Anggaplah Besar Dosamu
Anggaplah Besar Dosamu
Orang yang beriman lagi bertakwa yang takut kepada Kekasihnya (Allah) dan mengagungkan-Nya, ia menganggap besar dosanya dan menganggap besar dalam hatinya kekurangan dirinya di sisi Allah. Sejauh mana keimanan seseorang dan pengagungannya kepada Allah, sejauh itu pula ia menganggap besar kemaksiatan dan dosanya.
Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – menyifati hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan firman-Nya,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam ; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah) (Qs. adz-Dzariyat : 17-18)
Dalam ayat lain, Dia –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,
الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (16) الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ (17)
(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur (Qs. Ali Imran : 16-17)
Kendatipun sedemikian rupa ketakwaan, ibadah, infak dan qiyamullail yang mereka lakukan, tetapi mereka tetap beristighfar kepada Allah pada waktu yang mereka anggap lebih mudah dikabulkan.
Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللهُ عَنْه mengilustrasikan keadaan orang yang beriman dalam hubungannya dengan kemaksiatan dengan ilustrasi yang detail dan mendalam :
“Orang beriman melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah gunung, ia takut gunung tersebut menimpanya. Sementara orang yang fajir (suka berbuat dosa) melihat dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya.”Ia mengisyaratkan begini-Ibnu Syihab berkata – : dengan tangannya di atas hidungnya.” (HR. al-Bukhari, no.6308)
Ibnu Abi Jamrah –رَحِمَهُ اللهُ -mengatakan : “Hikmah dalam penyerupaan (dosa) dengan gunung ialah bahwa hal-hal yang membahayakan selain gunung adakalanya diperoleh faktor yang menyelamatkan darinya. Berbeda dengan gunung apabila menimpa seseorang, maka biasanya ia tidak dapat selamat darinya (Fathul Baariy, 11/105)
Al-Muhibb ath-Thabariy –رَحِمَهُ اللهُ -berkata : “Ini hanyalah sifat orang yang beriman kerena begitu takutnya kepada Allah dan siksa-Nya. Karena ia merasa yakin dengan dosanya dan tidak yakin mendapatkan ampunan. Sedangkan orang yang fajir sedikit pengetahuannya tentang Allah. Karena itu, kurang rasa takutnya dan menganggap remeh kemaksiatan (HR. al-Bukhari, 6492)
Saudaraku, jika aku letakkan diriku juga dirimu pada timbangan Ibnu Mas’ud-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, dan bagaimana kita melihat kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa kita, maka kita termasuk dalam sisi timbangan yang mana ? Apakah kita termasuk mereka yang melihat dosa-dosanya laksana gunung ataukah termasuk orang-orang yang melihat dosanya seperti lalat ?
Kepekaan dan ketakutan terhadap dosa serta menganggap besar dosa tersebut bukan hanya sifat spesial Ibnu Mas’ud-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, tetapi sifat yang pada umumnya dimiliki oleh generasi awal.
Dalam shahih al-Bukhari dari Ghailan, dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata, “Sungguh kalian mengetahui amalan-amalan yang lebih kecil daripada rambut dalam pandangan kalian, padahal kami menilainya pada masa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sebagai dosa besar (HR. al-Bukhari, no.6492)
Seorang muslim merenungi atsar ini dengan kebingungan dan bertanya-tanya.
Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mengatakan hal itu kepada salah seorang tabi’in dan salah seorang muridnya untuk mengilustrasikan perbandingan antara pandangan mereka terhadap dosa mereka dengan pandangan para sahabat Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.
Ia bertanya-tanya dalam dirinya, sebesar apa dosa-dosa para tabi’in tersebut ? Dan bagaimana perbandingan antara pandangan kita terhadap dosa-dosa kita dan kekurangan kita dengan pandangan generasi tersebut ? Apa kira-kira yang akan dikatakan Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-seandainya ia melihat apa yang kita lakukan ?
Perasaan yang sama kita lihat pada Khudzaefah bin al-Yaman-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- , ketika ia mengatakan, “Jika seseorang mengatakan sesuatu perkataan pada masa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ,maka dengan perkataan itu ia menjadi munafik. Tapi aku mendengar perkataan itu dari salah seorang kalian empat kali dalam satu majlis (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam az-Zuhd, hal. 69; dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 1/279)
Ini juga berlaku bagi sebaik-baik manusia sesudah Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Pernah Umar bin Khaththab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- menemui Abu Bakar ash-Shiddiq -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- dalam keadaan menutup mulutnya. Ia mengatakan, “Lisanku inilah yang membawaku kepada kebinasaan (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam az-Zuhd, hal. 22; dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 1/33)
Dalam perang Hudaibiyah kaum muslimin datang dengan penuh kerinduan ke Baitullah. Tapi mereka beserta Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dihalang-halangi oleh kaum musyrikin dari melaksanakan niat mereka itu. Sehingga ada unek-unek dalam hati para sahabat Rasulullah. Maka Umar-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- menemui Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- seraya bertanya, “Bukankah engkau benar-benar Nabi Allah ?” Nabi menjawab,”Benar” Ia bertanya,”Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?” Beliau menjawab,”Benar.”Ia berkata, “Kalau begitu mengapa kita memberikan kehinaan kepada agama kita? ” Beliau menjawab, “Aku adalah utusan Allah dan aku tidak pernah bermaksiat kepadaNya dan Dia adalah penolongku.” Ia berkata,”Bukankah engkau mengatakan kepada kami bahwa kami akan datang ke Baitullah dan melakukan thawaf di sana ? ” Beliau menjawab, “Benar.” Apakah aku telah memberitahukan kepada kalian bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini ? ” Ia (Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-) mengatakan, “Tidak.” Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kamu akan datang dan berthawaf di sana.” Lalu Umar menemui Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata kepadanya seperti itu dan menjawabnya seperti jawaban Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepadanya (HR. al-Bukhari, no. 2732; dan Muslim, no. 1785 dengan redaksi lain yang senada dengannya.
Anda lihat apa yang mendorong Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berdialog dengan Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, bukankah keinginan untuk membela agamanya, berthawaf di Baitullah dan beribadah kepada Allah ?
Tapi Umar masih merasa dan menilai sikapnya tersebut sebagai dosa. Karena itu ia bersungguh-sungguh dalam beramal shalih yang akan dapat menghapus dosanya itu. Ia mengatakan, “Karena kesalahan itu, saya melakukan berbagai amalan.” Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Umar pernah mengatakan, “Aku senantiasa bersedekah, berpuasa, shalat dan memerdekakan budak, karena apa yang pernah aku katakan waktu itu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ – mengatakan, “Sesungguhnya dia melakukan amalan-amalan tersebut hanya karena hal ini, karena kalau tidak karena itu, maka seluruh yang muncul darinya adalah termaafkan, bahkan mendapatkan pahala karena ia berijtihad di dalamnya (Fath al-Bariy, 11/347)
Jika demikian biografi mereka dalam apa yang mereka ijtihadkan, lalu bagaimana halnya dengan orang yang betul-betul melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan ?
Abdullah bin Amr bin Ash –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – mengilustrasikan jiwa seorang mukmin ketika melakukan kesalahan. Ia mengatakan, “Sungguh jiwa orang yang beriman lebih menjauhi kesalahan dibandingkan burung ketika ia dilempar.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, hal 72)
Mudah-mudahan anda sama memahami dengan saya bahwa terdapat perbedaan antara dosa yang dilihat Abdullah bin Amr bin Ash –رَضِيَ اللهُ عنهُ- dengan apa yang kita lihat.
Adakalanya pandangan seseorang tertuju pada kecilnya kesalahan. Tetapi Bilal bin Sa’d mengingatkan perilaku ini, ketika mengatakan,”Jangan melihat kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada siapa kamu bermaksiat.” (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 7159)
Adapun Sulaiman bin Hubaib-رَحِمَهُ اللهُ – mengatakan, “Apabila Allah menghendaki kebajikan pada hamba-Nya, Dia menjadikan dosa itu suatu yang buruk. Dan apabila menghendaki keburukan pada hamba-Nya, Dia membuatnya indah di matanya (Riwayat Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, hal 70)
Menganggap remeh suatu dosa adalah suatu yang besar bagi al-Auza’iy. Ia mengatakan, “Dikatakan sebagai dosa besar adalah apabila seseorang melakukan dosa (kecil) tapi ia anggap remeh (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 7153)
Ia mengatakan juga, “Ishrar” (terus menerus) adalah seorang melakukan dosa dan menganggapnya remeh (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 7154)
Saudaraku yang budiman !
Menganggap besar suatu dosa, bagi orang yang melakukan dosa, akan melahirkan istighfar, taubat, tangisan, penyesalan, dan rengekan kepada Allah dengan doa dan permohonan kepada-Nya agar dirinya dibebaskan dari bahaya dan keburukan dosa tersebut. Semua itu menjadi faktor utama yang memungkinkan pelaku dosa tersebut dapat mengalahkan syahwatnya dan menguasai hawa nafsunya.
Adapun mereka yang menganggap remeh dosa, mereka merasa menyesal dan bertekad untuk bertaubat tetapi tekad tersebut tekad yang sangat lemah yang mudah lenyap di hadapan tarikan-tarikan kemaksiatan.
Wallahu A’lam.
Post a Comment