Berkata Benar Dan Jangan Dusta

Berkata Benar Dan Jangan Dusta 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (I/384); al-Bukhâri (no. 6094) dan dalam kitab al-Adabul Mufrad (no. 386);  Muslim (no. 2607 (105)); Abu Dawud (no. 4989); At-Tirmidzi (no. 1971); Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (VIII/424-425, no. 25991); Ibnu Hibban (no. 272-273-at-Ta’lîqâtul Hisân); Al-Baihaqi (X/196); Al-Baghawi (no. 3574); At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

MUFRADAT HADITS

اَلصِّدْقُ : Sesuai antara perkataan dan amalan (perbuatan), lahir dan batin.
يَهْدِيْ : Membawa, maksudnya membimbing dan mengantarkan.
اَلْبِرُّ : Kebaikan, maknanya mencakup semua kebaikan.
يَتَحَرَّى : Menuju, mencari. Maksudnya bersungguh-sungguh mencari dan memilih.
اَلْكَذِبُ : Dusta, bohong, tidak benar.
صِدِّيْقًا : Selalu berbuat jujur, sehingga jujur menjadi akhlak dan perangainya.
اَلْفُجُوْرُ: Keburukan atau kejelekan. Maksudnya perbuatan-perbuatan yang buruk atau jelek.
كَذَّابًا : Selalu berbuat dusta, sehingga dusta menjadi akhlak dan perangainya.
يُكْتَبُ عِنْدَ الله صِدِّيْقًا : Dia berhak memperoleh gelar jujur dan ganjaran orang-orang jujur.
يُكْتَبُ عِنْدَ الله كَذَّابًا : Dia berhak memperoleh gelar dusta dan ganjaran orang-orang dusta, yaitu ia dijuluki dengan tukang dusta atau tukang bohong.
SYARAH HADITS

  1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ

Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya berlaku jujur dalam perkataan, perbuatan, ibadah dan dalam semua perkara. Jujur itu berarti selaras antara lahir dan batin, ucapan dan perbuatan, serta antara berita dan fakta.

Maksudnya, hendaklah kalian terus berlaku jujur. Karena jika engkau senantiasa jujur, maka itu akan membawamu kepada al-birr (yakni melakukan segala kebaikan), dan kebaikan itu akan membawamu ke Surga yang merupakan puncak keinginan, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan.” [Al-Infithâr/82:13]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. [At-Taubah/9:119]

Allâh Azza wa Jalla meminta para hamba-Nya yang beriman agar jujur dan berpegang teguh dengan kebenaran. Tujuannya agar mereka istiqâmah di jalan kebenaran (orang-orang yang jujur).

Jujur merupakan sifat terpuji yang dituntut keberadaannya dari kaum Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ

 “…Laki-laki dan perempuan yang benar (jujur)…” [Al-Ahzâb/33:35]

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ

“…Tetapi jikalau mereka benar (imannya) tehadap Allâh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. [Muhammad/47: 21]

Allâh Azza wa Jalla memberitahukan nilai kejujuran, bahwa kejujuran itu merupakan kebaikan sekaligus penyelamat. Sifat itulah yang menentukan nilai amal perbuatan, karena kejujuran merupakan ruhnya. Seandainya orang-orang itu benar-benar ikhlas dalam beriman dan berbuat taat, niscaya kejujuran adalah yang terbaik bagi mereka.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat th. 751 H) menerangkan sifat as-shidq (kejujuran), dengan perkataanya, “Yaitu maqam (kedudukan) kaum yang paling agung, yang darinya bersumber kedudukan-kedudukan para sâlikîn  (orang-orang yang berjalan menuju kepada Allâh), sekaligus sebagai jalan terlurus, yang barang siapa tidak berjalan di atasnya, maka mereka itulah orang-orang yang akan binasa. Dengannya pula dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang beriman, para penghuni Surga dan para penghuni Neraka. Kejujuran ibarat pedang Allâh di muka bumi, tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atasnya melainkan akan terpotong olehnya. Dan tidaklah kejujuran menghadapi kebathilan melainkan ia akan melawan dan mengalahkannya serta tidaklah ia menyerang lawannya melainkan ia akan menang. Barangsiapa menyuarakannya, niscaya kalimatnya akan terdengar keras mengalahkan suara musuh-musuhnya. Kejujuran merupakan ruh amal, penjernih keadaan, penghilang rasa takut dan pintu masuk bagi orang-orang yang akan menghadap Rabb Yang Mahamulia. Kejujuran merupakan pondasi bangunan agama (Islam) dan tiang penyangga keyakinan. Tingkatannya berada tepat di bawah derajat kenabian yang merupakan derajat paling tinggi di alam semesta, dari tempat tinggal para Nabi di Surga mengalir mata air dan sungai-sungai menuju ke tempat tinggal orang-orang yang benar dan jujur. Sebagaimana dari hati para Nabi ke hati-hati mereka di dunia ini terdapat penghubung dan penolong.”[1]

Kemudian beliau melanjutkan, “Allâh Azza wa Jalla telah membagi manusia ke dalam dua bagian: orang yang jujur dan munafik. Allâh Azza wa Jalla  berfirman :

لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Agar Allâh memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan mengadzab orang munafik jika Dia kehendaki, atau menerima taubat mereka. Sungguh, Allâh Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [Al-Ahzâb/33:24]

Iman merupakan pondasi kejujuran, dan kemunafikan merupakan pondasi kedustaan. Iman dan dusta tidak akan berkumpul, karena salah satu dari keduanya pasti memerangi yang lainnya. Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa tidak ada yang dapat memberi manfaat dan menyelamatkan seorang hamba dari adzab hari kiamat selain kejujurannya. Allâh Azza wa Jalla  berfirman :


قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allâh ridha kepada kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung  [Al-Mâidah/5:119]

Dan firman-Nya :

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa.” [Az-Zumar/39:33]

Yang dimaksud orang yang membawa kebenaran adalah orang yang selalu jujur di setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya.

Jujur dalam perkataan adalah lurusnya lisan ketika berbicara seperti lurusnya tangkai dengan batangnya. Jujur dalam perbuatan adalah lurusnya perbuatan di atas perintah dan ittibâ’ seperti lurusnya kepala dan badan. Dan jujur dalam keadaan adalah lurusnya amalan hati dan anggota tubuh dalam keikhlasan, selalu berusaha dan mencurahkan segala kemampuannya dalam menggapai hal tersebut. Kalau sudah demikian, jadilah seorang hamba termasuk orang-orang yang membawa kebenaran. Seorang akan mencapai tingkatan shiddiqiyyah tergantung intensitas dia dalam menjalankan tiga perkara di atas. Karenanya, Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu menempati puncak shiddiqiyyah, dan dijuluki as-shiddiq secara mutlak. Shiddiq lebih tinggi dari shadûq (selalu jujur), dan shadûq lebih tinggi dari shâdiq (yang jujur).

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa derajat kejujuran yang paling tinggi adalah as-shiddiqiyyah, yaitu ketundukan yang sempurna kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keikhlasan yang sempurna kepada Allâh Azza wa Jalla .

Di antara tanda kejujuran itu adalah tenangnya hati, sebaliknya di antara tanda kedustaan adalah kebimbangan hati, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi secara marfu’ dari hadits al-Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

…إِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَة، وَالْكَذِبَ رِيْبَة…

“… Kejujuran itu ketentraman, dan dusta itu keragu-raguan …” [HR. At-Tirmidzi, no. 2518][2]

Ketahuilah, bahwa kata “اَلصِّدْقُ” (jujur) bisa digunakan untuk beberapa makna :

Pertama, jujur dalam perkataan. Setiap hamba harus menjaga kata-katanya, tidak berbicara kecuali dengan jujur. Jujur ini adalah bentuk kejujuran yang paling jelas dan paling dikenal. Seorang hamba hendaknya menjauhi kata-kata bermakna ganda, karena ia saudara tiri dari dusta kecuali dalam keadaan darurat dan dituntut demi kemaslahatan.

Kedua: Jujur dalam niat dan keinginan. Ini kembali kepada ikhlas. Apabila amalnya tercampuri oleh sebagian ambisi jiwa (terhadap dunia), maka kejujuran niatnya batal, bisa jadi dia dusta sebagaimana dalam hadits tentang tiga orang, yaitu orang berilmu, qâri’, dan mujâhid, manakala qâri’ berkata, “Aku membaca al-Qur’ân karena-Mu.” Allâh Azza wa Jalla menolaknya dan mengatakan bahwa dia dusta dalam niat dan keinginannya bukan dalam bacaannya, demikian juga kedua temannya yaitu orang yang berilmu dan mujâhid.

Ketiga: Jujur dalam tekad dan jujur memenuhinya.

Untuk yang pertama, misalnya seseorang mengatakan, “Bila Allâh memberiku harta, maka aku akan menyedekahkannya seluruhnya.” Ini adalah tekad yang bisa jadi jujur dan bisa tidak.

Untuk yang kedua seperti jujur dalam tekad. Jiwa mudah berjanji, karena ia memang tidak sulit  bila hakikat-hakikat terwujud, tekad terbuka dan hawa nafsu menguasai, karena itu Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ 

Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allâh … [Al-Ahzâb/33:23]

Keempat: Jujur dalam amal perbuatan, yaitu antara batin dan lahirnya sama, sehingga amal-amal lahirnya misalnya khusyu’ tidak menunjukkan sesuatu padahal batinnya berbeda.

Kelima: Jujur dalam kedudukan-kedudukan agama. Ini adalah derajat tertinggi, seperti jujur dalam takut dan berharap, zuhûd dan ridha, cinta dan tawakkal (kepada Allâh Azza wa Jalla ). Karena perkara-perkara ini memiliki dasar pijakan, memiliki tujuan-tujuan juga hakikat. Orang yang jujur yang sebenarnya adalah orang yang meraih hakikatnya.[3]

Jika seseorang berlaku jujur, dan membiasakan lisannya untuk selalu jujur, maka itu akan membawanya kepada kebaikan. Dan kebaikan akan mengantarkannya ke Surga.

  1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

, وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا  

Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur

Yaitu orang yang selalu berlaku jujur dalam perbuatan dan perkataannya, membiasakannya dan bersungguh-sungguh untuk berlaku jujur, maka Allâh Azza wa Jalla akan mencatat bahwa dia orang jujur.

Orang-orang yang jujur itu memiliki kedudukan tinggi. Dia berada setelah kedudukan para Nabi, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla  berfirman :

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa menaati Allâh dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allâh, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An-Nisâ’/4:69]

Maka orang yang selalu berlaku jujur akan dicatat di sisi Allâh sebagai shiddiq (suka jujur). Dan telah diketahui, bahwa kejujuran itu derajat yang tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh segelintir manusia.

  1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ  

Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang dari perbuatan dusta. Ini mencakup dusta dalam segala sesuatu, jadi tidak benar orang yang mengatakan, “Berdusta itu jika tidak menimbulkan bahaya untuk orang lain maka tidak mengapa.” Ini adalah perkataan yang bathil, karena tidak ada nash yang menunjukkan perkataan tersebut. Tetapi yang ada adalah nash yang mengharamkan perbuatan dusta secara mutlak.[4]


Berdusta juga akan merusak pengetahuanmu dan orang lain tentang sesuatu. Karena seorang pendusta itu menjadikan yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada, yang benar menjadi bathil, yang bathil menjadi benar, kebaikan jadi kejahatan, kejahatan jadi kebaikan.

Seorang yang berdusta itu telah berpaling dari kebenaran yang ada, menjadi ketiadaan, dan berpengaruh kepada kebathilan. Jika perbuatan-perbuatan itu telah merusaknya dan kebohongan telah mempengaruhinya, maka hatinya menjadi hati yang dusta dari lisannya. Dia tidak bisa mengambil manfaat dengan lisannya dan juga amalan-amalannya.

Karena itulah berdusta adalah pokoknya kejahatan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ

Sesungguhnya dusta membawa  seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka

Yang pertama kali terpengaruh oleh perbuatan dusta dalam jiwa adalah lisan, dan itu akan merusaknya. Kemudian berpengaruh kepada anggota badan dan merusak amalan-amalannya sebagaimana dusta itu merusak lisan dalam perkataan-perkataannya. Sehingga ia berdusta dalam perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Akibatnya, dia rusak, penyakitnya terus berlanjut sampai binasa. Jika Allâh Azza wa Jalla tidak memperbaikinya dengan obat kejujuran, Dia akan mencabut kejujuran tersebut dari hatinya.[5]

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa berdusta itu membawa kepada kejahatan. Yaitu, jika seseorang berdusta dalam perkataannya, maka dia akan terus dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya berbuat jahat. Wal ‘iyâdzu billâh. Dan itu telah keluar dari ketaatan, termasuk kedurhakaan dan maksiat. Berbuat jahat menyeret seseorang ke Neraka, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ ﴿٧﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ ﴿٨﴾ كِتَابٌ مَرْقُومٌ ﴿٩﴾ وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ ﴿١٠﴾الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ

Sekali-kali jangan begitu! Sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar tersimpan dalam Sijjin. Dan tahukah engkau apakah Sijjin itu? (Yaitu) kitab yang berisi catatan (amal). Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan! (yaitu) orang-orang yang mendustakannya (hari pembalasan).” [Al-Muthaffifiin/83:7-11]

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا  

Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta

Kita berlindung kepada Allâh dari termasuk orang-orang yang suka berdusta. Karena berdusta itu jika seseorang terbiasa melakukannya, maka dia akan berdusta dalam segala hal. Dan dia akan dicatat di sisi Allâh sebagai kadzdzâb (orang yang banyak berdusta).[6]

Karena inilah, asal amalan hati semuanya adalah dari kejujuran, dan lawannya seperti riya’, ujub, sombong, berbangga diri, lemah, malas, penakut, dan lainnya asalnya adalah dari perbuatan dusta.

Maka semua amalan shalih yang tampak maupun yang tersembunyi asalnya dari kejujuran. Dan semua amalan jelek yang tampak maupun yang tersembunyi asalnya dari perbuatan dusta.

Allâh Azza wa Jalla akan menghukum orang yang suka berdusta dengan menahan dan menghalanginya dari maslahat dan manfaat. Allâh Azza wa Jalla akan membalas orang yang jujur dengan memberinya taufiq dalam melakukan amal shalih di dunia dan akhirat.[7]

FAWAA-ID HADITS

Perintah dan anjuran untuk berkata dan berbuat jujur.
Perintah untuk senantiasa membiasakan berkata dan berbuat jujur dan berpegang pada kebenaran.
Berkata dan bersikap jujur akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke Surga.
Orang yang membiasakan diri jujur, maka sikap itu akan menjadi akhlak dan
Orang yang terbiasa dengan akhlak dan perangai yang baik dan jujur, maka ia akan diberi julukan yang dikenal yaitu shiddiq (jujur).
Akhlak yang mulia diperoleh dengan karunia Allâh Azza wa Jalla dan usaha yang sungguh-sungguh untuk belajar dan mengamalkannya.
Larangan berkata dan berbuat dusta atau bohong
Kedustaan merupakan sarana yang membawa kepada kejahatan, dan kejahatan akan membawa ke Neraka.
Akhlak yang buruk yang paling dibenci oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dusta atau bohong.
Dusta adalah sifat munafik dan kemunafikan dibangun di atas kedustaan.
Dusta atau bohong hukumnya haram.
Dosa berdusta atau bohong bertingkat-tingkat. Orang yang berdusta dalam mu’amalah (misalnya dalam jual beli) lebih besar dosanya dari orang yang sekedar menyampaikan berita.
Berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dosanya lebih besar dibanding berdusta atas nama orang lain dan diancam masuk neraka.
Jujur akan membawa kepada ketenangan dan ketentraman, sedangkan dusta membawa kepada keragu-raguan dan kegelisahan.
Orang yang terbiasa berbohong dan terus menerus melakukan kebohongan maka ia akan dijuluki tukang dusta/bohong.


Footnote
[1] Madârijus Sâlikîn (II/279), cet. Daarul Hadits-Kairo.
[2] Madârijus Sâlikîn (280-284) dengan ringkas.
[3] Mukhtashar Minhâjil Qâshidîn (hlm. 464-466) dengan ringkas.
[4] Syarh Riyâdhis Shâlihîn (VI/160-161) karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[5] Fawâ’idul Fawâ’id (hlm. 299).
[6] Syarah Riyâdhis Shâlihîn (hlm. 160-161) karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[7] Fawâ’idul Fawâ’id (hlm. 300).


Tidak ada komentar