Sedekah Yang Paling Utama
Sedekah Yang Paling Utama
Diriwayatkan dari sahabat Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ
“Tangan yang di atas (yaitu tangan orang yang memberi, pent.) itu lebih baik daripada tangan yang di bawah (yaitu yang diberi, pent.). Mulailah untuk orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sedekah yang paling baik adalah dari orang yang sudah cukup (untuk mencukupi kebutuhan dirinya). Barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, maka Allah akan memeliharanya. Dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya, maka Allah akan mencukupkannya.” (HR. Bukhari no. 1427 dan Muslim no. 1034. Lafaz hadis ini milik Bukhari.)
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: جُهْدُ الْمُقِلِّ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
“Ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Sedekahnya orang yang tidak punya, dan dahulukan bersedekah kepada orang yang menjadi tanggunganmu.’” (HR. Ahmad 14: 324, Abu Dawud no. 1677, Ibnu Khuzaimah no. 2444, Ibnu Hibban no. 3335, dan Al-Hakim 1: 414; dengan sanad yang sahih)
Penjelasan teks hadis
Pada hadis di atas, yang dimaksud dengan,
بِمَنْ تَعُولُ
“orang-orang yang menjadi tanggunganmu”
adalah anggota keluarga yang kita berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada mereka.
Sedangkan yang dimaksud dengan,
عَنْ ظَهْرِ غِنًى
“dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya)”
adalah harta yang disedekahkan itu tidak dia butuhkan untuk memberi nafkah kepada keluarganya, dia juga tidak membutuhkannya untuk membayar utangnya.
“Barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, maka Allah akan memeliharanya”, maksudnya adalah siapa saja yang memelihara dan menjaga kehormatan dirinya (dari perbuatan-perbuatan haram) dan menjauhi perbuatan meminta-minta, maka Allah Ta’ala akan memberikan taufik kepadanya untuk tidak bergantung kepada apa yang dimiliki oleh orang lain dan memudahkan segala urusan dan kebutuhannya.
“Dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya, maka Allah akan mencukupkannya”, maksudnya adalah siapa saja yang merasa cukup terhadap apa yang dia miliki, baik sedikit ataupun banyak, tidak bersifat tamak, dan menampakkan bahwa dia sudah berkecukupan, maka Allah Ta’ala akan memberikan rezeki kepadanya sehingga dia tidak merasa butuh kepada orang lain. Bahkan, dia berusaha untuk mencukupi dan membantu kebutuhan dan hajat orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan lafaz yang terdapat pada hadis kedua,
جُهْدُ الْمُقِلِّ
“orang yang tidak punya”,
adalah orang yang hanya memiliki harta yang sedikit.
Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadis sebelumnya yang menunjukkan bahwa sedekah yang utama adalah yang berasal dari orang yang sudah cukup untuk kebutuhan dirinya. Karena memang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi kesabaran seseorang ketika sedang berada dalam kesulitan dan juga ketika merasa cukup dengan harta yang dia miliki. Misalnya, seseorang yang memiliki sedikit harta kemudian bersedekah, maka itu lebih utama daripada orang yang bersedekah dalam kondisi memiliki banyak harta. Contoh lain, ketika ada orang yang memiliki banyak harta, lalu bersedekah dengan 1000 dinar, maka hal itu tidak bisa disamakan dengan orang yang bersedekah dengan satu dinar yang itu berasal dari kelebihan harta yang telah dipakai untuk mencukupi kebutuhan dirinya. Oleh karena itu, ketika seseorang sebetulnya membutuhkan harta, namun dia dermawan dan rajin sedekah, maka hal itu menunjukkan bahwa dia sangat menginginkan balasan dan pahala dari Allah Ta’ala.
Kandungan hadis
Kandungan pertama, hadis-hadis di atas menunjukkan tentang keutamaan sedekah dan motivasi untuk menyedekahkan dan menginfakkan harta.
Kandungan kedua, hadis di atas menunjukkan bahwa hendaknya seseorang itu mendahulukan nafkah untuk anggota keluarganya yang memang wajib dia nafkahi, sebelum bersedekah sunah kepada yang lainnya.
Hal ini juga ditunjukkan oleh hadis yang lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عِنْدِي دِينَارٌ، فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ – أَوْ قَالَ: زَوْجِكَ -، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: أَنْتَ أَبْصَرُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk bersedekah. Kemudian seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki uang satu dinar.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada dirimu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada anakmu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada istrimu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada pembantumu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Engkau lebih tahu.’” (HR. Abu Dawud no. 1691, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Nafkah yang dia berikan kepada keluarga yang memang wajib dia nafkahi tersebut itu senilai dengan sedekah. Orang yang memberi nafkah akan mendapatkan pahala ketika dia meniatkan dari dalam hatinya dengan niat ibadah.
Kandungan ketiga, hadis di atas menunjukkan bahwa sedekah yang paling afdal adalah yang berasal dari kelebihan (sisa) harta setelah dia mencukupi kebutuhan dirinya dan orang-orang yang wajib dia nafkahi, kemudian dia berikan kelebihan harta tersebut kepada kerabatnya yang lebih jauh. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Yang dimaksud dengan,
الْعَفْوَ
adalah harta yang lebih dari kebutuhan (keperluan). Sebagaimana dikatakan oleh sejumlah ulama salaf. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1: 373)
Kandungan keempat, hadis ini menunjukkan dianjurkannya merasa tidak butuh dengan apa yang dimiliki oleh orang lain, sehingga dia tidak meminta-minta kepada orang lain, baik secara terang-terangan atau dengan isyarat-isyarat. Akan tetapi, dia yakin dan percaya kepada Rabbnya dan bertawakal kepada-Nya. Dan di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah,
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“ALLOOHUMMA INNII AS-ALUKAL HUDAA WATTUQOO WAL ‘AFAAFA WALGHINAA” (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk (al-huda), ketakwaan, terhindar dari perbuatan yang haram, dan selalu merasa cukup (tidak meminta-minta).” (HR. Muslim no. 2721)
Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.
Wallahu Ta’ala a’lam.
***
Post a Comment