Merasa Diawasi Alloh
Merasa Diawasi Alloh
Muraqabah, sebuah kata yang asing bagi kita karena memang bukan berasal dari bahasa kita. Kata ini berasal dari bahasa Arab.
Lantas apa gerangan makna kata ini hingga kita bisa menjawab pertanyaan pada judul di atas?
Muraqabah memiliki dua sisi:
- Engkau selalu menghadirkan perasaan diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, engkau selalu mawas diri, memerhatikan dirimu yang engkau sadar dirimu senantiasa diawasi oleh-Nya.
- Engkau percaya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengawasimu, sebagaimana firman-Nya,
وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ رَّقِيبٗا ٥٢
“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (al-Ahzab: 52)
Dengan muraqabah ini, engkau yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala tindak tandukmu, apakah itu ucapanmu, perbuatanmu, ataupun keyakinan yang tersembunyi dalam kalbumu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡعَزِيزِ ٱلرَّحِيمِ ٢١٧ ٱلَّذِي يَرَىٰكَ حِينَ تَقُومُ ٢١٨ وَتَقَلُّبَكَ فِي ٱلسَّٰجِدِينَ ٢١٩
“Bertawakallah engkau kepada Dzat Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang Dia melihatmu ketika engkau berdiri (melakukan ibadah). Dan Dia melihat gerak-gerikmu di antara orang-orang yang sujud.” (asy-Syu’ara: 217—219)
Allah subhanahu wa ta’ala melihat apa yang engkau lakukan di tengah malam yang gulita saat tidak ada seorang pun melihat dirimu. Saat engkau berdiri untuk ibadah kepada-Nya, Dia tahu. Saat engkau sujud, Dia pun tahu.
Dengan muraqabah, engkau yakin Allah subhanahu wa ta’ala mendengar semua yang terucap oleh lisanmu. Karena itu, engkau jaga lisanmu agar tidak berucap kecuali kebenaran atau diam, sebagaimana bimbingan agung sang Rasul yang agung shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau hendaknya dia diam.”
Dengan muraqabah, engkau jaga pandangan matamu agar tidak melihat sesuatu yang diharamkan walau sembunyi-sembunyi. Sebab, engkau yakin dengan firman-Nya,
يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ ١٩
“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersimpan dalam dada.” (Ghafir: 19)
Dengan muraqabah, engkau selalu memerhatikan kalbumu. Adakah di dalamnya penyakit yang harus dibasmi seperti syirik, riya, penyimpangan, iri dengki, benci, amarah, loyal kepada orang kafir, dan semisalnya, yang tidak Allah subhanahu wa ta’ala ridhai?
Engkau selalu memerhatikan kalbumu dan berusaha memperbaikinya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya.” (Qaf: 16)
Bagaimana pun rapatnya engkau menyimpannya, di sudut hatimu yang paling dalam, Allah subhanahu wa ta’ala pasti mengetahuinya. Jangankan yang ada di kalbu, semua yang di bumi dan di langit, tidak ada yang tersembunyi bagi Allah subhanahu wa ta’ala.
Dia Yang Mahaagung berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَخۡفَىٰ عَلَيۡهِ شَيۡءٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَآءِ ٥
“Sesungguhnya bagi Allah, tidak ada sesuatu pun di bumi dan tidak pula di langit yang tersembunyi bagi-Nya.” (Ali Imran: 5)
Segala sesuatu yang di bumi dan di langit itu ada yang dirinci-Nya sebagaimana dalam ayat berikut,
وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٖ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ ٥٩
“Di sisi-Nyalah kunci-kunci perbendaharaan yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh kecuali Dia mengetahuinya, tidak pula biji dalam kegelapan bumi, tidak pula yang basah dan tidak pula yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’am: 59)
Apabila demikian keluasan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala, hendaklah setiap mukmin senantiasa merasa diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala . Dia takut kepada-Nya di saat sendirian, sebagaimana halnya takut kepada-Nya saat terang-terangan.
Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah gaib dari hamba-hamba-Nya. Dia senantiasa bersama mereka di mana pun mereka berada. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ
“Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (al-Hadid: 4)
Allah subhanahu wa ta’ala bersama kita tentu bukan maknanya Dia di bumi, satu tempat dengan kita. Tidak sama sekali! Ini pemahaman yang sesat dan batil. Mahasuci Dia!
Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala di atas segala sesuatu, sebagaimana disebutkan dalam banyak firman-Nya, di antaranya,
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ ٥
“Ar-Rahman beristiwa (tinggi) di atas Arsy.” (Thaha: 5)
وَهُوَ ٱلۡقَاهِرُ فَوۡقَ عِبَادِهِۦۚ
“Dia Maha Memaksa di atas hamba-hamba-Nya.” (al-An’am: 18)
وَهُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡعَظِيمُ ٢٥٥
“Dia Mahatinggi lagi Mahaagung.” (al-Baqarah: 255)
Allah subhanahu wa ta’ala tinggi dalam kedekatan-Nya dan dekat dalam ketinggian-Nya. Dzat Allah subhanahu wa ta’ala di atas sana, di atas seluruh makhluk-Nya, namun Dia senantiasa bersama para hamba-Nya karena ilmu-Nya meliputi mereka. Demikian pula pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, pengaturan-Nya, dan selainnya. Tidak ada yang lepas dari-Nya subhanahu wa ta’ala.
Barang siapa memiliki muraqabah ini, niscaya dia dapat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ihsan. Apa ihsan itu?
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ihsan, beliau menjawab,
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa merasa melihat-Nya, (yakinlah) bahwa Dia melihatmu.”
Al-Ihsan adalah derajat yang paling tinggi dalam dienul Islam, setelah derajat al-islam (amaliah zahir) dan aliman (amaliah batin).
Maka dari itu, beribadahlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan derajat ihsan, seakanakan engkau melihat dan menyaksikan-Nya dengan mata kepala. Inilah ibadah karena berharap dan rindu kepada Dzat yang diibadahi (ibadah raghbah).
Jika tidak bisa demikian, turunlah kepada derajat yang kedua, yaitu meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala melihatmu dalam ibadahmu. Inilah ibadah karena takut kepada Dzat yang diibadahi (ibadah rahbah).
Dengan muraqabah, seorang hamba akan berupaya menjadi pribadi yang senantiasa bertakwa kepada Rabbnya, menjalankan semua yang diperintahkan karena berharap pahala dari-Nya dan menjauhi semua yang dilarang karena takut akan siksa dan azab-Nya. Dia bersegera menyambut seruan kebaikan dan meninggalkan ajakan kepada keburukan.
Kalau pun terjatuh dalam kejelekan, sebagai layaknya anak Adam, dia segera bangkit menengadahkan kedua tangannya memohon ampun kepada Rabbnya, bertobat dengan sebenarnya (taubatan nashuha), beristighfar, dan memperbanyak kebaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan,
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
“Ikutkanlah (susullah) keburukan dengan (perbuatan) kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan keburukan.”
Setelah penjelasan ini, sudahkah kita memahami apa itu muraqabah dan sudahkah kita memilikinya?
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Post a Comment