Hukum Menerima Hadiah Natal
Hukum Menerima Hadiah Natal
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah
Pertama, Islam membolehkan umatnya untuk menerima hadiah dari orang kafir. Apalagi jika tujuannya dalam rangka mengambil hati mereka dan memotivasi mereka untuk simpati pada Islam. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari beberapa raja kafir, seperti beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, raja mesir yang beragama nasrani.
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari menyatakan, Bab bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik. Kemudian beliau membawakan hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibrahim ‘alaihis salam pernah berhijrah bersama istrinya Sarah. Kemudian keduanya melewati sebuah kampung yang dipimpin oleh raja yang zalim. Dan raja ini memberi hadiah Hajar kepada Sarah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diberi hadiah kambing oleh orang Yahudi, yang ada racunnya. Abu Humaid mengatakan, Raja Ailah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bighal (peranakan kuda dengan keledai) berwarna putih dan dia juga memberi pakaian. (Shahih Bukhari, sebelum hadis 2615)
Kedua, Terkait hukum menerima hadiah natal, pendapat yang tepat tentang menerima hadiah dari orang kafir ketika natal hukumnya boleh, dengan beberapa syarat yang akan kita simpulkan dari penjelasan berikut;
Menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka, tidak dianggap sebagai bentuk setuju dan ikut andil dalam hari raya mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk amal baik, apalagi jika tujuannya adalah untuk mengambil hati dan memberi kesan yang baik tentang Islam. Allah Ta’ala membolehkan untuk berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslilmin. Allah berfirman,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan: 8)
Hanya saja perlu dipahami, berbuat baik pada orang kafir sama sekali tidak sama dengan menyintai dan loyal kepada mereka. Karena kita tidak boleh menyintai dan loyal kepada orang kafir. Allah berfirman,
لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga …”
Demikian juga, Allah melarang kita untuk menjadikan orang kafir sebagai ‘bithanah‘ [Arab: بِطَانَةً], yang artinya teman dekat, sehingga menjadi tempat curhat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran: 118)
Syaikhul Islam mengatakan, “Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”
Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”
Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5)
Dengan demikian bisa kita simpulkan, dibolehkan menerima hadiah dari orang nasrani ketika natal dengan persyaratan berikut:
- Hadiah tersebut bukan berupa daging hewan yang disembelih untuk acara natal
- Hadiah tersebut bukan termasuk benda yang menjadi ciri khas mereka, seperti topi santaklaus atau salib
- Ketika menerima hadiah, dia menjelaskan kepada keluarganya tentang sikap yang dia lakukan
- Tujuan menerima hadiah adalah dalam rangka mengambil hati dan mencari simpati mereka terhadap islam, bukan karena mencintai dan mendukung hari raya mereka.
Masih menyisakan satu masalah, bagaimana jika kita diberi hadiah yang tidak boleh diterima?
Sikap yang tepat, kita harus menolaknya sambil menjelaskan alasannya, mengapa hadiah ini ditolak. Sampaikan dengan bahasa santun, dan tidak menyinggung perasaan. Dengan ini, orang tersebut akan menghargai keadaan kita. Misalnya: mohon maaf, bukan karena saya membenci (Anda), tapi karena agama kami melarangnya, atau kalimat semacamnya.
Terakhir, selayaknya seorang muslim harus merasa bangga dengan agamanya dan berusaha menerapkan semua aturannya. Jangalah dia beralasan dengan rasa malu, ‘pekewoh’, dst. untuk melampiaskan bentuk toleransi beragama yang berlebihan dan tidak terukur.
Post a Comment