Berdebat Dengan Ahli Kitab Dengan Cara Yang Baik

Berdebat Dengan Ahli Kitab Dengan Cara Yang Baik 

Toleransi beragama, baik itu kepada Yahudi, Kristen, Majusi, Hindu, maupun kepada agama lainnya, merupakan salah satu ciri khas agama Islam semenjak dahulu kala. Hal inilah yang telah dicatat dengan jelas oleh sejarah, diakui oleh para sejarawan dan penulis, dan dirasakan langsung oleh mereka yang mengalaminya dari kalangan nonmuslim.

Hal ini tidaklah mengherankan. Karena Al-Qur’an telah memberikan dasar-dasar kepada kita, perihal bagaimana seharusnya memperlakukan nonmuslim yang bersikap damai terhadap umat Islam, yang tidak memerangi kaum muslimin dan tidak mengusir mereka dari rumah mereka. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Di ayat ini, Allah Ta’ala menggunakan lafaz al-birr (berbuat baik), padahal sedang membahas bagaimana memperlakukan orang-orang musyrik. Kata al-birr tersebut seringnya digunakan untuk menyebut hak yang paling layak untuk kita tunaikan setelah hak Allah Ta’ala, yaitu birrul walidain (berbuat baik dan menghormati orang tua). Hal ini tentu saja menjelaskan kepada kita akan betapa pentingnya berbuat baik kepada orang-orang non-Islam yang memenuhi syarat-syarat di dalam ayat tersebut. Yaitu, tidak memerangi kaum muslimin dan tidak pula mengusir mereka dari rumah-rumah mereka.

Toleransi Islam dengan ahlul kitab secara khusus

Bagi ahlul kitab, ada perlakuan khusus yang diajarkan oleh agama ini. Ahlul kitab yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang agamanya berlandaskan dengan kitab-kitab samawi, kitab-kitab yang Allah turunkan dari atas langit, meskipun kitabnya tersebut telah banyak diubah dan diganti-ganti di kemudian hari. Seperti agama Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab pegangan Taurat dan Injil.

Beberapa toleransi dengan mereka di antaranya:

Pertama: Al-Qur’an melarang kita untuk berdebat dengan mereka perihal agama mereka, kecuali dengan cara yang baik. Agar perbedaan pendapat yang timbul tidak menyakiti perasaan, menimbulkan pertengkaran, serta menyulut api fanatisme dan kebencian di hati. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu satu. Dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Al-Ankabut: 46)

Kedua: Islam membolehkan kita untuk memakan makanan ahli kitab dan makan dari hewan sembelihan mereka, juga membolehkan perkawinan campur dengan wanita-wanita mereka yang bisa menjaga kehormatan dan menjaga dirinya.

Ketahuilah, ini jelas merupakan bentuk toleransi yang besar dalam agama Islam. Seorang muslim diperbolehkan untuk memiliki istri, yang akan serumah dengannya, pasangan hidupnya, dan ibu dari anak-anaknya, seorang wanita nonmuslim (dari kalangan ahli kitab). Allah Ta’ala berfirman,

ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka terhapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Ma’idah: 5)

Kedua hal ini adalah perlakuan khusus kita kepada ahli kitab, meskipun mereka tidak tinggal di negeri muslim. Adapun jika ahli kitab tersebut tinggal di negeri muslim, maka mereka memiliki perlakuan yang berbeda. Mereka itulah yang kita sebut dengan “Ahlu Dzimmah.”

Toleransi bagi nonmuslim yang hidup di negara Islam

Ahlu Dzimmah adalah sebutan untuk orang-orang nonmuslim yang hidup berdampingan di negara Islam dan memiliki kesepakatan damai dengan mereka serta diwajibkan untuk membayar jizyah atau upeti.

Di dalam Islam, Ahlu Dzimmah memiliki hak-hak yang sama dengan penduduk sipil muslim lainnya. Di antara hak-hak dan toleransi yang diberikan kepada mereka adalah:

Pertama: Mendapatkan perlindungan dari serangan musuh luar.

Kedua: Jaminan keselamatan dari perbuatan zalim di dalam negeri.

Agama Islam melarang umatnya untuk menyakiti orang kafir Ahlu Dzimmah, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Dan Allah Ta’ala juga tidak menyukai kezaliman, bagaimana pun bentuknya, meskipun itu kezaliman kepada orang-orang nonmuslim sekalipun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ketahuilah, bahwa orang yang menzalimi orang kafir yang menjalin perjanjian dengan Islam atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu yang tidak ia relakan, maka aku adalah orang yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052)

Umat Islam semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, zaman khulafaurrasyidin, dan generasi-generasi seterusnya, sangatlah peduli untuk mencegah ketidakadilan yang terjadi pada Ahli Dhimmah, menahan diri untuk tidak menyakiti mereka, dan mendengarkan setiap keluhan yang datang dari mereka.

Ketiga: Jaminan keselamatan jiwa dan raga.

Darah dan jiwa mereka dilindungi menurut kesepakatan kaum muslimin. Haram hukumnya untuk ditumpahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا

Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Keempat: Jaminan keamanan pada harta.

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan jaminan tersebut kepada utusan penduduk Nasrani Najran yang datang kepadanya. Al-Qadhi Abu Yusuf rahimahullah dalam kitabnya Al-Kharraj mengatakan,

“Najran dan rombongannya mendapat perlindungan Allah dan perlindungan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas harta benda mereka, kehidupan mereka, tanah mereka, komunitas mereka. Baik untuk orang-orang yang tidak hadir, maupun orang-orang yang menyaksikannya, keluarga mereka, dan perdagangan mereka, dan segala hal yang ada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak.” (Al-Kharraj, hal. 85)

Kelima: Kebebasan beragama dan beribadah.

Tidak boleh memaksa orang-orang nonmuslim untuk masuk ke dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256)

Sebagaimana mereka juga diperbolehkan untuk bebas beribadah di tempat ibadah mereka masing-masing, tidak boleh mengganggu mereka atau bahkan merusak tempat ibadah mereka. Sebagaimana Imam At-Thabari rahimahullah mengisahkan tentang perjanjian Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu kepada penduduk Yerussalem di masa beliau ketika menaklukkannya,

“Dia memberi mereka keamanan pada jiwa mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, dan simbol-simbol agama mereka yang lainnya. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni dan dirampas, tidak pula akan dirobohkan. Dan mereka juga tidak akan dihalangi dari memasuki tempat-tempat ibadah tersebut, diperbolehkan untuk menggunakan salib mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubah agama mereka, dan tidak ada satu pun dari mereka yang boleh dirugikan.” (Kitab Tarikh At-Thabari, 3: 105)

Lalu, mengapa Islam melarang ikut serta dalam perayaan Natal?

Sebagian dari saudara muslim kita mungkin masih ada yang beranggapan bahwa merayakan hari raya Natal dan Tahun Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan toleransi kepada kaum Nasrani. Banyak dari mereka yang masih ikut merayakan hari raya tersebut bersama mereka atau sekedar memberikan ucapan selamat, “Merry Christmas” kepada yang merayakannya.

Ketahuilah, wahai saudaraku, perbuatan semacam ini bukanlah termasuk dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita. Sebaliknya, ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang benar datangnya dari beliau justru menunjukkan bahwa hal semacam ini terlarang.

Pertama:  Di dalam surah Al-Kafirun, Allah Ta’ala berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Allah Ta’ala perintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan ayat ini kepada kaum musyrikin yang membujuknya untuk mau menyembah sesembahan mereka dengan dalih mereka nanti juga akan menyembah Allah Ta’ala. Sebuah toleransi yang mereka tawarkan, namun Allah Ta’ala dengan tegas menjelaskan bahwa setiap agama hanya diperuntukkan untuk pemeluknya saja.

Perayaan Natal jelas merupakan salah satu hari besar orang Nasrani, sebuah perayaan yang sarat akan pengagungan dan penyembahan mereka kepada Nabi Isa, yang mereka anggap sebagai tuhan. Maka dari itu, seorang muslim dilarang untuk ikut serta di dalam merayakannya, karena itu sama saja mencampuri mereka dalam ibadah dan agama mereka.

Kedua: Seorang muslim dilarang berhari raya, kecuali dengan hari raya yang disyariatkan dan diizinkan oleh agama Islam. Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita dua hari raya, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi Muhammad datang ke kota Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain atau bersukacita. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya di mana kalian bersuka cita di dalamnya. Ketahuilah, Allah Ta’ala telah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Idulfitri dan Iduladha.” (HR. Abu Dawud no. 1134 dan Ahmad no. 12827).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikan dua hari hari raya yang dirayakan oleh penduduk Madinah pada waktu itu dengan Idulfitri dan Iduladha. Lalu, bagaimana mungkin seorang muslim dengan bebasnya dan bermudah-mudahannya ikut merayakan Natal dengan dalih toleransi?! Sungguh ini merupakan penyelisihan kepada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu A’lam bisshawab.

***

Tidak ada komentar