Namimah adalah Sihir
Namimah adalah Sihir
Namimah diterjemahkan dengan “adu domba” dalam bahasa Indonesia, akan tetapi maknanya lebih luas dari sekedar adu domba. Pengertian namimah sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻗَﺎﻝَ « ﺃَﻻَ ﺃُﻧَﺒِّﺌُﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻌَﻀْﻪُ ﻫِﻰَ ﺍﻟﻨَّﻤِﻴﻤَﺔُ ﺍﻟْﻘَﺎﻟَﺔُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ».
Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Muhammad berkata, “Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu ? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia”[1]
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa namimah bertujuan merusak hubungan manusia. Beliau berkata,
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀ : ﺍﻟﻨَّﻤِﻴﻤَﺔ ﻧَﻘْﻞ ﻛَﻠَﺎﻡِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑَﻌْﻀِﻬِﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻋَﻠَﻰ ﺟِﻬَﺔِ ﺍﻟْﺈِﻓْﺴَﺎﺩِ ﺑَﻴْﻨﻬﻢْ .
“Para ulama menjelaskan namimah adalah menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara mereka.”[2]
Contohnya si A mengatakan kepada si B yang membuat si C menjadi tidak suka kepada si B, baik itu perkataan dusta maupun perkataan benar. Sebaliknya, si A juga mengatakan kepada si C yang membuat si B tidak suka.
Bahkan namimah ini sejenis dengan sihir. Sebagaimana dalam hadits di atas nama lain namimah adalah Al-‘adhhu. Al-Adhu ini semisal sihir.
Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa Al-Adhu termasuk sihir dengan membawakan hadits Ibnu Mas’ud di atas. Beliau berkata,
العضه : السحر
“Al-‘ahddu adalah sihir”
Beliau melanjutkan,
النمام ليس له حكم الساحر، فلا يكفر كما يكفر الساحر
“Pelaku namimah bukan seperti hukum penyihir, maka tidaklah menjadi kafir sebagaimana menjadi kafirnya penyihir.”[3]
Namimah lebih dahsyat akibatnya daripada sihir dan lebih berbahaya. Yahya bin Abi Katsir berkata,
ﺍﻟﻨَّﻤَّﺎﻡُ ﻳُﻔْﺴِﺪُ ﻓِﻲ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﻣَﺎ ﻻ ﻳُﻔْﺴِﺪُ ﺍﻟﺴَّﺎﺣِﺮُ ﻓِﻲ ﺷَﻬْﺮٍ
“Pelaku namimah bisa merusak hubungan manusia hanya dalam waktu satu jam saja, sedangkan penyihir terkadang perlu waktu sebulan.”[4]
Seseorang bisa jadi sangat mudah melakukan naminah, bahkan ia menganggapnya hal kecil dan biasa padahal hal tersebut adalah dosa besar dan sangat berbahaya. Perhatikan hadits mengenai siksa kubur, orang yang disiksa tidak lah melakukan dosa yang dia anggap besar, akan tetapi ia melakukan namimah.
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺮَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺑِﺤَﺎﺋِﻂٍ ﻣِﻦْ ﺣِﻴﻄَﺎﻥِ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔِ ﺃَﻭْ ﻣَﻜَّﺔَ ، ﻓَﺴَﻤِﻊَ ﺻَﻮْﺕَ ﺇِﻧْﺴَﺎﻧَﻴْﻦِ ﻳُﻌَﺬَّﺑَﺎﻥِ ﻓِﻰ ﻗُﺒُﻮﺭِﻫِﻤَﺎ ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – « ﻳُﻌَﺬَّﺑَﺎﻥِ ، ﻭَﻣَﺎ ﻳُﻌَﺬَّﺑَﺎﻥِ ﻓِﻰ ﻛَﺒِﻴﺮٍ » ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ « ﺑَﻠَﻰ ، ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ ﻻَ ﻳَﺴْﺘَﺘِﺮُ ﻣِﻦْ ﺑَﻮْﻟِﻪِ ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻵﺧَﺮُ ﻳَﻤْﺸِﻰ ﺑِﺎﻟﻨَّﻤِﻴﻤَﺔِ » .
Dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam kuburnya. Nabi bersabda, “Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau kembali bersabda, “Mereka tidaklah disiksa karena dosa yang mereka anggap dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri. Sedangkan orang kedua suka melakukan namimah”[5]
Hendaknya kita berhati-hati karena Allah telah memberi peringatan dalam Al-Quran
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻄِﻊْ ﻛُﻞَّ ﺣَﻠَّﺎﻑٍ ﻣَﻬِﻴﻦٍ ( 10 ) ﻫَﻤَّﺎﺯٍ ﻣَﺸَّﺎﺀٍ ﺑِﻨَﻤِﻴﻢٍ ( 11 ) ﻣَﻨَّﺎﻉٍ ﻟِﻠْﺨَﻴْﺮِ ﻣُﻌْﺘَﺪٍ ﺃَﺛِﻴﻢٍ ( 12 )
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa” (QS Al Qalam:10-12).
Demikian juga ancaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ
“Tidak masuk surga pelaku namimah”[6]
Semoga kita dijauhkan dari dosa namimah.
@ Yogyakarta Tercinta
Penulis: dr. Raehanul Bahraen
Catatan kaki:
[1] HR Muslim no 6802
[2] Syarh Nawawi LiShahih Muslim 1/214
[3] I’anatul Mustafid Syarh Kita Tauhid Syaikh Shalih Al-Fauzan
[4] Hilyatul Auliya no. 3361
[5] HR Bukhari no 213
[6] HR. Muslim no. 105
Post a Comment