Dakwah Adalah Suatu Amalan Yang Sangat Utama
Dakwah Adalah Suatu Amalan Yang Sangat Utama
Tidak diragukan bahwa dakwah merupakan suatu amalan yang sangat utama. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru menuju Allah dan dia beramal saleh, dan dia pun berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk dari kaum muslimin.’” (QS. Fushshilat: 33)
Para ulama menjelaskan bahwa dakwah itu membutuhkan ilmu. Karena berdakwah tanpa ilmu berarti beramal dengan kebodohan. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata.’” (QS. Yusuf: 108)
Pada masa ini, dengan berkembangnya teknologi informasi dan media sosial, hal itu telah membuka pintu bagi siapa pun untuk menyebarkan ucapan dan ajakan. Tidak terkecuali dalam urusan dakwah. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari kapasitas dirinya. Akhirnya, mereka berbicara sesuatu yang bukan keahlian dan di luar wewenangnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Inilah di antara fenomena yang melanda masyarakat masa kini. Ketika ‘semua orang’ berbicara tanpa mengenal adab dan etika.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa keimanan akan menjaga seorang muslim dari keburukan lisannya. Di antara keburukan lisan itu adalah berbicara dalam urusan agama tanpa ilmu dan tanpa adab. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“.. Dan kalian berbicara dengan mengatasnamakan Allah apa-apa yang kalian tidak ketahui ilmunya.” (QS. Al-A’raf: 33)
Di dalam Al-Qur’an, Allah juga mengaitkan perintah takwa dengan perintah untuk berucap dengan ucapan yang lurus. Bahkan, ketika memerintahkan Musa dan Harun untuk berdakwah kepada Fir’aun, maka Allah juga menyuruh mereka berdua untuk berbicara dengan ucapan yang lembut kepadanya.
Jagalah lisanmu!
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kalian apa yang paling banyak menjerumuskan orang ke dalam neraka?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau mengatakan, “Yaitu, dua buah lubang: kemaluan dan mulut. Dan apakah yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga? Ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang mulia.” (HR. Ibnu Majah, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Takhrij At-Targhib. Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad, hal. 123)
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang diam, maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad no. 6481. Sanadnya disahihkan Syekh Abdullah bin Yusuf Al-Judai’ dalam Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 21-22; Bab Najatul Insan bi Ash-Shamti wa Hifzhi Al-Lisan)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?” Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 20: 127-128; disahihkan sanadnya oleh Syekh Abdullah bin Yusuf Al-Judai’ dalam Ar-Risalah Al-Mughniyah, hal. 27)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara kedua jenggotnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka dia akan masuk surga.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)
Di dalam Al-Adzkar, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semestinya bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syariat) untuk menjaga lisannya dari segala ucapan, kecuali ucapan-ucapan yang tampak jelas kemaslahatannya. Apabila ternyata setara antara kemaslahatan berbicara atau tidak berbicara, maka yang dianjurkan adalah menahan diri darinya. Sebab bisa jadi ucapan-ucapan yang pada dasarnya mubah menyeret kepada ucapan yang haram atau makruh. Bahkan, hal semacam ini banyak terjadi dan lebih dominan dalam kebiasaan (sebagian orang). Padahal, keselamatan diri (dari bahaya lisan) adalah sebuah perkara yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apapun.” (Lihat Al-Fitnah wa Atsaruha Al-Mudammirah, hal. 302)
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah memahami agamanya, orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2: 84)
Thawus rahimahullah berkata, “Lisanku adalah binatang buas. Apabila aku melepaskannya dengan bebas, niscaya ia akan memakan diriku.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2: 90)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)
Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)
Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)
Dari Ibnu Abi Zakaria rahimahullah, beliau mengatakan, “Aku belajar untuk diam setahun lamanya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 39)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah dianggap berdosa jika seseorang senantiasa menceritakan segala sesuatu yang didengarnya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 45)
***
Post a Comment