untuk kita beribadah kepada Allah Ta’ala, dan ada waktu tersendiri ketika kita bermain, bercanda dan bercengkerama dengan anak-anak dan istri kita, juga ada waktu untuk kita bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Oleh karena itu, hendaknya semua aktivitas ini diatur sehingga kewajiban kita pun terlaksana semuanya dengan baik. Wallahu Ta’ala a’lam.
***
Diselesaikan di pagi hari, Rotterdam NL 20 Rabi’uts Tsani 1439/7 Januari 2018
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Catatan kaki
[1] HR. Bukhari no. 5623 dan Muslim no. 2012
[2] HR. Muslim no. 2750
Post a Comment