Zakat Barang Dagangan

Zakat Barang Dagangan 

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.” (HR. Abu Dawud no. 1562)

Sanad hadis ini dha’if. Abu Dawud bersendirian meriwayatkan hadis ini di antara penulis kitab kutubut sittah (yaitu, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Jami’ At-Tirmidzi). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul, yaitu Ja’far bin Sa’d bin Samurah; gurunya, yaitu Khabib bin Sulaiman; dan juga guru dari gurunya Ja’far, yaitu Sulaiman bin Samurah. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul.” (At-Talkhish, 2: 179) Hadis ini juga dinilai dha’if oleh Al-Albani.

Kandungan hadis

Hadis ini merupakan dalil wajibnya zakat barang perdagangan. Yang dimaksud dengan barang perdagangan (‘urudhut tijarah) adalah semua barang yang dimaksudkan untuk aktivitas perdagangan (jual beli) dalam rangka mendapatkan keuntungan, dari semua jenis barang yang diperdagangkan. Contohnya, kendaraan (mobil, motor), makanan, pakaian, bejana (cangkir, mangkok), tanah dan bangunan, hewan, atau selain itu yang termasuk dalam definisi yang telah disebutkan.

Hadis ini, meskipun sanadnya dha’if, akan tetapi dikuatkan oleh dalil-dalil umum. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka sebagai zakat yang kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Dan juga firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian (kewajiban) tertentu.” (QS. Al-Ma’arij: 24)

Harta berupa barang perdagangan adalah harta yang sifatnya umum, karena mencakup semua jenis barang yang diperdagangkan sesuai penjelasan sebelumnya. Sehingga harta semacam ini sudah selayaknya termasuk dalam ayat-ayat tersebut.

Sebagaimana juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)

Mayoritas ahli tafsir, seperti Ibnu Jarir At-Thabari, Al-Jashash, Ibnul ‘Arabi, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah zakat barang perdagangan, karena termasuk dalam harta yang diusahakan oleh manusia. Sedangkan nafkah atau infak yang paling agung adalah infak berupa zakat (sedekah wajib). (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 5: 555; Ahkam Al-Qur’an, 2: 174 karya Al-Jashash; dan Ahkam Al-Qur’an, 1: 235 karya Ibnul ‘Arabi)

Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya,

بَابُ صَدَقَةِ الكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ

Bab Zakat Hasil Usaha dan Perdagangan.

Setelah itu, beliau pun menyebutkan ayat di atas.

Demikian pula, terdapat sejumlah atsar perkataan para sahabat yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, seperti perkataan Umar, Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum dengan sanad yang sahih. Zahirnya, perkataan semacam ini tentu saja tidak bersumber dari akal (pendapat) mereka saja, akan tetapi berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain itu, tidak dijumpai sahabat lain yang menyelisihi atau menentang perkataan-perkataan tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr (At-Tamhid, 17: 130). Ini adalah suatu perkara yang masyhur, memiliki banyak faktor pendorong untuk dinukil, sehingga ketika tidak dijumpai nukilan sahabat yang mengingkarinya, maka hal ini dianggap ijmak (kesepakatan) mereka, bahwa terdapat kewajiban zakat barang perdagangan dari syariat.

Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya ijmak bahwa barang yang diperdagangkan itu ada kewajiban zakatnya jika telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah) (Al-Ijma’, hal. 51). Perkataan beliau ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, dan beliau pun menyetujuinya (Al-Mughni, 4: 248).

Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat barang perdagangan (Al-Muhalla, 5: 233). Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama belakangan seperti Asy-Syaukani (As-Sail Al-Jarar, 2: 26-27) dan juga Al-Albani (Tamamul Minnah, hal. 363). Mereka berdalil bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya zakat barang perdagangan, sedangkan hukum asal mukallaf adalah bara’ah adz-dzimmah (tidak dikenai suatu kewajiban sampai adanya dalil).

Tentu saja, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa ada kewajiban zakat pada barang perdagangan. Adapun pendapat kedua (yang menyatakan tidak wajibnya), telah disebutkan oleh Abu ‘Ubaid bahwa pendapat itu bukan termasuk mazhab para ulama (Al-Amwal, hal. 434). Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama belakangan dari ulama zahiriyyah menyangka bahwa tidak ada kewajiban zakat (bagi barang perdagangan), padahal sudah ada ijmak sebelumnya.” (Ma’alim As-Sunan, 2: 223)

Sehingga berdasarkan perkataan Al-Khattabi rahimahullah tersebut, maka penyelisihan ulama Zahiriyah dan yang mengikuti mereka dalam masalah ini tidak perlu dianggap, karena telah ada ijmak sebelumnya. Mereka berdalil dengan kaidah bara’atu adz-dzimmah, padahal ada dalil yang memalingkan dari hukum asal, yaitu dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Selain itu, kewajiban zakat barang perdagangan juga didukung oleh dalil qiyas, dari dua sisi berikut ini:

Pertama, barang yang dimaksudkan untuk perdagangan adalah harta yang dimaksudkan atau diniatkan untuk berkembang, sama seperti harta yang dikenakan kewajiban zakat seperti hewan ternak, hasil pertanian, emas, dan perak. Bahkan, mayoritas harta yang dimiliki oleh manusia adalah barang yang diperdagangkan. Kalau kita katakan, “Tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan”, maka akan gugurlah kewajiban zakat dari sebagian besar harta kaum muslimin. (Lihat Bidayatul Mujtahid, 2: 75)

Kedua, barang-barang yang diputar sebagai modal itu sama dengan naqd (alat tukar) secara makna. Sehingga tidak ada bedanya antara barang perdagangan tersebut dengan nilai (harganya) dari dinar dan dirham. Kalau tidak ada kewajiban zakat pada barang perdagangan, maka orang-orang kaya akan memperdagangkan dinar atau dirhamnya supaya tidak dikenai kewajiban zakat.

Kesimpulan, berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat yang terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa terdapat kewajiban zakat pada barang perdagangan.

Zakat barang perdagangan dihitung berdasarkan nilai (harga) barang tersebut. Jika harga atau nilainya telah mencapai nishab emas atau perak, maka ada kewajiban zakat. Nishab-nya dipilih yang lebih hati-hati atau lebih memberikan manfaat untuk orang-orang miskin dari nishab emas atau perak (nishab emas adalah 85 gram; sedangkan nishab perak adalah 595 gram). Kemudian juga telah mencapai haul (satu tahun hijriah). Haul dihitung setelah harga barang tersebut mencapai nishab. Jika harga barang saat dibeli sudah mencapai nishab, maka haul mulai dihitung dari sejak pembelian barang tersebut.

Besar zakatnya adalah sebesar 2,5% dari harga barang, diqiyaskan dengan besaran zakat emas atau perak. Adapun keuntungan yang didapatkan dari perdagangan tersebut, diikutkan dengan nilai asal barang, sehingga tidak disyaratkan adanya haul yang baru. Karena keuntungan ini adalah far’un (cabang), dan dia mengikuti hukum barang pokoknya.

Misalnya, seseorang membeli tanah yang dia niatkan sejak awal untuk barang dagangan. Dia membeli pada tanggal 1 Jumadilakhir 1445 seharga Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Harga tersebut sudah melampaui nishab emas atau perak saat dibeli. Akan tetapi, sebulan sebelum mencapai haul (yaitu pada tanggal 1 Jumadilawal 1446), nilai tanah tersebut mengalami kenaikan menjadi Rp. 120.000.000. Maka kewajiban zakatnya adalah 2,5% x Rp. 120.000.000 = Rp. 3.000.000; dan dibayarkan pada tanggal 1 Jumadil akhir 1446.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

Tidak ada komentar