Perhatikan, Bagaimanakah Akhir Dari Amalmu
Perhatikan, Bagaimanakah Akhir Dari Amalmu
Tidak diragukan lagi, akhir (penutup) dari amal-amal kita adalah perkara yang sangat penting. Para salaf rahimahumullah senantiasa memperhatikan akhir dari suatu amal, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan juga untuk mengamalkan firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 60).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menggambarkan para hamba-Nya yang beriman bahwa mereka memberikan (melaksanakan) berbagai amal ibadah dan ketaatan secara sungguh-sungguh. Mereka juga sangat takut kepada Allah Ta’ala, karena mereka tidak tahu, apakah amal mereka akan diterima ataukah tidak. Oleh karena itu, seorang hamba tidak boleh bangga dengan amalnya, sebanyak apa pun amal yang telah dikerjakannya. Jika amal tersebut tidak diterima oleh Allah Ta’ala, amal tersebut tidak ada faidahnya. Sebanyak apa pun amal yang telah dikerjakannya, namun jika tidak diterima oleh Allah Ta’ala, maka hanya bagaikan debu yang berterbangan.
Jika suatu amal diterima oleh Allah Ta’ala, meskipun amal itu hanya sedikit, Allah Ta’ala akan melipatgandakan pahalanya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah. Dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” (QS. An-Nisa’ [4]: 40).
Allah Ta’ala lebih mengetahui keadaan niat dan keikhlasan seorang hamba dalam beramal. Oleh karena itu, seorang hamba harus mencurahkan segala usaha untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amalnya. Kita yakin bahwa Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan pahala dari orang yang beramal sedikit pun. Wajib atas seorang hamba untuk memperbanyak amalnya, mengikhlaskan niatnya, mengharap pahala dari Allah Ta’ala dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
Berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala hanya akan menjadi penghalang antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’” (QS. Az-Zumar [39]: 53).
Di sisi lain, seorang hamba tidak boleh bangga dan kagum dengan amalnya atau merasa telah banyak beramal. Akan tetapi, dia senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala untuk menerima amalnya dan mengiringi setiap amalnya dengan istighfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Karena manusia adalah tempat salah dan lupa. Sebanyak apa pun amalnya, akan tetapi pasti di dalamnya terdapat berbagai cacat dan kekurangan. Sehingga dia berusaha menutup kekurangan tersebut dengan istighfar. Dengan kata lain, seorang muslim hendaknya menghitung kejelekan-kejelekannya, dan tidak menghitung amal kebaikannya. Hendaknya dia menghisab dirinya, menghitung-hitung kesalahan dan dosanya, kemudian beristighfar dan bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
“Dan dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya, memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Asy-Syuura [42]: 25).
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba memperbanyak istighfar di akhir setiap amal ibadah dan ketaatan. Dia tidak menganggap dirinya telah melaksanakan amal tersebut dengan sempurna sesuai tuntutan syariat. Akan tetapi dia tidak tahu, bisa jadi dalam amal tersebut ada banyak kekurangan. Sehingga dia pun memperbanyak istighfar dan taubat, serta menganggap bahwa amalnya tersebut sangat kecil di sisi Allah Ta’ala.
***
Catatan kaki:
[1] Disarikan dari kitab Majaalisu Syahri Ramadhan Al-Mubaarak, karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, hal. 113-116 (cet. Daar Al-‘Ashimah, tahun 1422)
Post a Comment