Keutamaan Dakwah Kepada Allah Subhanahu wata'ala
Dakwah kepada Allah subhanahu
wata’ala termasuk tugas terpenting yang diemban Rasul kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, ia merupakan sarana dan jalan untuk merealisasikan tauhid
(pengesaan) Allah subhanahu wata’ala. Firman Allah subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ
اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴾ ( سورة يوسف: 108)
Katakanlah:"Inilah
jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf:108)
Dan
firman-Nya subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا
وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا . وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا ﴾ ( سورة الأحزاب : 45-46)
Hai Nabi, sesungguhnya Kami
mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,
* dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi
cahaya yang menerangi. (QS.
al-Ahzab:45-46)
Dan
firman-Nya subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ ﴾ ( سورة النحل: 125)
Serulah (manusia) kepada
jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang lebih baik.. (QS. an-Nahl:125)
Dan
firman-Nya subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿
وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُّسْتَقِيمٍ ﴾ ( سورة الحج: 67)
dan serulah kepada (agama)
Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. (QS.
al-Hajj:67)
Dan firman-Nya subhanahu
wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿
وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلاَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴾ ( سورة القصص: 87)
dan serulah mereka ke
(jalan) Rabbmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Rabb. (QS. al-Qashash:87)
Dan
firman-Nya subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ قُلْ
إِنَّمَآ أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ وَلآأُشْرِكُ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُوا
وَإِلَيْهِ مَئَابِ ﴾ ( سورة الرعد: 36)
Katakanlah:"Sesungguhnya
aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun
dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku
kembali". (QS. ar-Ra’ad:36)
Dakwah
merupakan keistimewaan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala kepada
umat ini terhadap semua umat. Firman-Nya subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ ﴾ ( سورة آل عمران: 110)
Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran:110)
Dan
Allah subhanahu wata’ala berfirman memerintahkan berdakwah dan mendorong
hamba-hamba-Nya untuk melaksanakannya:
قال الله تعالي: ﴿ وَلْتَكُن مِّنكُمْ
أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴾ ( سورة آل عمران : 104)
Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS.
Ali Imran:104)
Karena
alasan ini seorang da’i ilallah yang mengamalkan dengan apa yang dia
dakwahkan merupakan manusia yang paling baik ucapan, firman Allah subhanahu
wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً
مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ
الْمُسْلِمِينَ ﴾ ( سورة فصلت: 33)
Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri" (QS. Fushshilat:33)
Bahkan
seorang da’i mendapat pahala dari Allah subhanahu wata’ala Yang Maha
Pemurah, dan ia juga mendapat pahala orang yang dia dakwahi, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْل أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ
لَايَنْقُصُ مِن أُجُوْرِهِم شَيْئًا)) [ رواه مسلم]
“Barangsiapa
yang mengajak (berdakwah) kepada petunjuk niscaya baginya pahala seperti pahala
orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit juapun.”[1]
Allah subhanahu wata’ala menjaga semua penduduk
negeri dari siksa-Nya yang merata karena masih ada para da’i yang melakukan
perbaikan padanya, orang-orang yang berdakwah di jalan Allah subhanahu
wata’ala. Firman Allah subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَمَاكَانَ رَبُّكَ
لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ ﴾ ( سورة هود: 117)
Dan Rabbmu sekali-kali tidak
akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang
yang berbuat kebaikan. (QS. Hud:117)
Berkat
karunia Allah subhanahu wata’ala, dakwah tidak dibatasi waktu, tempat,
dan metode tertentu selama tidak menyalahi syari’at dan tidak menyalahi metode
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdakwah kepada Allah subhanahu
wata’ala.
Dari
sisi waktu, nabi Nuh ‘alaihis salam berdakwah kepada kaumnya siang dan
malam:
قال الله تعالي: ﴿ قَالَ رَبِّ إِنِّي
دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلاً وَنَهَارًا ﴾ ( سورة نوح: 5)
Nuh berkata:"Ya Rabbku
sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, (QS. Nuh:5)
Dari
sisi tempat, nabi Yusuf ‘alaihis salam berdakwah di dalam penjara:
قال الله تعالي: ﴿ يَاصَاحِبَيِ السِّجْنِ
ءَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ ﴾ ( سورة يوسف: 39)
Hai kedua temanku dalam
penjara, manakah yang baik, rabb-rabb yang bermacam-macam itu ataukah Allah
Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa (QS. Yusuf:39)
Dari
sisi metode, nabi Nuh ‘alaihis salam juga berdakwah kepada Allah subhanahu
wata’ala dan agama-Nya dengan berbagai cara:
قال الله تعالي: ﴿ ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنتُ
لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا ﴾ ( سورة نوح: 9)
Kemudian sesungguhnya aku
(menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, (QS.
Nuh:9)
Syaikh
Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah berkata: ‘Tidak sempurna tauhid
sehingga hamba menyempurnakan semua tingkatannya, kemudian ia berusaha
menyempurnakan yang lainnya. Inilah metode semua nabi, sesungguhnya
pertama-tama dakwah mereka kepada kaumnya adalah mengesakan Allah subhanahu
wata’ala dalam ibadah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan ia merupakan metode
pemimpin dan imam mereka yaitu nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Karena sesungguhnya beliau melaksanakan dakwah ini dengan sebenar-benarnya,
berdakwah kepada jalan Rabb-nya dengan hikmah dan nasihat yang baik, berdebat
dengan cara yang terbaik, tidak
terhenti, tidak kendor semangat, sehingga Allah subhanahu wata’ala
menegakkan agama dengannya, memberi petunjuk kepada makhluk yang banyak
dengannya, dan sampailah agama-Nya –dengan berkah dakwahnya- ke Barat dan Timur
bumi. Beliau berdakwah dengan dirinya sendiri, dan beliau menyuruh para utusan
dan pengikut agar berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dan kepada
mentauhidkan-Nya sebelum yang lainnya, karena semua amal ibadah ditentukan sah
dan tidaknya di atas tauhid.
Sebagaimana seorang hamba harus
melaksanakan tauhidullah (pengesaan Allah subhanahu wata’ala), ia
harus mengajak hamba kepada Allah subhanahu wata’ala degan caya yang
terbaik, dan setiap orang yang mendapat petunjuk lewat kedua tangannya maka ia mendapat pahala
seperti pahala mereka, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun juga.
Apabila berdakwah kepada Allah subhanahu
wata’ala dan kepada persaksian bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah)
selain Allah subhanahu wata’ala merupakan kewajiban setiap orang,
kewajiban terhadap setiap orang itu menurut kadar kemampuannya.
Maka kewajiban seorang alim dalam
menjelaskan hal itu, berdakwah, membimbing, dan memberi petunjuk lebih besar
dari pada yang tidak mempunyai ilmu.
Dan kewajiban terhadap orang yang
mempunyai kemampuan dengan badan dan tangannya, atau hartanya, atau
kedudukannya lebih besar dari pada orang yang tidak mempunyai kemampuan seperti
itu. Firman Allah subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ فَاتَّقُوا اللهَ
مَااسْتَطَعْتُمْ ﴾ ( سورة التغابن : 16 )
Maka bertaqwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu dirinya,. (QS. At-Taghabun:16)
Semoga
Allah subhanahu wata’ala memberi rahmat kepada orang yang membantu agama
walau hanya dengan setengah kalimah, dan sesungguhnya kebinasaan agama dalam
meninggalkan dakwah kepada agama ini yang mana hamba sebenarnya bisa
melakukannya.[2]
Dakwah
kepada Allah subhanahu wata’ala adalah kedudukan hamba yang paling
utama:
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftah
Darus Sa’adah: Bagian seratus tiga puluh yaitu firman Allah subhanahu
wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً
مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ
الْمُسْلِمِينَ ﴾ ( سورة فصلت: 33 )
Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri" (QS. Fushshilat:33)
Hasan
rahimahullah berkata (menafsirkan ayat tersebut): Dia adalah seorang
mukmin yang memenuhi seruan Allah subhanahu wata’ala, mengajak manusia
kepada seruan dakwah yang dia terima dari Allah subhanahu wata’ala, dan
beramal shalih dalam memenuhi panggilan-Nya. Inilah habibullah (kekasih
Allah subhanahu wata’ala) dan waliyullah, maka kedudukan dakwah kepada
Allah subhanahu wata’ala adalah kedudukan hamba yang tertinggi. Firman
Allah subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ
عَبْدُ اللهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا ﴾ ( سورة الجن : 19 )
Dan bahwasannya tatkala hamba
Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja
jin-jin itu desak-mendesak mengerumuninya. (QS.al- Jin:19)
Dan
firman-Nya:
قال الله تعالي: ﴿ اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ
أَحْسَنُ ﴾ ( سورة النحل: 125 )
Serulah (manusia) kepada jalan
Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik.. (QS. an-Nahl:125)
Allah subhanahu wata’ala
menjadikan tingkatan dakwah menurut tingkatan makhluk. Maka orang yang menerima
dakwah lagi cerdas, yang tidak menentang kebenaran diseru (didakwahi) dengan
cara yang hikmah. Dan orang yang pelupa dan lambat dalam menerima dakwah diseru
dengan nasihat yang baik, yaitu perintah dan larangan yang disertai
dorongan/rangsangan dan ancaman. Dan orang yang menentang lagi ingkar, diajak
dialok dengan cara yang terbaik. Ini pengertian yang benar dalam makna ayat
tersebut...[3]
Dakwah
kepada Allah subhanahu wata’ala adalah tingkatan tertinggi dan paling
agung di sisi Allah subhanahu wata’ala:
Ibnu Wadhdhah al-Qurthubi rahimahullah
mengatakan dalam kitabnya yang berjudul ‘al-Bida’u wan nahyu ‘anha’:
Sesungguhnya Asad bin Musa menulis surat kepada Asad bin Furat, ia berkata:
‘Ketahuilah –wahai saudaraku- sesungguhnya yang mendorong saya menulis surat
kepadamu adalah yang disebutkan oleh penduduk negerimu berupa kebaikan yang
diberikan Allah subhanahu wata’ala kepadamu dalam menyadarkan manusia,
bagusnya kondisimu karena menampakkan sunnah dan celaanmu
terhadap ahli bid’ah, engkau sering mengingatkan dan mencela mereka maka Allah subhanahu
wata’ala menekan mereka dengan perbuatan engkau, dan kuatlah denganmu
posisi ahlus sunnah, maka Allah subhanahu wata’ala menghinakan ahli
bid’ah dengan hal itu dan jadilah mereka bersembunyi dengan bid’ah mereka.
Maka bergembiralah wahai
saudaraku, dengan mendapatkan pahala semua itu, dan hitunglah dengannya
kebaikanmu yang paling utama berupa shalat, puasa, haji dan jihad. Dan di
manakah letak amal ibadah ini dibandingkan menegakkan Kitabullah dan
menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ
أَحْيَا شَيْئًا مِنْ سُنَّتِي كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِى الجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ
وَجَمَعَ بَيْنَ أصْبُعَيْنِ))
“Barangsiapa
yang menghidupkan sesuatu dari sunnahku niscaya aku bersamanya di surga seperti
dua ini, dan beliau menggabungkan di antara dua jemarinya.”
Dan
beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((أَيُّمَا دَاعٍ إِلَى هُدًى فَاتُّبِعَ عَلَيْهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ
تَبِعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
“Siapapun
yang mengajak kepada petunjuk lalu diikuti atasnya, niscaya untuk dia seperti
pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.” Maka siapakah yang bisa
mendapatkan pahala ini dari amal ibadahnya?
Dan ia menyebutkan pula bahwa di
sisi setiap bid’ah yang menyusup dalam ibadah bahwasanya Allah subhanahu
wata’ala mempunyai waliyullah yang melindunginya dari bid’ah.
Maka ambillah keuntungan karunia
ini, wahai saudaraku, dan jadilah sebagai ahlinya, sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika
mengutusnya ke Yaman dan berpesan kepadanya seraya bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لَأَنْ
يَهْدِيَ اللّه بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ كَذَا وَكَذَا))
“Sungguh
Allah subhanahu wata’ala memberi petunjuk denganmu kepada seorang laki-laki
lebih baik bagimu dari ini dan ini.”[4]
Imam
Muhammad bin Abdul Wahhah rahimahullah berkata: ‘...dan engkau mempunyai
pengetahuan bahwa sesungguhnya kedudukan tertinggi dan yang paling agung di
sisi Allah subhanahu wata’ala adalah berdakwah kepada-Nya, yang Dia subhanahu
wata’ala berfirman:
قال الله تعالي: ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً
مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ
الْمُسْلِمِينَ ﴾ ( سورة فصلت: 33)
Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri" (QS. Fushshilat:33)
Dan
dalam hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لَأَنْ
يَهْدِيَ اللّه بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ النَّعَمِ)) [ متفق
عليه ]
“Sungguh Allah subhanahu wata’ala memberi petunjuk
denganmu kepada seorang laki-laki lebih baik bagimu dari unta merah.”[5] [6]
Dan
beliau menjelaskan bahwa dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala,
agama-Nya yang benar dan sunnah rasul-Nya adalah wajib, ...dan kita wajib
mempelajari empat masalah, pertama: mengetahui, yaitu mengenal Allah subhanahu
wata’ala, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan dalil dalil.
Kedua, mengamalkannya. Ketiga, berdakwah kepadanya. Dan keempat, sabar terhadap
gangguan padanya. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ إِذَا جَآءَ نَصْرُ
اللَّهِ وَالْفَتْحُ . وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فيِ دِينِ اللَّهِ
أَفْوَاجًا . فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
﴾ ( سورة النصر: 1- 3 )
Apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan, * dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan
berbondong-bondong, * maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan
mohonlah ampun kepada-Nya.Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. an-Nashr:1-3)[7]
Syaikh
Abdurrahman bin Hasan rahimahullah[8]
berkata: ...apabila sudah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ada yang mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan mengkafirkan para sahabatnya, maka tidak heran akan datang di akhir umat
ini orang yang mengatakan seperti perkataan mereka dan berpendapat seperti
pendapat mereka. Dan orang-orang
berhijrah dan melakukan bai’at kepada kita, kita tidak tahu tentang hakikat
perkara mereka. Dalam kondisi bagaimanapun, apabila kamu melakukan tauhid dan
mengingkari syirik dan kesesatan serta meninggalkan bid’ah, maka kamu tidak
harus hijrah dari tanah air dan harta. Akan tetapi kamu harus berdakwah kepada
Allah subhanahu wata’ala, mencari dalil-dalil tauhid dalam Kitabullah.
Renungkanlah perkataan Syaikh dalam karangan-karangannya, maka beliau telah
menjelaskan dan mentahqiq, wassalaam.[9]
Dakwah kepada Allah subhanahu
wata’ala adalah jihad, dan makhluk yang paling sempurna untuk kedudukan
jihad dengan karunia Allah subhanahu wata’ala adalah panutan kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata dalam kitabnya ‘Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad’:
Fasal:
Dan makhluk yang paling sempurna di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah
orang yang menyempurnakan semua tingkatan jihad. Manusia berbeda-beda kedudukan
mereka di sisi Allah subhanahu wata’ala menurut perbedaan mereka dalam
tingkatan jihad. Karena inilah, makhluk paling sempurna dan paling mulia
terhadap Allah subhanahu wata’ala adalah penutup para nabi dan rasul.
Sesungguhnya beliau telah menyempurnakan tingkatan jihad dan berjihad karena
Allah subhanahu wata’ala dengan sebenar-benarnya dan memulai jihad sejak
dibangkitkan (diangkat menjadi nabi dan rasul) hingga Allah subhanahu
wata’ala mewafatkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena
itulah ketika turun ayat:
قال الله تعالي: ﴿ يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
* قُمْ فَأَنذِرْ * وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ *
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ﴾ ( سورة المدثر:
1-4)
Hai orang yang berkemul (berselimut), *
bangunlah, lalu berilah peringatan! * dan Rabbmu agungkanlah, * dan pakaianmu
bersihkanlah, (QS. Al-Muddatstsir:1-4)
Beliau
langsung berdakwah dan melaksanakan karena Allah subhanahu wata’ala
dengan sempurna, berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala malam dan
siang, secara rahasia dan terang-terangan. Dan tatkala turun ayat:
قال الله تعالي: ﴿ فَاصْدَعْ بِمَاتُؤْمَرُ ﴾
Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang
diperintahkan (kepadamu). (QS. al-Hijr:94)
Maka
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan perintah Allah subhanahu
wata’ala dan tidak memperdulikan celaan orang yang mencela padanya. Beliau
berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala kepada anak kecil dan orang
dewasa, merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan, berkulit merah dan putih,
jin dan manusia.
Dan tatkala beliau menyampaikan
perintah Allah subhanahu wata’ala dan menyatakan kepada kaumnya dengan
dakwah, menyeru mereka dengan mencela sesembahan mereka dan mencela agama
mereka, bertambah beratlah gangguan mereka kepada beliau dan para pengikut
beliau dari kalangan sahabatnya. Mereka melakukan kepada beliau dan mereka
dengan berbagai macam gangguan. Inilah sunnatullah subhanahu wata’ala
pada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ مَّايُقَالَ لَكَ إِلاَّ
مَاقَدْ قِيلَ لِلرُّسُلِ مِن قَبْلِكَ ﴾ ( سورة فصلت : 43 )
Tidaklah ada yang dikatakan (oleh orang-orang
kafir) kepadamu itu selain apa yang sesungguhnya telah dikatakan kepada
rasul-rasul sebelum kamu. (QS. Fushshilat:43)
Dan
firman-Nya:
قال الله تعالي: ﴿ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا
لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ ﴾ (سورة الأنعام : 112)
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi
itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin,.
(QS. Al-An’aam:112)
Dan
firman-Nya:
قال الله تعالي: ﴿ كَذَلِكَ مَآأَتَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ *
أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
﴾ ( سورة الذاريات: 52-53)
Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang
kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan:"Ia
adalah seorang tukang sihir atau orang gila". * Apakah mereka saling
berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang
melampaui batas. (QS. adz-Dzariyaat:52-53)
Hingga ia berkata: “Barangsiapa yang beriman kepada para
rasul dan taat kepada mereka, niscaya musuh-musuh mereka akan memusuhi dan
mengganggu mereka. Maka ia diuji dengan sesuatu yang menyakitinya. Dan jika ia
tidak beriman kepada mereka (para nabi) dan tidak taat kepada mereka niscaya ia
akan disiksa di dunia dan akhirat, maka ia memperoleh sesuatu yang
menyakitinya. Rasa sakit ini lebih berat dan lebih kekal dari pada rasa sakit
karena mengikuti mereka (para rasul). Maka sudah menjadi keharusan merasakan
sakit bagi setiap jiwa yang beriman atau berpaling dari iman. Akan tetapi orang
yang beriman merasakan sakit di dunia di awal awalnya, kemudian kesudahan (yang
baik) baginya di dunia dan akhirat. Dan orang yang berpaling dari iman
mendapatkan kenikmatan di awal-awalnya, kemudian kembali kepada rasa sakit yang
kekal abadi. Imam Syafi’i rahimahullah ditanya: ‘Apakah yang paling
utama bagi seorang laki-laki, diteguhkan atau dicoba? Ia menjawab: ‘Tidak
diberikan keteguhan sehingga dicoba lebih dahulu.’ Allah subhanahu wata’ala
mencoba para nabi ulul azmi, maka tatkala mereka sabar, Dia subhanahu
wata’ala meneguhkan mereka. Maka janganlah seseorang menduga bahwa ia
selamat dari rasa sakit sama sekali. Sesungguhnya berbeda-beda orang-orang yang
menderita menurut akal, maka yang paling berakal dari mereka adalah yang
menjual penderitaan abadi lagi besar dengan penderitaan sedikit lagi terputus,
dan yang paling celaka adalah orang yang menjual penderitaan sementara yang
sedikit dengan penderitaan panjang yang tak ada hentinya.
Jika dikatakan: Bagaimana orang
yang berakal memilih hal ini? Dikatakan: Yang mendorongnya atas hal ini adalah
kontan (langsung, cepat) dan bertempo, dan jiwa biasanya menyenangi yang
cepat/langsung...
قال الله تعالي: ﴿ كَلاَّ بَلْ تُحِبُّونَ
الْعَاجِلَةَ * وَتَذَرُونَ اْلأَخِرَةَ ﴾
( سورة القيامة: 20-21)
Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu
(hai manusia) mencintai kehidupan dunia, * dan meninggalkan (kehidupan)
akhirat. (QS. al-Qiyamah:20-21)
قال الله تعالي: ﴿ إِنَّ هَؤُلآءِ يُحِبُّونَ
الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَآءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلاً ﴾ (سورة الإنسان: 27)
Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai
kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang
berat (hari akhirat). (QS. al-Insaan:27)
Ini
bisa terjadi pada setiap orang. Manusia adalah makhluk sosial. Ia harus hidup
bersama manusia (masyarakat), dan manusia mempunyai keinginan dan gambaran.
Mereka meminta darinya agar menyetujui mereka dalam keinginan dan gambaran.
Jika ia menolak, mereka menggangu dan menyakitinya. Jika ia menyetujui mereka
ia bisa mendapat gangguan dan siksaan, terkadang dari mereka dan terkadang dari
selain mereka. Seperti orang yang mempunyai agama dan taqwa, tinggal di antara
kaum yang fasik dan zalim. Mereka tidak mungkin melakukan kafasikan dan
kezaliman mereka kecuali dengan persetujuannya terhadap mereka atau ia
mendiamkan perbuatan mereka. Jika ia menyetujui mereka atau diam, niscaya ia
selamat dari kejahatan mereka di awal-awalnya. Kemudian mereka menguasainya
dengan penghinaan dan gangguan melebihi yang dia takutkan di awal-awalnya jika
ia mengingkari dan menyalahi mereka. Dan jika selamat dari mereka maka ia bisa
dihina dan disiksa lewat tangan selain mereka. Maka yang menjadi keharusan
adalah mengambil perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhu, ‘Barangsiapa yang menyebabkan ridha Allah subhanahu wata’ala
dengan kemurkaan manusia niscaya Allah subhanahu wata’ala mencukupkannya
dari gangguan manusia, dan barangsiapa yang menyenangkan manusia dengan
kemurkaan Allah subhanahu wata’ala, niscaya mereka tidak bisa
melindunginya sedikitpun dari siksa Allah subhanahu wata’ala.
Barangsiapa yang merenungi
kondisi alam semesta, ia banyak melihat pada orang yang membantu para pemimpin
terhadap tujuan-tujuan mereka yang rusak
dan orang orang yang menolong para pelaku bid’ah terhadap bid’ah mereka
karena menghindari siksaan mereka. Maka siapa yang Allah subhanahu wata’ala
memberi petunjuk dan ilham kepadanya serta menjaganya dari kejahatan nafsunya
niscaya ia menghindar dari menyetujui perbuatan yang diharamkan, sabar terhadap
permusuhan mereka, kemudian kesudahan adalah untuknya di dunia dan akhirat.
Sebagaimana para rasul dan para pengikut mereka, seperti kaum Muhajirin dan
Anshar, dan yang mendapat cobaan dari para ulama, ahli ibadah, para pemimpin
yang shalih, para pedagang dan selain mereka.
Tatkala penderitaan tidak ada yang bisa menghindar
darinya sama sekali, Allah subhanahu wata’ala menghibur orang yang
memilih penderitaan sementara yang singkat terhadap penderitaan besar yang
tidak ada ujungnya dengan firman-Nya:
قال الله تعالي: ﴿ مَن كَانَ يَرْجُوا
لِقَآءَ اللهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللهِ لأَتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴾ ( سورة
العنكبوت: 5)
Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan
Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan
Dia-lah yang Maha Mendegar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-‘Ankabut:5)
Maka
terhadap penderitaan ini, Dia subhanahu wata’ala menentukan batas waktu
yang pasti akan tiba, yaitu bertemu-Nya. Maka hamba akan merasakan kenikmatan
yang tidak terhingga sebagai imbalan yang telah dipikulnya karena-Nya, dan
kenikmatan dan kebahagiaannya menurut kadar penderitaan yang dipikulnya pada dan
karena Allah subhanahu wata’ala. Dan Dia subhanahu wata’ala
menekankan ta’ziyah dan hiburan ini dengan mengharapkan bertemu-Nya, agar hamba
memikul kerinduan-Nya untuk bertemu Rabb-nya dan pelindungnya di atas beban
penderitaan yang singkat...’[10]
Imam Rabbani ini berkata pula: ‘Fasal: Tempat ke dua puluh tiga dari tempat mengucap
shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Saat menyampaikan
ilmu kepada manusia...karena ia adalah tempat menyampaikan ilmu yang beliau
datang dengannya, menyebarkannya kepada umatnya, memberikannya kepada mereka,
dan mengajak mereka kepada sunnah dan jalannya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ini adalah ibadah yang paling mulia dan paling besar manfaatnya bagi hamba di
dunia dan akhirat. Firman Allah subhanahu wata’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً
مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ
الْمُسْلِمِينَ ﴾ ( سورة فصلت: 33 )
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada
orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan
berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri"
(QS. Fushshilat:33)
Dan
firman-Nya:
قال الله تعالي: ﴿ قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي
أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ
وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴾ ( سورة
يوسف: 108 )
Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang- orang
yang musyrik". (QS. Yusuf:108)
Sama
saja maknanya: aku dan orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah subhanahu
wata’ala berdasarkan hujjah, atau waqaf (berhenti membaca) pada firmannya:
﴿ أَدْعُوا إِلَى اللهِ ﴾kemudian memulai ﴿ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ
اتَّبَعَنِي ﴾ maka dua pendapat yang saling berkaitan, maka
sesungguhnya beliau disuruh oleh Allah subhanahu wata’ala agar
mengabarkan bahwa jalannya adalah dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Maka barangsiapa yang berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala maka ia
berada di atas jalan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia berada
di atas hujjah dan dia termasuk pengikutnya. Dan siapa yang berdakwah kepada
selain yang demikian itu maka ia tidak berada di atas jalannya, tidak berada di
atas hujjah dan bukan termasuk pengikutnya.
Dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala merupakan
tugas para rasul dan pengikut mereka, dan mereka adalah khalifah-khalifah para
rasul pada umat-umat mereka dan manusia adalah pengikut mereka. Allah subhanahu
wata’ala menyuruh para rasul-Nya agar menyampaikan apa yang diturunkan
kepada mereka, dan menjamin baginya penjagaan dan pemeliharaan-Nya dari
manusia. Seperti inilah orang-orang yang menyampaikan dari-Nya dari kalangan
umatnya, mereka mendapat penjagaan dari Allah subhanahu wata’ala, dan
pemeliharaan-Nya terhadap mereka menurut kadar pengamalan mereka dengan
agama-Nya dan menyampaikan mereka bagi-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam telah menyuruh menyampaikan darinya sekalipun hanya satu ayat.
Mendoakan bagi orang yang menyampaikan darinya sekalipun hanya satu hadits, dan
menyampaikan sunnahnya kepada umat lebih utama dari pada menyampaikan anak
panah ke leher-leher musuh, karena menyampaikan seperti itu bisa dilakukan oleh
banyak orang. Adapun menyampaikan sunnah maka tidak banyak yang bisa menyampaikannya
kecuali para pewaris nabi dan khalifah-khalifah mereka pada umat-umat mereka.
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita termasuk dari golongan
mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya.[11]
Dakwah kepada sunnah termasuk
amar ma’ruf dan mengingkari bid’ah adalah nahi mungkar. Amar ma’ruf dan nahi
mungkar adalah kelep pengaman syari’ah. Dengan keduanya agama terjaga, akidah
dan syari’at tetap lurus.
Bagi pelaksana amar ma’ruf dan
nahi mungkar ada beberapa syarat yang mesti terpenuhi padanya, maka jadilah
perintahnya terhadap yang ma’ruf adalah ma’ruf dan larangannya terhadap yang
mungkar juga seperti itu.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ...karena inilah
dikatakan: ‘Hendaklah perintahmu
terhadap yang ma’ruf dengan ma’ruf dan laranganmu dari yang mungkar tidak
dengan mungkar. Apabila amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan yang paling
utama dari kewajiban atau sunnah, maka yang wajib dan sunnah sudah semestinya mashlahat
(kebaikan) melebihi kerusakan, karena dengan inilah diutus para rasul dan
diturunkan kitab-kitab, dan Allah subhanahu wata’ala tidak menyukai
kerusakan. Bahkan semua yang diperintahkan Allah subhanahu wata’ala maka
ia merupakan kebaikan, dan Allah subhanahu wata’ala memuji kebaikan,
orang-orang yang berbuat kebaikan, orang-orang beriman dan beramal shalih, dan
mencela kerusakan dan orang-orang yang berbuat kerusakan di banyak tempat. Maka
di tempat yang kerusakan amar (perintah) dan nahi (larangan)
lebih besar dari kebaikannya niscaya hal itu tidak diperintahkan Allah subhanahu
wata’ala, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang
diharamkan, karena seorang mukmin harus bertaqwa kepada Allah subhanahu
wata’ala pada hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala dan ia tidak
ditugaskan untuk memberi petunjuk kepada mereka. Inilah makna firman-Nya:
قال الله تعالي: ﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ﴾
( سورة المائدة: 105)
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;
tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk. (QS. al-Maidah :105)
Mendapat
petunjuk adalah dengan menunaikan kewajiban, maka apabila seorang muslim sudah
melaksanakan yang wajib berupa amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagaimana ia
melaksanakan kewajiban lainnya, niscaya kesesatan orang sesat tidak
membahayakannya. Terkadang hal itu dengan hatinya, terkadang dengan lisan, dan
terkadang dengan tangan. Adapun (mengingkari kemungkaran dengan) hati maka
hukumnya adalah dalam kondisi bagaimanapun, karena tidak ada bahaya dalam
melakukannya dan siapa yang tidak melakukannya maka ia bukan seorang mukmin,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((وَذلِكَ
أَدْنَي أَوْ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ)) [
رواه مسلم ]
“Itulah
sekurang-kurang atau selemah-lemah iman.”[12]
Dan
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لَيْسَ
وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّة خَرْدَلٍ)) [ رواه ابن حبان ]
“Di
belakang itu tidak ada lagi iman seberat biji sawi.”[13]
Ditanyakan
kepada Huzaifah radhiyallahu ‘anhu: ‘Siapakah orang mati dalam kondisi
hidup? Ia menjawab: ‘Orang yang tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak
mengingkari yang mungkar.”[14]
Inilah orang yang terfitnah yang digambarkan bahwa hatinya seperti panci yang
miring dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain:
“...dipajangkan fitnah terhadap hati seperti pajangan tikar...’[15]
Di
sini, ada dua golongan manusia yang melakukan kesalahan, satu golongan
meninggalkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar karena menta’wilkan ayat
ini, seperti yang dikatakan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam
khuthbahnya: ‘Wahai manusia, sesungguhnya kamu membaca ayat ini:
قال الله تعالي: ﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ﴾
( المائدة: 105 )
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;
tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk. (QS. al-Maidah :105)
Dan
kamu meletakkannya bukan pada tempatnya, dan sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((
إِنَّ
النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ أَوْشَكَ أَنْ
يَعُمَّهُمْ بِعِقَابٍ مِنْهُ )) [رواه أبو داود
والترمذي ]
‘Sesungguhnya
apabila manusia melihat kemungkaran maka mereka tidak merubahnya, hampir-hampir
Allah subhanahu wata’ala menurunkan siksa dari-Nya secara merata.”[16]...[17]
Dan
ia rahimahullah juga berkata:... dan termasuk amar ma’ruf adalah
menyuruh bersatu dan berkumpul, dan melarang dari perbedaan dan perpecahan
serta selain yang demikian itu. Adapun mungkar yang Allah subhanahu wata’ala
dan rasul-Nya melarang darinya maka yang terbesar adalah syirik (menyekutukan)
Allah subhanahu wata’ala, yaitu berdoa bersama Allah subhanahu
wata’ala kepada sembahan yang lain seperti matahari, bulan, bintang, atau
seperti seorang malaikat dari para malaikat, atau seorang nabi dari para nabi,
atau seorang laki-laki dari golongan shalihin, atau salah seorang jin, atau patung mereka atau kubur mereka, atau
selain yang demikian yang dipanjatkan doa dari selain Allah subhanahu
wata’ala, atau diminta pertolongan dengannya, atau sujud kepadanya. Maka
semua ini dan semisalnya merupakan perbuatan syirik yang diharamkan Allah subhanahu
wata’ala lewat lisan semua rasul-Nya.
Dan termasuk yang mungkar adalah semua yang diharamkan oleh Allah subhanahu wata’ala, seperti membunuh jiwa dengan cara yang tidak benar, memakan harta orang lain dengan cara yang batil seperti merampas, atau riba, atau judi, dan perdagangan dan transaksi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang darinya. Demikian pula memutuskan hubungan silaturrahim, durhaka kepada kedua orang tua, mengurangi takaran dan timbangan, dosa dan zalim. Dan demikian pula ibadah-ibadah bid’ah yang tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan rasul-Nya...dan selain yang demikian itu, dan santun/lembut adalah jalan amar ma’ruf dan nahi mungkar.[18]
Ibnul Qayyim rahimahullah
menekankan bahwa di antara penyebab tersebarnya bid’ah adalah keteledoran ulama
dalam menampakkan sunnah dan petunjuk, ia berkata: ...Yang terjadi pada umat
ini berupa bid’ah dan kesesatan, di antara penyebabnya adalah keteledoran dalam
menampakkan sunnah petunjuk.’[19]
Dan seperti inilah, dengan berdakwah kepada orang-orang yang menyalahi ahlus sunnah, nampaklah sunnah dan matilah bid’ah, kalangan awam terjaga dari kejahatannya, nampak kelemahan hujjah orang yang menyalahi, membela dari kekotoran agama, terungkaplah apa yang disamarkan oleh orang-orang yang menyimpang terhadap kalangan awam. Dan dengan ini bersatu manusia di atas petunjuk dan berpegang dengan tali (agama) Allah subhanahu wata’ala...dan itulah tujuan syara’ tertinggi dari dakwah kepada orang-orang yang menyalahi terhadap ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan ahli bid’ah.
[1] HR. Muslim 2060, at-Tirmidzi 2674, dan Abu Daud 2509.
[2] Al-Qaulus Sadid hal 32-33.
[3] Miftah Darus Sa’adah
1/153.
[4] Al-Bida’ wan nahyu ‘anha hal 28-30.
[5] Al-Bukhari 1357 dan Muslim 2406.
[6] Ad-Durarus Saniyah 1/63
[7] Ad-Durarus Saniyah minal ajwibatin najdiyah 1/125
[8] Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul
Wahhab, cucu imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Dilahirkan pada
tahun 1192 H di Dir’iyah dan wafat di Riyadh tahun 1285 H. Menulis beberapa
kitab dan risalah, yang paling terkenal adalah Fathul Majid syarh Kitab Tauhid.
[9] Ad-Durarus Saniyah minal ajwibatin najdiyah 3/226
[10] Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibadah 3/12-16.
[11] Jala`ul afham hal. 414-415.
[12] HR. Muslim 49, Abu Daud 1140, at-Tirmidzi 3172, dan Ibnu
Majah 403.
[13] Shahih Ibnu Hibban 14/72.
[14] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504.
[15] Muslim 144.
[16] Abu Daud 4338, at-Tirmidzi 2168 dan 3057
[17] Al-Istiqamah 2/211-213.
[18] Istiqamah 2/210.
[19] Ash-Shawa’iqul Mursalah 3/1133
Post a Comment