Mimpi Bertemu Nabi Muhammad SAW

Mimpi Bertemu Nabi Muhammad SAW

Sebagai seorang Muslim sudah pasti ada pada dirinya perasaan cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun rasa cinta tersebut berbeda antara satu dengan yang lain dalam kadar kedalaman cintanya secara individual. Kata cinta tersebut tidak cukup sebagai hiasan kata-kata di bibir, tetapi harus dibuktikan dalam tindakan dan perbuatan sehari-hari. Rasa cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib dimiliki oleh setiap Muslim, bahkan melebihi cinta kepada orang tua, anak dan isteri.

Allah berfirman:

النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

Nabi (itu) lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. [al-Ahzab/33:6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang kalian sampai aku lebih dicintainya dari orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.” [Muttafaq `alaihi]

Para Ulama menjelaskan bahwa cinta kepada  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi kepada dua tingkatan:

Tingkat pertama: Cinta yang wajib terdapat pada setiap pribadi Muslim. Ia merupakan dasar keimanan seseorang. Yaitu keridhaan menerima dengan sepenuh hati ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan disertai rasa cinta dan pengagungan, serta tidak mencari petunjuk di luar petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian menta’ati perintahnya, meninggalkan larangannya, mempercayai segala beritanya dan membela agamanya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Tingkat kedua: Cinta yang melebihi dari tingkat sebelumnya. Yaitu cinta yang membawa kepada sikap yang menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya figur atau qudwah dalam segala segi kehidupan. Mulai dari menghidupkan sunnah-sunnah beliau, baik dalam bentuk kualitas maupun kuantitas. Demikian pula, dalam berakhlak dan budi pekerti terhadap keluarga, karib-kerabat, tetangga dan masyarakat. Sampai dalam hal adab-adab sehari-hari lainnya seperti dalam berpakaian, makanan-minum, buang hajat dan tidur.[1]

Sifat-sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu hadir dalam benaknya dan senantiasa ia jadikan sebagai teladan dalam kehidupannya sehari-hari, hingga cinta tersebut membuatnya benar-benar rindu ingin bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersedia menebus perjumpaannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keluarga dan hartanya.

Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ « مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِيْ لِيْ حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِيْ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِى بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ »

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Umatku yang amat sangat mencintaiku adalah manusia yang datang setelahku, salah seorang mereka berkeinginan seandainya ia dapat melihatku meskipun dengan (mengorbankan) keluarga dan hartanya”.

Salah seorang mengungkapkan perasaannya di hadapan al-Miqdâd bin al-Aswad, sebagaimana terdapat dalam kisah berikut:

عَنْ جُبَيْرٍ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ قاَلَ جَلَسْنَا إِلَى الْمِقْدَادِ بْنِ اْلأَسْوَدِ يَوْماً فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَقَالَ: طُوْبَىْ لِهَاتَيْنِ الْعَيْنَيْنِ اللَّتَيْنِ رَأَتاَرَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللهِ لَوَدَدْناَ أَناَّ رَأَيْناَ مَا رَأَيْتَ وَشَهِدْناَ مَا شَهِدْتَ

Jubair bin Nufair meriwayatkan dari bapaknya, ia berkata: ” Pada suatu hari, kami duduk di dekat Miqdâd bin al-Aswad. Lalu seseorang lewat sambil berkata (kepada al-Miqdâd): “Kebaikanlah bagi dua mata ini yang melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jubair menanggapi): “Demi Allah, kami berkeinginan melihat apa yang engkau lihat, dan menyaksikan apa yang engkau saksikan”.  [HR Bukhâri dalam Adâbul Mufrad dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]

Barangkali perasaan seperti di atas banyak orang yang mengaku memilikinya, tetapi sikap dan tingkah lakunya sendiri sangat jauh berseberangan dengan apa yang diakuinya. Atau amalan-amalannya jauh dari sunnah, bahkan amat nyata bertolak belakang dengan ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penuh dengan kesyirikan dan bid’ah. Tentu hal yang demikian sudah pasti menodai cintanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena rasa cinta harus diiringi dengan amalan yang sesuai dengan tata cara yang dicontohkan dan diajarakan serta dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika tidak demikian, tentu cintanya akan ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana beliau nyatakan dalam sabda beliau:

عن عَائِشَةُ –رضي الله عنها- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ». رواه البخاري ومسلم.

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada di atasnya perintah kami, maka amalan tersebut ditolak”(Muttafaq `alaihi)

Maka, jika cinta kita ingin diterima dan tidak ditolak, jalan satu-satunya adalah beramal sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa shalat, dzikir, dll.

Orang-orang yang benar-benar cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun mata kepalanya tidak dapat melihat sifat fisik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara nyata waktu di dunia, namun sifat-sifat, tuntunan dan ajaran beliau selalu hadir dalam pandangan mata hatinya; maka Allah Azza wa Jalla akan mengumpulkan orang tersebut bersama orang yang dicintainya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Dari Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum dan ia tidak berjumpa dengan mereka?” Jawab Rasulullah: “Seorang manusia (akan dikumpulkan) bersama orang yang dicintainya” [Muttafaqalaihi]

Kadangkala seorang Mukmin yang memiliki rasa cinta dan rindu bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memberi karunia kepadanya mimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam waktu di dunia. Namun, bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering disalah-gunakan oleh sebagian orang dalam mencapai maksud dan tujuan tertentu.

Berbagai warna bentuk penyimpangan dalam masalah bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering kita temui dalam kehidupan kita. Seperti ada yang mengaku mimpi bertemu Nabi dengan pengakuan dusta sebagai modal untuk mengelabui orang dan mencari popularitas di kalangan pengikutnya. Padahal, ia sama sekali tidak bermimpi melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian lagi, ada yang mengaku menerima ajaran tertentu atau metode baru dalam beribadah saat bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan sebagian yang lain mengaku mendapat do’a atau dzikir dan salawatan tertentu dalam mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan ada pula yang bermimpi sekedar melihat seseorang berpakaian serba putih dan pakai surban, sudah langsung diprediksi bahwa ia bermimpi melihat Nabi. Dan ada lagi  yang melakukan wirid-wirid tertentu untuk bermimpi bertemu Nabi, padahal tidak pernah ada anjuran atau tuntunannya dalam syari’at. Atau menganggap orang yang mimpi bertemu Nabi berhak di klaim sebagai wali, serta dapat memberi berkah. Atau setelah bermimpi, mengaku bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga.

Agar kita selamat dari penyimpangan-penyimpangan ini. Maka selayaknya kita menyimak penjelasan Ulama tentang hal ini? Oleh sebab itu, bahasan kali ini sengaja mengangkat seputar pembahasan mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mungkinkah mimpi bertemu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Dan Apa hakekatnya?
Mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu hal yang mungkin dan bisa dialami oleh seseorang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahîh. Berikut ini adalah hadits-hadits tersebut termasuk penjelasan Ulama dalam penjabarannya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي حَقًّا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِي وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu  meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai bentukku. Barangsiapa yang berdusta atasku secara sengaja maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka”.  [HR Bukhâri dan Muslim]

Dalam hadits pertama ini terdapat beberapa penjelasan, di antaranya:

Seseorang yang melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, maka sesungguhnya ia benar-benar telah melihatnya.[2] Apabila ciri-ciri sifat fisiknya sesuai dengan gambaran yang terdapat dalam hadits-hadits shahîh. Jika ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai, para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian Ulama berpendapat, bahwa makna mimpinya perlu ditakwilkan. Hal itu pertanda tentang kekurangan yang terdapat pada diri orang yang bermimpi tersebut dalam hal beragama. Atau sebagai pertanda terjadinya kerusakan dalam kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat. Sebagian Ulama lain berpendapat bahwa ia tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai dengan ciri-ciri sifat fisik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi setan berupaya menipunya dalam mimpi tersebut dengan cara mengaku sebagai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sekalipun setan tersebut tidak mampu menyerupai ciri-ciri sifat fisik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, sebagian para Sahabat dan tabi’în jika ada seseorang mengaku mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertanyakan ciri-ciri sifat fisiknya. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Sirîn dalam ungkapan beliau: “Apabila ia melihatnya dalam bentuk rupa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya”.[3]

Sebagaimana Ibnu Hajar menyebutkan sebuah riwayat dengan sanad yang shahîh dari Ibnu Sirîn rahimahullah : “Apabila ada seseorang mengisahkan kepadanya bahwa ia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi), maka Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Sebutkanlah padaku ciri sifat-sifat orang yang engkau lihat tersebut?” Jika orang tersebut menyebutkan sifat yang tidak dikenalnya, maka Ibnu Sirin rahimahullah katakan: “Sesungguhnya engkau tidak melihatnya”.

Berikutnya Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan pula riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang dengan sanad yang Jayyid; Ibnu Kulaib berkata: “Aku katakan pada Ibnu Abbâs: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi!” Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata: “Sebutkanlah ciri sifat-sifatnya padaku!” Ibnu Kulaib berkata : “Aku sebutkan Hasan bin Ali, lalu aku serupakan dengannya.” Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu  berkata : “Sungguh engkau telah melihatnya” ” [4].

Hadits ini menunjukkan tentang kesempurnaan bentuk sifat fisik jasmani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat rupawan, sehingga setan tidak mampu untuk menyerupainya.[5] Kesempurnaan tersebut ditambah lagi dengan kemulian sifat-sifat rohani beliau. Tentu setan akan semakin tidak mungkin untuk meniru atau menyerupainya, karena bentuk asli jasmani setan sangat jelek. Oleh sebab itu, Allah Azza wa Jalla  jadikan sebagai perumpamaan bagi pohon Zaqqum.[6] yang menjadi makannan penduduk Neraka. Demikian pula asli sifat rohaninya adalah sangat buruk pula, oleh sebab itu ia diberi nama setan, yang artinya dalam bahasa Arab: pembangkang/yang amat jauh dari nilai-nilai kebaikan.[7]
Penggalan akhir dari hadits di atas terdapat larangan sekaligus ancaman bagi orang yang berbohong atau berdusta dalam hal mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup hadits tentang mimpi tersebut dengan sabda beliau “Barangsiapa yang berdusta atasku secara sengaja maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka”.
Pengakuan bertemu Nabi dalam keadaan terjaga (bangun).
Sebagian dari orang-orang sufi menganggap bahwa mereka bisa melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sadar (terjaga). Dan ikut menghadiri perayaan maulid bersama mereka. Keyakinan ini adalah keyakinan yang batil lagi sesat, sangat bertolak belakang dengan al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ijmâ’ para Ulama. Mereka menyandarkan pandangan mereka pada hadits berikut:

عَنْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ إِذَا رَآهُ فِي صُورَتِهِ

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga. Dan setan tidak mampu menyerupaiku”.

Imam Bukhâri setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Ibnu Sîrîn berkata: “Apabila ia melihatnya dalam bentuk rupa yang sebenarnya””.

Dalam hadits kedua ini terdapat tambahan penjelasan dari hadits yang pertama, yaitu kalimat: فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ)) : “Maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga“.

Para Ulama menerangkan maksud dari hadits tersebut dengan beberapa penjelasan:

Pertama: Yang dimaksud adalah orang yang hidup di masa beliau tetapi belum pernah berjumpa dengan beliau. Jika ia bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mimpi tersebut akan menjadi kenyataan.
Kedua: Yang dimaksud, ia akan berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pertemuan yang khusus di akhirat kelak. atau ia adalah di antara orang yang akan memperoleh syafa`at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat kelak.
Ketiga: Yang dimkasud, mimpi orang tersebut akan terbukti di akhirat kelak, sesuai dengan apa yang dilihatnya dalam mimpi tersebut.
Berkata Ibnul-Jauzi rahimahullah : “Ini adalah bagaikan kabar gembira bagi orang yang melihatnya, bahwa dia akan berjumpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat.”[8].

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam menjelaskan maksud hadits tersebut ada beberapa pendapat:

Pertama: Yang dimaksud adalah orang yang hidup pada masanya. Artinya, barangsiapa yang melihatnya dalam mimpi sedangkan ia belum berhijrah; maka Allah memberi taufik kepadanya untuk berhijrah dan bertemu melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nyata dalam keadaan terjaga.
Kedua: Dia akan melihat kenyataan mimpinya tersebut dalam keadaan terjaga pada hari kiamat, karena semua umatnya akan melihatnya pada hari kiamat.
Ketiga: Dia akan melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari akhirat secara khusus dalam keadaan dekat dan mendapat syafa`atnya atau yang semisalnya”.[9]
Berkata al-Qisthallâny: “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga“, artinya pada hari secara khusus dalam keadaan dekat dengannya. Atau orang yang melihatku dalam mimpi dan ia belum berhijrah, Allah memberi taufik kepadanya untuk berhijrah kepadaku dan mendapat kemulian menjumpaiku. Allah Azza wa Jalla menjadikan mimpinya sebagai pertanda akan melihatku dalam keadaan terjaga. Menurut pendapat yang pertama, di dalamnya terdapat kabar gembira bagi orang yang bermimpi bahwa ia akan mati dalam keadaan Muslim”.[10]

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ia benar-benar akan berjumpa dalam keadaan terjaga waktu di dunia ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah pendapat yang sangat batil lagi sesat. Pendapat ini ditolak dan dibantah dengan tegas oleh para Ulama Ahlussunnah.

Imam al-Qurthûbi rahimahullah berkata: “Dalam makna hadits ini terdapat perbedaan; sebagian berpendapat sebagaimana lahirnya, yaitu barangsiapa yang melihat dalam mimpi, maka ia telah melihat secara hakiki sama seperti orang melihatnya di waktu terjaga. Pendapat ini dapat diketahui kekeliruannya dengan dalil akal yang mengharuskan:

Bahwa, tidak seorang pun yang melihatnya melainkan dalam bentuk saat beliau meninggal.
Tidak mungkin ada dua orang yang mimpi melihatnya dalam waktu yang sama dalam dua tempat.
Bahwa ia hidup keluar dari kuburnya dan berjalan di pasar serta berbicara dengan manusia.
Bahwa kuburnya kosong dari jasadnya, sehingga tidak tertinggal sesuatu dalamnya, maka yang diziarahi hanya kubur semata (tanpa jasad) dan memberi salam kepada sesuatu tidak ada.
Karena ia bisa dilihat di sepanjang waktu; pagi dan sore secara hakiki di luar kuburnya. Pendapat ini adalah kebodohan, tidak akan berpegang dengannya siapa saja yang memiliki sedikit akal sehat”.[11]

Abu Bakar Ibnu al-Arabi rahimahullah berkata: “Sebagian orang shaleh berpendapat asing (ganjil), ia mengira bahwa bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa terjadi dengan melihat dengan kedua mata kepala secara nyata”.[12]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Melihat para Nabi dalam mimpi adalah haq (benar). Adapun melihat orang yang sudah mati dalam keadaan terjaga, maka ini adalah jin yang menjelma dalam bentuknya. Sebagaimana setan kadangkala menjelma dalam mimpi dalam bentuk seseorang. Bahkan, kadangkala dalam keadaan terjaga yang dapat dilihat orang banyak; sehingga menyesatkan bagi sebagian orang yang tidak mempunyai ilmu dan iman. Seperti terjadi di kalangan kaum musyrik India dan lainnya. Apabila ada seseorang meninggal, maka setelah itu mereka melihatnya membayar hutang, mengembalikan titipan dan menceritakan tentang orang-orang mati di antara mereka. Sesungguhnya itu adalah setan yang menjelma dalam bentuknya. Kadangkala ia datang dalam bentuk orang shaleh yang mereka kagumi. Dan ia berkata: ”Saya adalah si Fulan.”; padahal sebenarnya ia adalah setan.

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihat dengan benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku”.

Maka melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar adanya, adapun melihatnya dalam keadaan terjaga, maka ia tidak mungkin bisa dilihat dengan mata. Sama adanya,  baik itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri maupun orang-orang lain yang sudah mati. Sekalipun kebanyakan dari manusia kadangkala melihat sesorang yang menurut prasangkanya adalah Nabi di antara para nabi. Kadangkala dekat kuburannya atau dijauh dari kuburannya”.[13]


Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abâd berkata: “Hal ini mengandung dua kemungkinan, pertama: seseorang yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia belum pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bermimpi melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan memudahkan baginya untuk bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berhijrah kepadanya. Kemudian akan melihat apa dengan nyata apa yang dilihatnya dalam mimpinya tersebut…”.[14]

Dari penjelasan para Ulama di atas dapat kita pahami bahwa pendapat yang mengatakan seseorang yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar akan berjumpa dalam keadaan terjaga waktu di dunia ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah pendapat yang sangat batil lagi sesat.

Pendapat tersebut bertolak belakang dengan firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).[az-Zumar/30:39]

Dan firman Allah:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا

Tiadalah Muhammad itu melainkan seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun”.[Ali Imran/3:144]

Dua ayat di atas dengan tegas menerangkan tentang kematian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh umat Islam sepakat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Ia tidak akan bangkit dari kuburnya kecuali setelah hari kiamat. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke dunia sebelum hari kiamat dan bertemu dengan orang-orang tertentu, ini adalah keyakinan yang sesat sekali. Bahkan sama dengan akidah reinkarnasi yang diyakini orang-orang Hindu.

Tatkala membacakan salah satu dari ayat di atas Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berkata:

فَمَنْ كَان َمِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ

Barangsiapa yang menyembah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allah sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak akan mati. (HR Bukhâri)

Pendapat tersebut juga bertentangan dengan hadits Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – « أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ »

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Saya adalah penghulu anak Adam pada hari kiamat, orang yang pertama dibangkit dari kuburnya dan orang yang pertama memberi syafaat.” [HR Muslim]

Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kuburnya kecuali setelah terjadinya hari kiamat dan seluruh manusia dibangkitkan dari kuburnya.

Pendapat yang mengatakan bahwa ia berjumpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga, mengharuskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup dan keluar dari kuburnya, bahkan secara berkali-kali; kesesatan dan kebatilan pendapat tersebut amat nyata bagi orang yang punya ilmu dan iman.

Sebagian orang berdalil dengan hadits:

اْلأَنْبِياَءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ

Para nabi itu hidup dalam kuburan mereka, mereka shalat.[HR Abu Ya`la dan al-Bazzâr dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Ash-Shahîhah]

Jawabannya adalah:

Pertama: Bahwa kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan alam Barzakh yang hakikat dan bentuknya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Azza wa Jalla . Mengatakan bahwa mereka hidup seperti di dunia adalah suatu hal yang batil, sebab alam Barzakh tidak sama dengan alam dunia dalam segala segi.
Kedua: Dalam hadits tersebut secara jelas dan tegas menyebutkan mereka hidup dalam kubur, bukan hidup dan keluar ke dunia. Jika dipahami mereka hidup dan keluar ke dunia, maka ini suatu penyimpangan terhadap lafazh makna hadits tersebut.
Ketiga: Tidak pernah dinukilkan atau diriwayatkan dari seorang pun dari Sahabat maupun para Ulama terkemuka umat ini bahwa mereka berjumpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga setelah beliau wafat. Bahkan di antara mereka ada yang bermimpi dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi tidak pernah mereka mengaku bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan bangun (terjaga). Sedangkan para Sahabat adalah orang yang paling dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi yang paling cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ”Jika seandainya ada orang yang melihatnya di waktu terjaga, tentu ia termasuk Sahabat. Berarti penilaian sebagai Sahabat tetap berlangsung sampai hari kiamat. Hal ini menjadi terbukti keliru sekali, ketika banyak yang mimpi bertemu tetapi tidak seorang pun mengaku berjumpa dalam keadaan sadar (bangun)”.[15]

Apakah ada kiat-kiat tertentu agar bermimpi bertemu Nabi Muhammad?
Di antara sebagian orang ada yang melakukan dzikir-dzikir tertentu agar bisa bermimpi dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal tuntunan tersebut tidak ada diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perbuatan tersebut adalah termasuk membuat perkara yang baru dalam agama. Para Ulama salaf yang pernah mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan dzikir ataupun ibadah-ibadah tertentu.

Apakah mimpi bertemu Nabi Muhammad pertanda orang tersebut shalih?
Bentuk lain dari kesalah-pahaman dalam masalah mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menganggap setiap orang yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memiliki keistimewaan yang luar biasa. Bahkan kadangkala meyakini orang tersebut sebagai wali, yang bisa mengobati dan memberi berkah. Namun, bila melihat penjelasan Ulama sebagaimana telah diuraikan di atas, maka bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilki dua bentuk yaitu adakala sebagai bisyârah (harapan baik); dan adakalanya sebagai peringatan (indzâr), sehingga tidak mutlak senantiasa sebagai bisyârah.

Al-Mu’allimi berkata: “Sesungguhnya para Ulama bersepakat bahwa sesungguhnya mimpi tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi ia hanya sebatas sebagai harapan baik (bisyârah), dan peringatan (tanbîh). Dan juga bisa sebagai dalil pendukung jika bersesuaian dengan hujjah syar’iyah (agama)”.[16]


Footnote
[1] Lihat “Huqûqun Nabi Bainal Ijlâl Wal Ikhlâl“,  Faishal al ‘Abdâny: 67
[2]  Ditegaskan dalam riwayat lain:
قَالَ أَبُوْ قَتاَدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( مَنْ رَآنِيْ فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ ) رَوَاهُ الْبُخَارِيْ وَمُسْلِمٌ
Abu Qatâdah rahimahullah berkata bahwa  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang melihatku (mimpi), maka sungguh ia benar-benar telah melihat”.
[3]  Lihat Shahîhul–Bukhâri: 6/2567.
[4]  Lihat, Fathul Bâri: 12/384.
[5] Penegasan bahwa setan tidak mampu menyerupai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dengan lafazh yang berbeda-beda, akan tetapi maknanya saling berdekatan:
(فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَكَوَّنُنِيْ)، (فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَخَيَّلُ بِيْ)، (وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانَ بِيْ )، (وَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَرَاءَىْ بِيْ)، (فَإِنَّهُ لاَ يَنْبَغِى لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِيْ) وَهِيَ فِيْ صَحِيْحَيْنِ أَوْ فِيْ أَحَدِهِمَا
[6]  Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ
Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan.(Qs ash-Shaffat/37:65)
[7]  Lihat Mu’jam Maqâyîsil Lughah 3/184. dan Al-Mu’jamul Wasîth 1/483.
[8]  Lihat Kasyful al-Musykil 1/912.
[9]  Lihat Syarah Imam Nawawi:15/26.
[10]  Di nukil dalam kitab `Aunul Ma’bûd:13/249.
[11]  Disebutkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri:12/384.
[12]  Disebutkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri:12/384.
[13]  Lihat Al-Jawâbus Shahîh 4/15.
[14]  Lihat Syarah Sunah Abu Dâwud 28/426.
[15]  Lihat Fathul Bâri:12/285.
[16]  Lihat At-Tankîl:2/243.

Tidak ada komentar