Sekarang kita akan membicarakan berita-berita gaib di dalam Al-Quran. Ada beberapa jenis berita gaib dalam Al-Quran, yaitu:
Pertama, pengetahuan tentang Allah Swt, nama-nama-Nya, kitab-kitab-Nya, berita tentang makhluk-makhluk ruhaniah, seperti malaikat dan jin, berita tentang kehidupan sesudah mati di alam barzakh, kehidupan ruh sebelum dibangkitkan, surga dan neraka. Itu semua berita-berita gaib yang disampaikan oleh Al-Quran yang tidak bisa di-idrak oleh panca indera. Tapi menurut Al-Quran dan dalam kehidupan para rasul, makhluk-makhluk itu mempunyai hubungan dengan alam yang hadir ini. Hanya saja, karena kehidupan kita yang sangat materialistis dan menyingkirkan fenomena-fenomena non-empiris dalam kehidupan kita, maka hubungan kita dengan yang gaib itu seakan-akan ter-putus.
Padahal, menurut Islam, malaikat itu masih terus berhubungan dengan kita semua. Dalam Al-Quran disebutkan, “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: Tuhan kami adalah Allah, lalu mereka beristiqamah, akan turun kepada mereka malaikat (yang berkata kepada mereka): Janganlah kalian takut dan jangan bersedih, dan gembiralah dengan surga yang telah dijanjikan untuk kalian. Kami adalah sahabat-sahabat kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat nanti. Kelak di surga itu kalian akan memperoleh apa yang kalian inginkan, dan di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian minta, sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS Fushshilat, 41:30-32).
Menurut ayat di atas, malaikat senantiasa berhubungan dengan kita. Dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa pada Laylat Al-Qadr, malaikat dan ruh turun, “Tanazzalu al-malâ’ikatu wa al-rûh fîhâ bi idzni rabbihim min kulli amr (QS Al-Qadr, 97:4). Turunnya malaikat ke bumi ini merupakan hubungan kita dengan yang gaib. Jadi, sebetulnya para malaikat dan makhluk ruhaniah itu masih berhubungan dengan kita.
Pada zaman Rasulullah Saw, ada beberapa contoh peristiwa yang mencerita-kan hubungan manusia hidup dengan hal yang gaib. Ada beberapa hadis yang sampai kepada kita, tapi kita belum “menyelidiki” hadis-hadis tersebut. Saya membacanya dari buku Aqidah Islamiyah, karya Sayyid Sabiq. Ada seseorang sedang membaca Al-Quran pada malam hari. Ia membacanya di kandang kuda. Sementara anaknya tertidur di sampingnya. Saat tengah malam, kuda itu meringkik keras. Orang itu berhenti membaca karena takut kuda tersebut menginjak anaknya. Lalu kuda tersebut meringkik lagi. Ketika sampai pada saat tertentu, ia melihat keluar. Dan terlihat ada semacam asap membumbung ke angkasa. Esok paginya ia menanyakan peristiwa itu kepada Rasulullah Saw.
“Ya Rasulullah, malam tadi saya membaca Al-Quran. Tiba-tiba kuda meringkik keras.” “Apakah kamu terus membaca Al-Quran?” tanya beliau. Orang itu menjawab, “Ya. Saya meneruskan membaca Al-Quran, kemudian kuda itu meringkik lagi.” “Lalu apakah kamu terus membaca?” tanya beliau lagi. Orang itu menjawab, “Tidak, ya Rasulullah. Dan setelah itu saya melihat di luar ada semacam awan yang membumbung ke angkasa.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalau kamu meneruskan membaca Al-Quran, niscaya tirai kegaiban akan dibukakan kepadamu.”
Kita tidak tahu bagaimana yang sebenarnya. Sayang orang itu tidak meneruskan membaca. Kalau saja ia meneruskan pembacaan itu, maka akan sampai kepada kita berita tentang tirai gaib yang tersingkap tersebut. Dalam hadis lain yang populer di kalangan ahli tasawuf juga disebutkan hal serupa tadi. Tapi saya lupa redaksi persisnya. Namun maksudnya kurang lebih begini. Kalau orang telah membersihkan jiwanya, hingga setan tidak ikut mengalir dalam darahnya, maka akan dibukakan baginya kerajaan langit dan bumi.
Di kalangan tasawuf sendiri beredar berita-berita atau cerita-cerita yang aneh-aneh. Ada satu tahap dalam perkembang-an seorang sufi yang disebut sakar, mabuk. Pada tahap ini seorang sufi seperti kehilangan ingatannya, seperti gila. Sebenarnya kegilaan itu terjadi ketika tirai kegaiban terbuka baginya. Ketika tirai itu terbuka, ia merasa bingung karena tidak mampu mengungkapkan apa yang disaksi-kannya lewat bahasa yang ada. Sebab, bahasa manusia sebetulnya hanya berkenaan dengan benda-benda yang ada dalam pengalamannya saja. Jadi, kalau seseorang menemukan pengalaman yang betul-betul baru, maka bahasanya tidak ada yang bisa mengungkapkannya.
Jadi, para sufi itu pun kesulitan untuk meng-ungkapkan pengalaman spritual mereka. Lalu keluarlah apa yang disebut sathahât, yakni ucapan-ucapan yang tidak puguh, yang tidak ada artinya. Tapi bagi para sufi ucapan-ucapan itu sebenarnya dimaksud-kan untuk mengungkapkan pengalaman batiniah mereka pada saat mereka menyaksikan yang gaib itu.
Saya ilustrasikan begini. Misalnya saya ingin bercerita tentang pesawat terbang kepada sebuah masyarakat yang belum pernah melihatnya. Saya akan sulit menceritakannya. Dalam masyarakat itu tidak ada kata tentang pesawat terbang. Barangkali nanti saya akan menggambar-kannya sebagai semacam burung yang terbuat dari besi. Kita pun akan kesulitan berbicara dengan orang awam tentang konsep-konsep ilmiah, karena kata-kata ilmiah itu tidak ada dalam bahasa mereka.
Kedua, berita-berita tentang umat-umat terdahulu, yang tidak bisa kita ketahui kecuali lewat bekas-bekas sejarah yang sampai kepada kita, berupa relief atau dokumen. Dalam Al-Quran kita diberitahu tentang umat-umat terdahulu. Kita, misalnya, diberitahu tentang pemuda-pemuda yang tertidur di gua selama tiga ratus tahun lebih. Ini merupakan berita gaib karena Rasulullah tidak sempat jadi ahli sejarah, tidak ada relief atau dokumen yang sampai kepada beliau.
Yang termasuk gaib jenis kedua ini adalah berita-berita tentang manusia yang akan datang. Misalnya Al-Quran mengabar-kan tentang Abu Lahab dan istrinya yang akan mati sebagai orang kafir. “Tabbat yadâ abî lahab wa tabb ... (Binasalah kedua tangan Abu Lahab... dst.)” Ayat ini turun ketika Abu Lahab masih hidup. Padahal, mungkin bisa saja Abu Lahab itu masuk Islam karena kesadarannya, hingga ayat Al-Quran itu jadi salah. Kita berpikir rasional, andaikan Muhammad itu bukan nabi, yakni orang biasa, lalu beliau mengatakan bahwa Abu Lahab itu tetap kafir dan masuk neraka, lalu ternyata Abu Lahab datang masuk Islam, maka berarti Muhammad salah.
Tapi ternyata tidak demikian. Sampai meninggalnya, Abu Lahab tetap tidak masuk Islam. Untuk orang-orang lain Al-Quran tidak menyatakan begitu. Mungkin di antara orang-orang kafir itu ada yang akhirnya masuk Islam. Kebanyakan sahabat Nabi juga sebelumnya kafir dulu. Diriwayatkan bahwa sahabat Nabi yang tidak kafir terlebih dahulu hanyalah Ali bin Abi Thalib, yang masuk Islam ketika ia masih kecil. Jadi, ia tidak sempat jadi orang kafir.
Al-Quran juga menceritakan tentang kekalahan bangsa Romawi dalam QS Al-Rum, 30:2-3, “Bangsa Rum dikalahkan di dekat bumi (negeri) ini. Dan setelah kekalahan itu, mereka akan mengalahkan kembali.” Saat itu bangsa Romawi dikalahkan oleh kerajaan Persia. Lalu Al-Quran mengatakan bahwa orang-orang Romawi akan menang kembali dan mengalah-kan bangsa Persia, sehingga pada saat itu orang-orang beriman akan bergembira ria. Asbâb al-nuzûl-nya begini.
Orang-orang musyrik berkata, “Lihatlah orang-orang musyrik itu ternyata menang juga. Allah tidak menolong orang-orang beriman (maksudnya orang-orang Romawi, karena mereka termasuk pengikut agama Nashrani, sedang-kan Persia penganut agama Majusi, penyembah berhala). Ternyata agama Majusi bisa mengalahkan agama Nashrani.” Lalu orang musyrik itu berkata, “Berarti kita juga bisa mengalahkan Muhammad.”
Setelah itu Al-Quran memberitahu-kan bahwa orang-orang Persia akan dikalahkan kembali oleh orang-orang Romawi itu. Pada hari yang sama, orang Islam akan bergembira ria karena memperoleh kemenangan. Ternyata kemenangan orang-orang Rumawi itu persis waktunya dengan kemenangan orang-orang Islam pada perang Badar.
Post a Comment