HUKUMAN PELAKU LIWATH (SODOMI)
Kehidupan manusia kadang memang mengherankan, banyak manusia yang sudah menyimpang. Kehidupan yang seharusnya selaras dengan fitrah yang suci malah mereka nodai dengan penyimpangan demi penyimpangan sehingga kehancuran, kerusakan dan kehinaan menyelimuti kehidupan mereka.
Allah memberikan manusia akal sehingga bisa memikirkan hal-hal yang baik dan bermanfaat, tapi kadang karena hawa nafsunya mereka terjebak dalam kehinaan, seperti penyimpangan mereka dalam sex, kenikmatan sex yang Allah berikan untuk menjalin hubungan suami-istri atau laki-laki dan perempuan dalam bingkai pernikahan, justru mereka selewengkan dengan berhubungan sejenis, laki dengan laki-laki dan wanita dengan wanita. Perbuatan ini sejak zaman dahulu sebagaimana Allah jalaskan dalam firmannya:
َتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنكَرَ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَن قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya. Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seseorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan ? [al-Ankabut: 28-29]Perbuatan kaum Nabi Luth adalah liwath atau dengan bahasa kita sekarang homosexsual. Penulis pada makalah ini ingin menjelaskan seputar pembahsan ini. Karena realita yang sekarang kita hadapi banyak kaum muslimin yang terjerumus dalam dosa ini. Mereka meninggalkan istri-istri mereka dan wanita-wanita mereka dan menggantinya dengan perbuatan yang terlaknak sejak zaman Nabi Luth. untuk penjelasan lebih lanjut selamat menyimak.
Definisi
Liwath dari kata laatha-yaliithu-lauthan yang berarti melekat. Sedang liwath adalah orang yang melakukan perbutannya kaum Nabi Luth atau dari kata laawatha–yulaawithu yang berarti orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (hubungan sejenis).[1]
Sebab-sebab terjadinya liwath
Mengenai sebab-sebab terjadinya homosexsual, para sexsiologi berbeda pendapat. Ada yang mengatakan kerena pembawaan dan ada pula yang berpendapat karena faktor psikis. Pendapat di atas dibantah karena penyebabnya bukanlah karena pembawaan, karena semua anak yang lahir dalam keadaan fitrah [suci].
Moertiko berpendapat, bahwa homosex itu terjadi disebabkan karena pengalaman-pangalaman di masa lampau tentang sex yang membekas pada pikiran bawah sadarnya.
Sayyid Sabiq menjelaskan dalam fiqh sunnah, “Tidak pernah seorang laki-laki mamperhatikan lawan jenisnya. Hal ini kadang-kadang menyebabkan ketidakmampuan untuk melakukan hubungan dengan dengan lawan jenisnya.
Peran ortu yang salah, liwath terjadi karena ada konflik antara anak dan ortu yang berjenis kelamin yang berlainan yang tidak terselesaikan. Pada masa dewasanya, anak seperti ini akan mengalami kesulitan untuk megembangan cinta yang wajar dengan lawan jenisnya.
Pribadi yang lemah.
Peran yang tidal professional. Tokoh ayah terlalu dominant dan ibu pasif atau sebaliknya.
Hukum pelaku liwath
Allah telah mengisahkan kepada kita tentang kaum Nabi Luth di beberapa tempat dari kitab-Nya. Di antaranya adalah:
Artinya: “Maka tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim[2].” [Qs. Huuud: 82-83]
“Dan janganlah kamu sentuh unta betina itu dengan sesuatu kejahatan, yang menyebabkan kamu akan ditimpa oleh azab hari yang besar” Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal, Maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata. dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman.Dan Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Kaum Luth Telah mendustakan rasul-rasul, Ketika saudara mereka, Luth, Berkata kepada mereka: Mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya Aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.
Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”. [Qs. Asy-syura’: 156-166]
Artinya: “Dan kepada Luth, kami Telah berikan hikmah dan ilmu, dan Telah kami selamatkan dia dari (azab yang Telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji[3]. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.” [Qs. Al-anbiya’: 74]
Had liwath adalah dirajam hingga pelakunya mati tanpa dibedakan antara yang muhshan dengan ghairu muhshan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda: “Siapa yang kamu dapati sedang mengerjakan perbuatan kaum Nabi Luth [liwath], maka bunuhlah orang yang mensodomi dan yang disodomi.” [shahih Ibnu Majah no: 2075, Titmidzi III/8][4]Mengenai tata cara pelakasanaan pembunuhan keduanya terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat, dimana sebagian di antara mereka ada yang membunuh keduanya dengan membakarnya dan sebagian lagi membunuhnya dengan cara melempari keduanya dengan batu hingga meninggal dunia. Abdullah bin Abbas berkata, “Hendaklah dicari sebuah rumah yang paling tinggi di suatu desa dan keduanya dijatuhkan dari atasnya dalam keadaan terjungkir, kemudian dilempari batu.” [Hr. al-Baihaqi: 8/232] [5]
Madzhab Maliki
Pendapat pengikut madzhab Maliki dan Hanbali dari dua riwayat dari Ahmad, “Had liwath dirajam dalam segala keadaan, baik muhshan atau gahiru muhshan.” Sebagaimana sabda Nabi: “Siapa yang kamu dapati sedang mengerjakan perbuatan kaum Nabi Luth [liwath], maka bunuhlah orang yang mensodomi dan yang disodomi.” [Shahih Ibnu Majah no: 2075, Titmidzi III/8] atau dalam hadits lain, “Rajamlah yang atas atau yang bawah.” [6]
Madzhab Hanbali
Had liwath dirajam bagi yang muhshan dan di jild dan diasingkan bagi yang ghairu muhshan. [7]
Madzhab Syafi’i
Madhab Syafi’i berpendapat, “Had liwath sama dengan had zina, jika muhshan ia dirajam jika ghairu muhshan ia dijilid dan diasingkan, sebagaimana diriwayatkan Abu Musa al-Asy’ari ra, bahwa Nabi bersabda: “Jika seorang laki-laki menggauli laki-laki, maka kedua berzina. Jika wanita menggauli wanita maka keduanya berzina.” [8]
Madzhab Hanafi
Abu hanifah berkata, “Pelaku liwath di ta’zir saja, itu bukan perbuatan zina.” [9]
Madzhab Dhahiri
Pengikut madzhab ini berpendapat bahwa pelakau liwath dita’zir karena bukan termasuk zina, karena zina adalah sesuatu hubungan antara laki dengan wanita, bukan antara laki-laki dengan laki-laki. Sedang Ibnu Hazm berpendapat bahwa, “Ia harus di rajam seperti had zina.” [10]
Madzhab Zidiyyah
Liwath masuk ke dalam hukum zina. Dan harus mendapatkan had zina bagi pelakunya. Karena zina adalah memasukkan kamaluan ke farji wanita, baik dubur atau qubul [kemaluan asli]. [11]
Madzhab Ja’fariyah
Pelaku liwath bagi yang memasukkan penis ke dubur, maka dibunuh pelaku dan patnernya jika keduanya seudah baligh, berakal, sama hukumnya bagi orang yang merdeka atau budak, muslim kafir, muhshan atau ghairu muhshan. Bagi wanita lesbi dengan menggesekan kedua paha atau kedua alatnya, maka keduanya dijilid seratus kali. [12]
Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berkata, “Sesungguhnya palaku liwath wajib mendapatkan had, karena Allah mengadzab pelakunya sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, mereka mendapatkan had sebagaimana had zina, karena itu termasuk perbuatan zina.” [13]
Qoulu rajih (pendapat yang kuat)
Para salaf berselisih dalam maslah had liwath, Hasan Basyri berkata, “Hadnya seperti had zina.” Abu Salamah berkata, “Dibunuh dalam segala keadaan.” As-Sya’bi dan an-Naha’i berkata, “Had liwath adalah dita’zir. Hal ini sebagaimana pendapat Imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam sebuah riwayat sesungguhnya Ibnu Abbas berfatwa dengan hal itu dan dia adalah perawi hadits.” [14] Syaih Abdul Karin Zaidan merajihan, bahwa pelaku liwath adalah dita’zir bagi pelaku dan patnernya.” [15]
Fatwa ulama’ kontempurer
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz ditanya: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya seorang pemuda berumur 21 tahun. Saya telah terjerat perilaku homoseksual sejak umur delapan tahun ketika ayah saya terlalu sibuk sehingga lalai mendidik saya. Saat ini saya hidup dengan perasaan bersalah dan menyesali perbuatan itu sampai-sampai saya berpikir untuk bunuh diri –saya mohon perlindungan Allah dari hal itu-. Rasa pedih dan siksa bertambah dengan permintaan keluarga saya agar saya menikah. Saya mohon Anda memberi saya bimbingan tentang cara yang benar dan solusi yang tepat untuk masalah saya ini sehingga saya dapat terlepas dari kehidupan yang sangat menyiksa yang saya rasakan saat ini. Semoga Allah membalas Anda dengan yang lebih baik.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Saya mohon kepada Allah agar melimpahkan kepada Anda kekuatan untuk terlepas dari perilaku yang Anda ceritakan. Tidak diragukan lagi bahwa perilaku yang Anda ceritakan itu adalah perilaku yang sangat keji. Akan tetapi –alhamdulillah– solusinya sebenarnya mudah, yaitu Anda segera bertaubat nasuhah dengan cara sungguh-sungguh menyesali apa yang telah terjadi, berhenti total dari perilaku keji itu, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, serta bergaul dengan orang-orang yang baik, menjauhi orang-orang yang tidak baik, dan segera menikah. Jika secara jujur taubat itu, maka bergembiralah (bahwa Anda akan mendapatkan) kebaikan, keberuntungan, dan akhir yang baik. Ini berikut.
“Dan bertaubatlah kepada Allah kalian semua wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung” [An-Nur : 31] “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya” [At-Tahrim : 8]
Begitu pula berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya.” Artinya: Orang yang bertaubat dari dosanya keadaannya seperti orang yang tidak punya dosa.” [Hadits Riwayat Ibnu Majah No. 4250, Thabrani X/150] [Majmu Fatawawa Maqalat Mutanawwi’ah: V/422-423]
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz ditanya: Apa penjelasan Anda tentang bermua’amalah dengan para pelaku dosa besar, seperti pezina, homosek dan dosa besar lainnya yang telah datang dalil yang menyebutkan ancaman keras bagi pelakunya? Bolehkah berbicara dengan mereka? Bolehkah mengucapkan salam kepada mereka? Bolehkah pula berteman dengan mereka dalam rangka mengingatkan mereka akan ancaman Allah dari siksa-Nya yang pedih ?
Orang yang tertuduh melakukan perbuatan maksiat wajib untuk dinasehati dan diberi peringatan akan maksiat itu dan akibat jeleknya, dan bahwa maksiat itu termasuk di antara penyebab sakit, mengeras dan matinya hati. Adapun orang yang terang-terangan dan mengakui maksiat itu, maka wajib ditegakkan had pada dirinya dan dilaporkan kepada penguasa. Tidak boleh berteman dan bergaul dengan orang seperti itu, bahkan sebaliknya wajib diboikot agar mudah-mudahan dia mendapat hidayah Allah dan mau bertaubat. Kecuali jika boikot itu justru menjadikan mereka bertambah jelek perilakunya. Maka wajib selalu mengingkari perbuatan mereka dengan cara yang baik dan nasehat yang terus menerus sampai mereka mendapat hidayah dari Allah. Tidak boleh menjadikan mereka teman, bahkan wajib terus mengingkari dan memperingatkan mereka tentang perbuatan mereka yang keji itu. Dan wajib bagi pemerintah negeri-negeri Islam menangkap mereka dan melaksanakan had-had syari’at pada mereka. Sedangkan orang-orang yang mengetahui keadaan mereka, wajib untuk membantu negara dalam hal itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala.
“Dan tolong-menolonglah dalam berbuat kebajikan dan ketakwaan.” [Al-Ma’idah : 2]
“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari perbautan yang mungkar.” [At-Taubah : 71] “Demi masa,sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal salih, dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” [Al-Ashr : 1-3]
Begitupula berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman” [Riwayat Muslim] [16]
“Agama itu nasihat. Ditanyakan kepada beliau, “Nasihat untuk siapa wahai Rasulullah ?. Beliau menjawab, “Untuk Allah, untuk kitabNya, untuk RasulNya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin umumnya.” [Riwayat Muslim][17]
Ayat dan hadits yang mengandung makna ini amat banyak. Kami memohon kepada Allah semoga Dia memperbaiki keadaan kaum muslimin, menjadikan mereka paham akan ajaran agamanya, dan melimpahkan taufiq-Nya kepada mereka untuk nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran Anda, serta menyatukan kalimat mereka. [Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah V/399-400] [Disalin dari Majalah Fatawa Volume 11/Th I/14124H-2003M]
Hukuman orang yang suka rela menjadi partner dalam liwath
Dalam sebuah kisah bahwa Khalid bin Walid berkirim surat kepada Abu Bakr bahwa di suatu wilayah ia mendapati seorang laki-laki menyediakan diri sebagai pasangan/patner laki-laki homosex, digauli pada anusnya. Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat lainnya. Sahabat Ali angkat bicara, “Itu adalah suatu dosa yang tidak pernah dikerjakan kecuali oleh satu umat saja, yaitu umatnya Nabi Luth. Allah telah memberitahukan kepada kita apa yang Dia putuskan bagi mereka, menurut hemat saya, orang itu harus dibakar dengan api.” Maka Abu Bakar menulis surat jawaban kepada Khalid supaya membakar orang yang ditemuinya itu dengan api. Maka Khalid pun membakarnya.
Sahabat Ali berkata, “Barangsiapa yang menempatkan diri secara sukarela sehingga disodomi, niscaya Allah akan menanamkan ke dalam dirinya nafsu perempuan [menjadi seperti perempuan] dan menjadikannya sebagai syetan yang terkutuk di kuburannya sampai hari kiamat.”
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Homosexs telah ada sejak zaman Nabi Luth.
Pelaku liwath mendapatkan had yang berat.
Bahaya liwath baik di dunia atau di akhirat.
Banyak penyakit yang ditimbulkan dari perbuatan haram ini.
Tanggung jawab bersama selaku kaum muslimin untuk menyelamatkan keluarga dan orang lain dari perbuatan hina ini.
Post a Comment