Hal Gaib Dalam Al-Quran

Hal Gaib Dalam Al-Quran

Kita akan membicarakan hal-hal gaib dalam Al-Quran. Pembicaraan yang pertama menyangkut apa yang disebut gaib menurut Al-Quran. Yang kedua mengenai macam-macam hal yang gaib menurut Al-Quran. Dan yang ketiga tentang hal-hal gaib yang diberitakan oleh Al-Quran. Picture

Menurut arti katanya, gaib berarti sesuatu yang tersembunyi dari pengamatan. Ada dua macam gaib, yaitu (1) gaib mudhâfi dan (2) gaib muthlaq. Gaib mudhâfi adalah sesuatu yang relatif di suatu waktu dan tempat. Misalnya, orang yang tidak hadir di suatu pertemuan, berarti ia gaib di tempat itu. Ia gaib di tempat tersebut, tapi tidak gaib di tempat yang lain. Sedangkan gaib muthlaq adalah sesuatu yang tidak bisa diamati oleh panca indera dalam situasi apa pun.

Dalam surat Qaf, 50:21-22 disebutkan: “Dan datanglah setiap jiwa, bersama dengannya seorang malaikat pengiring dan seorang malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini. Maka Kami singkapkan daripadamu tirai yang menu­tupi matamu. Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” Jadi, sebetulnya menurut Al-Quran, sesuatu yang gaib itu adalah sesuatu yang tertutup tirai, yang menghalangi pandangan. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Andaikan tirai diangkat, keyakinanku tidak akan bertambah.” Artinya, keyakinan Ali dalam agama sudah mencapai puncak tertentu. Sehingga, walaupun kegaiban dibukakan baginya, keimanannya tidak akan berubah, tidak akan bertambah.

Orang-orang tasawuf berbicara tentang kasyaf. Kasyaf artinya membuka tirai. Kalau seseorang sudah mencapai tingkat tertentu, maka tirai akan terbuka baginya, sehingga ia akan melihat hal yang gaib yang tidak bisa dilihat dengan pengamatan.

Dahulu, mulai dari zaman Renaisans, atau sejak zaman Descartes, orang-orang mengatakan bahwa yang menentukan sesuatu itu adalah pikiran. Kaum empiris di Inggris mengatakan bahwa sesuatu itu ada kalau ia bisa diamati. Hal-hal yang gaib harus menyingkir dari ilmu pengetahuan. Hampir selama tiga ratus tahun lebih orang tidak mau mempersoalkan yang gaib. Sehingga aktivitas berpikir pun dianggap sebagai mekanisme dari unsur fosfor yang ada dalam otak manusia. Bahkan Feuerbach, seorang berkebangsaan Jerman, mengatakan bahwa kalau tidak ada fosfor, maka orang tidak bisa berpikir. Fosforlah yang menyebabkan seseorang berpikir.

Baru sekitar pada tahun 1970-an, di kalangan ilmuwan fisika tumbuh suatu minat baru terhadap dunia gaib. Fisika, ketika didalami lebih lanjut, membawa mereka kepada dunia metafisika. Seorang ahli fisika pernah mengatakan, “Kita tiba-tiba berjalan menuju pintu agama, rahasia-rahasia alam; tiba-tiba menyingkap sesuatu yang gaib di alam semesta ini yang tidak bisa diamati secara empirik, tetapi detaknya ada.” Pada tahun 1970-anlah mulai terjadi arus balik pemikiran ilmuwan. Mereka mulai mengakui adanya unsur gaib di alam semesta ini, yakni unsur-unsur yang tidak bisa diamati oleh panca indera, oleh alat-alat laboratorium. Itulah yang disebut dengan gaib muthlaq, bukan gaib mudhâfi.

Sekarang mereka mengakui adanya gaib muthlaq. Mereka kini merumuskan crazy hypotheses, hipotesis gila. Misalnya ketika mereka menemukan bahwa elektron bisa berpindah dari satu lingka­ran ke lingkaran lain tanpa melewati ruang, kemudian mereka merumuskan hipotesis gila: Karena peredaran bumi —berikut pla­net-planet lain— mengelilingi matahari mirip edaran elektron mengelilingi proton, maka bisa saja dihipotesiskan bahwa tiba-tiba bumi ini pindah ke orbit yang lain, tanpa melewati ruang dan waktu.

Ketika kita berbicara tentang suatu benda yang tidak terikat ruang dan waktu itu, berarti kita berbicara tentang yang gaib. Sebab, sesuatu yang hadir, yang syahid, terikat dengan ruang dan waktu. Kita terikat dengan ruang dan waktu. Misalnya saya mau pindah dari tempat duduk ini ke tempat duduk yang lain. Saya harus bergerak lewat ruang, dan memerlukan waktu. Itu terjadi karena saya tidak termasuk gaib muthlaq, melainkan gaib mudha­fi.

Islam mengakui adanya dua jenis makhluk, baik yang gaib maupun yang syahid. Allah berfirman dalam Al-Quran, “Huwa Allâh al-ladzî lâ ilâha illâ huwa `âlim al-ghayb wa al-syahâdah huwa al-rahmân al-rahîm (Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia; Maha Mengetahui yang gaib dan syahid. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang) (QS Al-Hasyr, 59:22). Mengenai ayat ini, ada ahli tafsir yang mengatakan bahwa sifat Al-Rahman itu berhubungan dengan hal-hal yang gaib dan syahadah, sedangkan sifat Al-Rahim berhubungan dengan kenikmatan yang gaib.

Jadi, Al-Rahman adalah kasih sayang Allah yang meliputi hal yang gaib dan syahid. Se­dangkan Al-Rahim adalah kasih sayang Allah yang khusus berkaitan dengan nikmat-nikmat ghaybiyah, nikmat-nikmat yang gaib. Sebagian ulama yang lain menafsir-kan bahwa Al-Rahman ialah kasih sayang Allah kepada orang Islam dan orang kafir, kasih sayang kepada semua manusia. Adapun Al-Rahim merupakan kasih sayang Allah yang khusus kepada orang beriman saja.

Ada sebuah buku berjudul Al-Imdâd Al-Ghaybi fi Al-Hayât Al-Basyariyah. Artinya, Bantuan Gaib dalam Kehidupan Manusia. Mak­sudnya adalah bahwa dalam kehidupan ini terdapat bekas-bekas yang gaib. Sebetul-nya kita ini berhubungan dengan yang gaib. Ada sambungan antara kita dengan yang gaib. Salah satu cara untuk menghubungkan kita dengan yang gaib itu ialah salat. Pada saat salat, sebetulnya kita sedang berhubungan dengan yang gaib. Al-Quran sebenarnya juga merupakan bekas-bekas (jejak-jejak, red.) dari yang gaib, yang tampak pada kita.

Ahli tasawuf mengatakan bahwa kita hanya bisa dekat dengan Allah bila kita dekat dengan sesuatu yang datang dari-Nya. Artinya, kalau kita ingin membuka tirai kegaiban, maka lakukanlah lewat Al-Quran. Karena, Al-Quran itu posisinya marjinal, berada di antara yang gaib dengan yang syahid. Ia berasal dari yang gaib, tapi sekarang ia bisa kita saksikan.

Dulu pernah terjadi perdebatan menarik di kalangan ahli kalam: apakah Al-Quran itu makhluk atau bukan makhluk. Sebetulnya perdebatan ini terjadi karena Al-Quran memang memiliki unsur gaibnya. Al-Quran menyatakan, “Seandainya ada satu Al-Quran, yang dengannya bukit-bukit bisa berjalan, bumi bisa terbelah, dan orang mati bisa berbicara. Tapi kepunyaan Allah-lah segala urusan. (QS Al-Ra`d, 13:31). Para ahli tafsir ramai betul membicarakan ayat ini: bagaimana sebuah Al-Quran bisa membuat bukit-bukit berjalan, membelah bumi dan menyebabkan orang mati berbicara?

Ada buku tafsir yang hingga sekarang membuat saya pening. Buku itu ditulis oleh Ibn Arabi, salah seorang sufi yang terkenal, bahkan dianggap sebagai pemikir sufi yang abadi sampai sekarang. Orang yang belajar tasawuf dipandang belum sempurna sebelum belajar kitab Fushush Al-Hikam, karya Ibn Arabi. Hingga sekarang saya sendiri belum pernah membacanya, karena, pertama sulit, tidak bisa dipahami, dan yang kedua saya diperingatkan agar saya tidak membacanya, sebab saya bisa gila kalau membacanya sebelum sampai kepada ilmunya. Ada kemungkinan, Ibn Arabi mencoba menying-kap hal-hal yang gaib lewat Al-Quran.

Tidak ada komentar