Agar Ramadhanmu Lebih Bermakna

Agar Ramadhanmu Lebih Bermakna 

Saudariku, bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia dan merupakan momen yang agung. Allah memperbesar pahala serta memperbanyak anugerah di dalamnya. Pintu-pintu kebaikan dibukakan bagi setiap orang yang bersemangat meraihnya. Rasul shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila tiba Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, dikunci rapat-rapatlah pintu-pintu neraka, dan diikatlah berbagai setan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa pintu-pintu surga dibuka pada bulan ini karena banyaknya amal shalih dan sebagai motivasi untuk orang-orang agar mengerjakan amal shalih, serta dikunci rapat-rapatnya pintu-pintu neraka karena sedikitnya maksiat yang dikerjakan oleh orang-orang yang beriman, dan dibelenggunya setan-setan supaya mereka tidak banyak berulah sebagaimana ulah mereka di luar bulan Ramadhan.

Sampainya bulan Ramadhan adalah suatu nikmat besar bagi semua orang yang menjumpainya serta mengisinya dengan kembali kepada Allah ta’ala, meninggalkan perbuatan maksiat menuju taat, meninggalkan lalai menuju ingat dan meninggalkan jauh dari Allah ta’ala untuk kembali dekat kepada Allah ta’ala. Seseorang yang mendapat pahala dari Allah karena melakukan amal shalih maka sesungguhnya dia diliputi karunia Allah dari tiga sisi,

Pertama, Allah-lah yang mensyari’atkan berbagai amal shalih bagi para hamba-Nya yang menjadi sebab diampuninya dosa-dosa mereka dan ditinggikannya derajat mereka. Hal tersebut merupakan nikmat yang agung, seandainya Allah tidak mensyari’atkan amalan tersebut, maka tentu seorang hamba tidak boleh beribadah kepada Allah dengan amalan tersebut karena ibadah itu hanya diambil dari apa yang Allah wahyukan kepada Rasul-Nya.

Kedua, Allah-lah yang memberikan taufiq kepada manusia untuk melakukan amal shalih yang telah ditinggalkan oleh banyak manusia, seandainya bukan karena pertolongan Allah serta taufiq-Nya niscaya manusia tidak akan melakukan amal shalih tersebut.

Ketiga, Allah juga yang memberikan anugerah berupa pahala yang banyak, yaitu Allah melipatgandakan satu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat dan masih dilipat gandakan lebih banyak lagi.

Maka betapa besar anugerah yang Allah berikan kepada kita. Sungguh anugerah itu adalah dari Allah, ketika kita bisa beramal itu merupakan anugerah dari Allah, demikian juga ketika kita dapat meraih pahala juga merupakan anugerah dari Allah. Oleh karena itu, wahai saudariku… hendaknya kita bersemangat untuk bangkit dari kelalaian, memohon kepada Allah agar diberi taufiq untuk mencari bekal berupa taqwa, serta memanfaatkan waktu senggang kita untuk mengerjakan berbagai amal shalih.

Tidak berlebihan menyiapkan buka sampai ikhtilat (ngabuburit)

Tahukah engkau wahai saudariku… Allah ta’ala akan membalas amalan puasa dengan pahala yang berkali lipat tak terhingga batasnya. Kenapa demikian? Kata Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah, “karena puasa adalah bagian dari kesabaran”. Adapun ganjaran bagi orang yang bersabar terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).

Selain itu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam juga mengabarkan adanya dua kebahagiaan yang akan diraih oleh orang yang berpuasa, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Kebahagiaan ketika berbuka jelas dijumpai oleh setiap orang yang berpuasa karena dia mendapati dirinya diperbolehkan lagi untuk menikmati makanan, minuman dan bergaul dengan suami atau istri. Namun bukan berarti dia boleh berlebihan dalam manjalani saat-saat berbuka atau kegiatan dalam malam-malam Ramadhan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Hendaknya kesabaran saat berpuasa terus berlanjut hingga momen-momen menjelang atau selepas berbuka, diantaranya dengan tidak berlebihan dalam menyiapkan hidangan berbuka, tidak menanti waktu berbuka dengan berjalan-jalan di tempat umum atau bercampur-baur dengan lawan jenis, tidak mendengarkan musik dan lain sebagainya. Kesabaran itu meliputi tiga macam, yaitu kesabaran dalam menjalani ketaatan kepada Allah, kesabaran dalam menjauhi perkara yang dilarang Allah, dan kesabaran dalam menghadapi taqdir Allah yang dirasa tidak mengenakkan.

Keutamaan memberi makan orang puasa

Wahai saudariku… diantara pahala yang agung dan kebaikan yang melimpah yang dapat kita raih pada bulan Ramadhan adalah dengan memberi makan untuk orang yang berbuka puasa. Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun juga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Bersemangat mengajarkan anak-anak untuk berpuasa dan belajar Al-Quran

Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ditanya tentang anak-anak yang sudah mumayyiz, kapankah diperintahkan untuk puasa? Beliau menjawab: “Adapun anak-anak yang belum baligh, apabila sudah mampu berpuasa maka hendaklah ia disuruh berpuasa dan diberi peringatan bila meninggalkannya.” Hal ini untuk melatih mereka beribadah dengan baik. Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra?iyallahu‘anha berkata tentang keadaan bulan Ramadhan: “Kami mengerjakan puasa (bulan Ramadhan) dan kami menyertakan anak-anak kami puasa. Kami memberikan kepada mereka mainan dari bulu. Jika salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami memberikan mainan itu kepadanya hingga waktu berbuka tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu, bersemangatlah wahai saudariku dalam memperbanyak membaca Al-Quran yang penuh berkah terutama pada bulan Ramadhan ini yang Al-Quran diturunkan di dalamnya. Sesungguhnya memperbanyak membaca Al-Quran pada bulan ini adalah suatu keistimewaan khusus. Jibril menyimak bacaan Al-Quran Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam ketika Ramadhan setiap tahun sekali khatam, namun ketika tahun dimana nabi shallallahu‘alaihi wa sallam wafat, Jibril menyimaknya dua kali khatam untuk menguatkan dan memantapkan bacaan Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam. Demikian juga orang-orang shalih terdahulu terbiasa memperbanyak tilawah Al-Quran pada bulan Ramadhan baik di waktu shalat maupun di luar shalat.

Dari ‘Utsman bin ‘Affan ra?iyallahu‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

Dalam hadits ini Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam menjelaskan status sebagai sebaik-baik manusia dapat diraih dengan mengumpulkan dua hal, yaitu mengumpulkan antara proses belajar dan proses mengajar. Maka setelah seseorang belajar dan mampu menguasai bacaan Al-Quran selayaknyalah dia menyebarluaskan dengan mengajarkannya pada orang lain.

Menghadiri majelis ilmu

Diantara adab-adab yang dianjurkan saat puasa adalah memperbanyak tilawah Al-Quran, berdzikir, berdoa, shalat dan sedekah. Adapun tilawah Al-Quran dijelaskan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah meliputi dua macam, yaitu membaca lafadznya dan mengikuti hukum-hukumnya. Mengikuti hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran ialah dengan membenarkan apa yang diberitakan dalam Al-Quran serta mengamalkan apa-apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang, itulah tujuan terbesar dari diturunkannya Al-Quran sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad: 29).

Oleh karena itu, semaraknya majlis ilmu yang mengkaji hukum-hukum Allah yang tekandung dalam Al-Quran dan sunnah pada bulan Ramadhan merupakan kesempatan bagi kita. Jangan kita sia-siakan dan kita lewati begitu saja. Bulan-bulan lain mungkin tidak dapat kita nikmati kesempatan tersebut karena banyaknya aktivitas dan kesibukan.

Dalam shahih Muslim, dari Abu Hurairah ra?iyallahu‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah sekelompok orang berkumpul di salah satu rumah Allah mereka membaca kitab Allah di sana dan mereka mempelajarinya di antara sesama mereka kecuali akan turun ketenangan pada mereka, kasih sayang melingkupi mereka, dan para malaikat pun mengelilingi mereka, serta Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.”

Adab keluar menuju masjid

Hadits di atas menunjukkan istimewanya belajar Al-Quran dan mempelajari agama secara umum di masjid. Empat keistimewaan akan Allah berikan bagi orang yang duduk di majelis ilmu. Berikut adalah adab-adab yang perlu diperhatikan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid:

  1. Keluar tanpa memakai parfum. Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa saja wanita yang mengenakan parfum lalu keluar menuju masjid niscaya tidak akan diterima shalatnya sampai dia mandi.” (HR. Ibnu Majah)
  2. Mengenakan pakaian yang sesuai syari’at. Kaum wanita pada masa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam apabila keluar menuju masjid mereka tidak mengenakan perhiasan dan tidak berdandan serta mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya.
  3. Tidak bercampur baur dengan kaum pria. Diriwayatkan dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah ra?iyallahu‘anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda saat beliau keluar dari masjid sementara kaum lelaki dan kaum wanita bercampur baur di jalanan: “Mundurlah kalian (kaum wanita)! Kalian tidak boleh berjalan di bagian tengah jalan. Hendaklah kalian memilih bagian tepinya.” Maka kaum wanita merapatkan dirinya ke dinding sampai-sampai pakaian mereka terseret pada dinding karena saking merapatnya.
  4. Tidak berduaan dengan sopir pribadi yang bukan mahram, karena ini adalah perbuatan haram meskipun dalam rangka pergi ke masjid.
  5. Melewat jalan yang aman dan tidak dikhawatirkan menimbulkan bahaya atas dirinya.
  6. Menghindari makan makanan yang baunya menyengat dan menyebabkan orang di sekitarnya terganggu. Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah dan lobak maka janganlah ia mendekati masjid kami. Karena para malaikat juga terganggu dengan hal-hal yang mengganggu bani Adam.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasaa’i)

Bagaimana menggunakan waktu ketika haid

Wanita haid tidak diperbolehkan mengerjakan shalat dan puasa. Adapun amalan-amalan ketaatan lainnya tetap bisa ia kerjakan, seperti memberi makan orang yang berbuka puasa, memperbanyak berderma dan menghidupkan malam-malam lailatul qadar dengan cara membaca Al-Quran tanpa menyentuh mushaf, berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (sub?anallah), tahlil (la ilaha illallah), tahmid (al?amdulillah), dan dzikir lainnya, memperbanyak istighfar, memperbanyak doa dan lain sebagainya.

Saudariku, renungkanlah karunia Allah kepada kita… betapa dosa ummat Muhammad shallallahu‘alaihi wa sallam akan Allah ampuni pada malam yang terakhir dari bulan Ramadhan apabila kita telah melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan pada bulan yang mulia ini berupa puasa dan shalat, sebagaimana orang yang bekerja akan mendapat ganjarannya ketika telah menyelesaikan pekerjaannya.

Selain itu, begitu banyak amalan-amalan lain sepanjang hari-hari pada bulan Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa, bahkan para malaikat juga memohonkan ampun bagi orang yang berpuasa sampai dia berbuka. Oleh karena itu Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”

Wa shallallahu wa sallamu ‘alaa nabiyyinaa Mu?ammadin wa ‘ala alihi wa ash?abihi wat tabi‘?na lahum bi ihsanin ila yaumiddin.

***

Artikel Buletin Zuhairah
Penulis:  Ummu ‘Ubaidillah
Murajaah: Ustadz Adika Minaoki

Referensi:

  1. Majalisu Syahri Rama?an, Syaikh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin, Darul ‘Aqidah, 1429 H.
  2. Shifatu Shaumi Nab? shallallahu‘alaihi wa sallam f? Rama?an, Salim bin ‘Ied Al-Hilali & ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Dar Ibnu Hazm, 1417 H.
  3. Panduan Ramadhan, bekal meraih Ramadhan penuh berkah, Muhammad Abduh Tuasikal, Pustaka Muslim, 1433 H.
  4. Wanita Muslimah di Bulan Ramadhan, (terj: Al Mar-ah fii Ramadhan), Muhammad bin Rasyid Al-Ghafiili, Pustaka At-Tibyan.

Tidak ada komentar