Keutamaan Dakwah Kepada Allah Subhanahu wata'ala

Dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala termasuk tugas terpenting yang diemban Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ia merupakan sarana dan jalan untuk merealisasikan tauhid (pengesaan) Allah subhanahu wata’ala. Firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴾ ( سورة يوسف: 108)

Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf:108)

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا . وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا   ( سورة الأحزاب : 45-46)

Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, * dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (QS. al-Ahzab:45-46)

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ ﴾ ( سورة النحل: 125)

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.. (QS. an-Nahl:125)

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُّسْتَقِيمٍ  ﴾ ( سورة الحج: 67)

dan serulah kepada (agama) Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. (QS. al-Hajj:67)

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

 

قال الله تعالي: ﴿ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلاَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴾ ( سورة القصص: 87)

dan serulah mereka ke (jalan) Rabbmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb. (QS. al-Qashash:87)

Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ قُلْ إِنَّمَآ أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ وَلآأُشْرِكُ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُوا وَإِلَيْهِ مَئَابِ  ﴾ ( سورة الرعد: 36)

Katakanlah:"Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS. ar-Ra’ad:36)

Dakwah merupakan keistimewaan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala kepada umat ini terhadap semua umat. Firman-Nya subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ ﴾ ( سورة آل عمران: 110)

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran:110)

Dan Allah subhanahu wata’ala berfirman memerintahkan berdakwah dan mendorong hamba-hamba-Nya untuk melaksanakannya:

قال الله تعالي: ﴿ وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴾ ( سورة آل عمران : 104)

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran:104)

Karena alasan ini seorang da’i ilallah yang mengamalkan dengan apa yang dia dakwahkan merupakan manusia yang paling baik ucapan, firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴾ ( سورة فصلت: 33)

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fushshilat:33)

Bahkan seorang da’i mendapat pahala dari Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Pemurah, dan ia juga mendapat pahala orang yang dia dakwahi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْل أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَايَنْقُصُ مِن أُجُوْرِهِم شَيْئًا)) [ رواه مسلم]

Barangsiapa yang mengajak (berdakwah) kepada petunjuk niscaya baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit juapun.”[1]

Allah subhanahu wata’ala menjaga semua penduduk negeri dari siksa-Nya yang merata karena masih ada para da’i yang melakukan perbaikan padanya, orang-orang yang berdakwah di jalan Allah subhanahu wata’ala. Firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ وَمَاكَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ ﴾       ( سورة هود: 117)

Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Hud:117)

Berkat karunia Allah subhanahu wata’ala, dakwah tidak dibatasi waktu, tempat, dan metode tertentu selama tidak menyalahi syari’at dan tidak menyalahi metode Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala.

Dari sisi waktu, nabi Nuh ‘alaihis salam berdakwah kepada kaumnya siang dan malam:

قال الله تعالي: ﴿ قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلاً وَنَهَارًا ﴾ ( سورة نوح: 5)

Nuh berkata:"Ya Rabbku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, (QS. Nuh:5)

Dari sisi tempat, nabi Yusuf ‘alaihis salam berdakwah di dalam penjara:

قال الله تعالي: ﴿ يَاصَاحِبَيِ السِّجْنِ ءَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ  ﴾ ( سورة يوسف: 39)

Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, rabb-rabb yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa (QS. Yusuf:39)

Dari sisi metode, nabi Nuh ‘alaihis salam juga berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dan agama-Nya dengan berbagai cara:

قال الله تعالي: ﴿ ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا ﴾ ( سورة نوح: 9)

Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, (QS. Nuh:9)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah berkata: ‘Tidak sempurna tauhid sehingga hamba menyempurnakan semua tingkatannya, kemudian ia berusaha menyempurnakan yang lainnya. Inilah metode semua nabi, sesungguhnya pertama-tama dakwah mereka kepada kaumnya adalah mengesakan Allah subhanahu wata’ala dalam ibadah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan ia merupakan metode pemimpin dan imam mereka yaitu nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena sesungguhnya beliau melaksanakan dakwah ini dengan sebenar-benarnya, berdakwah kepada jalan Rabb-nya dengan hikmah dan nasihat yang baik, berdebat dengan cara yang terbaik,  tidak terhenti, tidak kendor semangat, sehingga Allah subhanahu wata’ala menegakkan agama dengannya, memberi petunjuk kepada makhluk yang banyak dengannya, dan sampailah agama-Nya –dengan berkah dakwahnya- ke Barat dan Timur bumi. Beliau berdakwah dengan dirinya sendiri, dan beliau menyuruh para utusan dan pengikut agar berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dan kepada mentauhidkan-Nya sebelum yang lainnya, karena semua amal ibadah ditentukan sah dan tidaknya di atas tauhid.

              Sebagaimana seorang hamba harus melaksanakan tauhidullah (pengesaan Allah subhanahu wata’ala), ia harus mengajak hamba kepada Allah subhanahu wata’ala degan caya yang terbaik, dan setiap orang yang mendapat petunjuk  lewat kedua tangannya maka ia mendapat pahala seperti pahala mereka, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun juga.

               Apabila berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala dan kepada persaksian bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah subhanahu wata’ala merupakan kewajiban setiap orang, kewajiban terhadap setiap orang itu menurut kadar kemampuannya.

               Maka kewajiban seorang alim dalam menjelaskan hal itu, berdakwah, membimbing, dan memberi petunjuk lebih besar dari pada yang tidak mempunyai ilmu.

               Dan kewajiban terhadap orang yang mempunyai kemampuan dengan badan dan tangannya, atau hartanya, atau kedudukannya lebih besar dari pada orang yang tidak mempunyai kemampuan seperti itu. Firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ ﴾ ( سورة التغابن : 16 )

Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dirinya,. (QS. At-Taghabun:16)

Semoga Allah subhanahu wata’ala memberi rahmat kepada orang yang membantu agama walau hanya dengan setengah kalimah, dan sesungguhnya kebinasaan agama dalam meninggalkan dakwah kepada agama ini yang mana hamba sebenarnya bisa melakukannya.[2]

 

Dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala adalah kedudukan hamba yang paling utama:

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftah Darus Sa’adah: Bagian seratus tiga puluh yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴾ ( سورة فصلت: 33 )

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fushshilat:33)

Hasan rahimahullah berkata (menafsirkan ayat tersebut): Dia adalah seorang mukmin yang memenuhi seruan Allah subhanahu wata’ala, mengajak manusia kepada seruan dakwah yang dia terima dari Allah subhanahu wata’ala, dan beramal shalih dalam memenuhi panggilan-Nya. Inilah habibullah (kekasih Allah subhanahu wata’ala) dan waliyullah, maka kedudukan dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala adalah kedudukan hamba yang tertinggi. Firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا ﴾   ( سورة الجن : 19 )

 Dan bahwasannya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak-mendesak mengerumuninya. (QS.al- Jin:19)

Dan firman-Nya:

قال الله تعالي: ﴿ اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ ﴾ ( سورة النحل: 125 )

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.. (QS. an-Nahl:125)

               Allah subhanahu wata’ala menjadikan tingkatan dakwah menurut tingkatan makhluk. Maka orang yang menerima dakwah lagi cerdas, yang tidak menentang kebenaran diseru (didakwahi) dengan cara yang hikmah. Dan orang yang pelupa dan lambat dalam menerima dakwah diseru dengan nasihat yang baik, yaitu perintah dan larangan yang disertai dorongan/rangsangan dan ancaman. Dan orang yang menentang lagi ingkar, diajak dialok dengan cara yang terbaik. Ini pengertian yang benar dalam makna ayat tersebut...[3]

 

Dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala adalah tingkatan tertinggi dan paling agung di sisi Allah subhanahu wata’ala:

               Ibnu Wadhdhah al-Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya yang berjudul ‘al-Bida’u wan nahyu ‘anha’: Sesungguhnya Asad bin Musa menulis surat kepada Asad bin Furat, ia berkata: ‘Ketahuilah –wahai saudaraku- sesungguhnya yang mendorong saya menulis surat kepadamu adalah yang disebutkan oleh penduduk negerimu berupa kebaikan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala kepadamu dalam menyadarkan manusia, bagusnya kondisimu  karena menampakkan sunnah dan celaanmu terhadap ahli bid’ah, engkau sering mengingatkan dan mencela mereka maka Allah subhanahu wata’ala menekan mereka dengan perbuatan engkau, dan kuatlah denganmu posisi ahlus sunnah, maka Allah subhanahu wata’ala menghinakan ahli bid’ah dengan hal itu dan jadilah mereka bersembunyi dengan bid’ah mereka.

               Maka bergembiralah wahai saudaraku, dengan mendapatkan pahala semua itu, dan hitunglah dengannya kebaikanmu yang paling utama berupa shalat, puasa, haji dan jihad. Dan di manakah letak amal ibadah ini dibandingkan menegakkan Kitabullah dan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ أَحْيَا شَيْئًا مِنْ سُنَّتِي كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِى الجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَجَمَعَ بَيْنَ أصْبُعَيْنِ))

Barangsiapa yang menghidupkan sesuatu dari sunnahku niscaya aku bersamanya di surga seperti dua ini, dan beliau menggabungkan di antara dua jemarinya.

Dan beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أَيُّمَا دَاعٍ إِلَى هُدًى فَاتُّبِعَ عَلَيْهِ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ تَبِعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))

Siapapun yang mengajak kepada petunjuk lalu diikuti atasnya, niscaya untuk dia seperti pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.” Maka siapakah yang bisa mendapatkan pahala ini dari amal ibadahnya?

               Dan ia menyebutkan pula bahwa di sisi setiap bid’ah yang menyusup dalam ibadah bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mempunyai waliyullah yang melindunginya dari bid’ah.

               Maka ambillah keuntungan karunia ini, wahai saudaraku, dan jadilah sebagai ahlinya, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Yaman dan berpesan kepadanya seraya bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لَأَنْ يَهْدِيَ اللّه بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ كَذَا وَكَذَا))

“Sungguh Allah subhanahu wata’ala memberi petunjuk denganmu kepada seorang laki-laki lebih baik bagimu dari ini dan ini.”[4]

Imam Muhammad bin Abdul Wahhah rahimahullah berkata: ‘...dan engkau mempunyai pengetahuan bahwa sesungguhnya kedudukan tertinggi dan yang paling agung di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah berdakwah kepada-Nya, yang Dia subhanahu wata’ala berfirman:

قال الله تعالي: ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴾ ( سورة فصلت: 33)

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fushshilat:33)

Dan dalam hadits:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لَأَنْ يَهْدِيَ اللّه بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ النَّعَمِ)) [ متفق عليه ]

Sungguh  Allah subhanahu wata’ala memberi petunjuk denganmu kepada seorang laki-laki lebih baik bagimu dari unta merah.”[5] [6]

Dan beliau menjelaskan bahwa dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala, agama-Nya yang benar dan sunnah rasul-Nya adalah wajib, ...dan kita wajib mempelajari empat masalah, pertama: mengetahui, yaitu mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan dalil dalil. Kedua, mengamalkannya. Ketiga, berdakwah kepadanya. Dan keempat, sabar terhadap gangguan padanya. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ . وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فيِ دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا . فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا ﴾ ( سورة النصر: 1- 3 )

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, * dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, * maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. an-Nashr:1-3)[7]

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah[8] berkata: ...apabila sudah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada yang mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengkafirkan para sahabatnya, maka tidak heran akan datang di akhir umat ini orang yang mengatakan seperti perkataan mereka dan berpendapat seperti pendapat mereka.  Dan orang-orang berhijrah dan melakukan bai’at kepada kita, kita tidak tahu tentang hakikat perkara mereka. Dalam kondisi bagaimanapun, apabila kamu melakukan tauhid dan mengingkari syirik dan kesesatan serta meninggalkan bid’ah, maka kamu tidak harus hijrah dari tanah air dan harta. Akan tetapi kamu harus berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala, mencari dalil-dalil tauhid dalam Kitabullah. Renungkanlah perkataan Syaikh dalam karangan-karangannya, maka beliau telah menjelaskan dan mentahqiq, wassalaam.[9]

               Dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala adalah jihad, dan makhluk yang paling sempurna untuk kedudukan jihad dengan karunia Allah subhanahu wata’ala adalah panutan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya ‘Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad’:

Fasal: Dan makhluk yang paling sempurna di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah orang yang menyempurnakan semua tingkatan jihad. Manusia berbeda-beda kedudukan mereka di sisi Allah subhanahu wata’ala menurut perbedaan mereka dalam tingkatan jihad. Karena inilah, makhluk paling sempurna dan paling mulia terhadap Allah subhanahu wata’ala adalah penutup para nabi dan rasul. Sesungguhnya beliau telah menyempurnakan tingkatan jihad dan berjihad karena Allah subhanahu wata’ala dengan sebenar-benarnya dan memulai jihad sejak dibangkitkan (diangkat menjadi nabi dan rasul) hingga Allah subhanahu wata’ala mewafatkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena itulah ketika turun ayat:

قال الله تعالي: ﴿ يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ *  قُمْ فَأَنذِرْ * وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ * وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ  ﴾ ( سورة المدثر: 1-4)

Hai orang yang berkemul (berselimut), * bangunlah, lalu berilah peringatan! * dan Rabbmu agungkanlah, * dan pakaianmu bersihkanlah, (QS. Al-Muddatstsir:1-4)

Beliau langsung berdakwah dan melaksanakan karena Allah subhanahu wata’ala dengan sempurna, berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala malam dan siang, secara rahasia dan terang-terangan. Dan tatkala turun ayat:

قال الله تعالي: ﴿ فَاصْدَعْ بِمَاتُؤْمَرُ ﴾

Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu). (QS. al-Hijr:94)

Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan perintah Allah subhanahu wata’ala dan tidak memperdulikan celaan orang yang mencela padanya. Beliau berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala kepada anak kecil dan orang dewasa, merdeka dan budak, laki-laki dan perempuan, berkulit merah dan putih, jin dan manusia.

               Dan tatkala beliau menyampaikan perintah Allah subhanahu wata’ala dan menyatakan kepada kaumnya dengan dakwah, menyeru mereka dengan mencela sesembahan mereka dan mencela agama mereka, bertambah beratlah gangguan mereka kepada beliau dan para pengikut beliau dari kalangan sahabatnya. Mereka melakukan kepada beliau dan mereka dengan berbagai macam gangguan. Inilah sunnatullah subhanahu wata’ala pada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ مَّايُقَالَ لَكَ إِلاَّ مَاقَدْ قِيلَ لِلرُّسُلِ مِن قَبْلِكَ ﴾ ( سورة فصلت : 43 )

Tidaklah ada yang dikatakan (oleh orang-orang kafir) kepadamu itu selain apa yang sesungguhnya telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelum kamu. (QS. Fushshilat:43)

Dan firman-Nya:

قال الله تعالي: ﴿ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ ﴾ (سورة الأنعام : 112)

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin,. (QS. Al-An’aam:112)

Dan firman-Nya:

قال الله تعالي: ﴿ كَذَلِكَ مَآأَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ * أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ  ﴾ ( سورة الذاريات: 52-53)

Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan:"Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila". * Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas. (QS. adz-Dzariyaat:52-53)

Hingga ia berkata: “Barangsiapa yang beriman kepada para rasul dan taat kepada mereka, niscaya musuh-musuh mereka akan memusuhi dan mengganggu mereka. Maka ia diuji dengan sesuatu yang menyakitinya. Dan jika ia tidak beriman kepada mereka (para nabi) dan tidak taat kepada mereka niscaya ia akan disiksa di dunia dan akhirat, maka ia memperoleh sesuatu yang menyakitinya. Rasa sakit ini lebih berat dan lebih kekal dari pada rasa sakit karena mengikuti mereka (para rasul). Maka sudah menjadi keharusan merasakan sakit bagi setiap jiwa yang beriman atau berpaling dari iman. Akan tetapi orang yang beriman merasakan sakit di dunia di awal awalnya, kemudian kesudahan (yang baik) baginya di dunia dan akhirat. Dan orang yang berpaling dari iman mendapatkan kenikmatan di awal-awalnya, kemudian kembali kepada rasa sakit yang kekal abadi. Imam Syafi’i rahimahullah ditanya: ‘Apakah yang paling utama bagi seorang laki-laki, diteguhkan atau dicoba? Ia menjawab: ‘Tidak diberikan keteguhan sehingga dicoba lebih dahulu.’ Allah subhanahu wata’ala mencoba para nabi ulul azmi, maka tatkala mereka sabar, Dia subhanahu wata’ala meneguhkan mereka. Maka janganlah seseorang menduga bahwa ia selamat dari rasa sakit sama sekali. Sesungguhnya berbeda-beda orang-orang yang menderita menurut akal, maka yang paling berakal dari mereka adalah yang menjual penderitaan abadi lagi besar dengan penderitaan sedikit lagi terputus, dan yang paling celaka adalah orang yang menjual penderitaan sementara yang sedikit dengan penderitaan panjang yang tak ada hentinya.

               Jika dikatakan: Bagaimana orang yang berakal memilih hal ini? Dikatakan: Yang mendorongnya atas hal ini adalah kontan (langsung, cepat) dan bertempo, dan jiwa biasanya menyenangi yang cepat/langsung...

قال الله تعالي: ﴿ كَلاَّ بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ * وَتَذَرُونَ اْلأَخِرَةَ  ﴾ ( سورة القيامة: 20-21)

Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, * dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. (QS. al-Qiyamah:20-21)

قال الله تعالي: ﴿ إِنَّ هَؤُلآءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَآءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلاً  ﴾ (سورة الإنسان: 27)

Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat). (QS. al-Insaan:27)

Ini bisa terjadi pada setiap orang. Manusia adalah makhluk sosial. Ia harus hidup bersama manusia (masyarakat), dan manusia mempunyai keinginan dan gambaran. Mereka meminta darinya agar menyetujui mereka dalam keinginan dan gambaran. Jika ia menolak, mereka menggangu dan menyakitinya. Jika ia menyetujui mereka ia bisa mendapat gangguan dan siksaan, terkadang dari mereka dan terkadang dari selain mereka. Seperti orang yang mempunyai agama dan taqwa, tinggal di antara kaum yang fasik dan zalim. Mereka tidak mungkin melakukan kafasikan dan kezaliman mereka kecuali dengan persetujuannya terhadap mereka atau ia mendiamkan perbuatan mereka. Jika ia menyetujui mereka atau diam, niscaya ia selamat dari kejahatan mereka di awal-awalnya. Kemudian mereka menguasainya dengan penghinaan dan gangguan melebihi yang dia takutkan di awal-awalnya jika ia mengingkari dan menyalahi mereka. Dan jika selamat dari mereka maka ia bisa dihina dan disiksa lewat tangan selain mereka. Maka yang menjadi keharusan adalah mengambil perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, ‘Barangsiapa yang menyebabkan ridha Allah subhanahu wata’ala dengan kemurkaan manusia niscaya Allah subhanahu wata’ala mencukupkannya dari gangguan manusia, dan barangsiapa yang menyenangkan manusia dengan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala, niscaya mereka tidak bisa melindunginya sedikitpun dari siksa Allah subhanahu wata’ala.

               Barangsiapa yang merenungi kondisi alam semesta, ia banyak melihat pada orang yang membantu para pemimpin terhadap tujuan-tujuan mereka yang rusak  dan orang orang yang menolong para pelaku bid’ah terhadap bid’ah mereka karena menghindari siksaan mereka. Maka siapa yang Allah subhanahu wata’ala memberi petunjuk dan ilham kepadanya serta menjaganya dari kejahatan nafsunya niscaya ia menghindar dari menyetujui perbuatan yang diharamkan, sabar terhadap permusuhan mereka, kemudian kesudahan adalah untuknya di dunia dan akhirat. Sebagaimana para rasul dan para pengikut mereka, seperti kaum Muhajirin dan Anshar, dan yang mendapat cobaan dari para ulama, ahli ibadah, para pemimpin yang shalih, para pedagang dan selain mereka.

Tatkala penderitaan tidak ada yang bisa menghindar darinya sama sekali, Allah subhanahu wata’ala menghibur orang yang memilih penderitaan sementara yang singkat terhadap penderitaan besar yang tidak ada ujungnya dengan firman-Nya:

قال الله تعالي: ﴿ مَن كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ اللهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللهِ لأَتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴾ ( سورة العنكبوت: 5)

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dia-lah yang Maha Mendegar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-‘Ankabut:5)

Maka terhadap penderitaan ini, Dia subhanahu wata’ala menentukan batas waktu yang pasti akan tiba, yaitu bertemu-Nya. Maka hamba akan merasakan kenikmatan yang tidak terhingga sebagai imbalan yang telah dipikulnya karena-Nya, dan kenikmatan dan kebahagiaannya menurut kadar penderitaan yang dipikulnya pada dan karena Allah subhanahu wata’ala. Dan Dia subhanahu wata’ala menekankan ta’ziyah dan hiburan ini dengan mengharapkan bertemu-Nya, agar hamba memikul kerinduan-Nya untuk bertemu Rabb-nya dan pelindungnya di atas beban penderitaan yang singkat...’[10]

               Imam Rabbani ini berkata pula: ‘Fasal: Tempat  ke dua puluh tiga dari tempat mengucap shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Saat menyampaikan ilmu kepada manusia...karena ia adalah tempat menyampaikan ilmu yang beliau datang dengannya, menyebarkannya kepada umatnya, memberikannya kepada mereka, dan mengajak mereka kepada sunnah dan jalannya shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah ibadah yang paling mulia dan paling besar manfaatnya bagi hamba di dunia dan akhirat. Firman Allah subhanahu wata’ala:

قال الله تعالي: ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴾ ( سورة فصلت: 33 )

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fushshilat:33)

Dan firman-Nya:

قال الله تعالي: ﴿ قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ  ﴾ ( سورة يوسف: 108 )

Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-    orang yang musyrik". (QS. Yusuf:108)

Sama saja maknanya: aku dan orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala berdasarkan hujjah, atau waqaf (berhenti membaca) pada firmannya:

 ﴿ أَدْعُوا إِلَى اللهِ ﴾kemudian memulai  ﴿ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي ﴾ maka dua pendapat yang saling berkaitan, maka sesungguhnya beliau disuruh oleh Allah subhanahu wata’ala agar mengabarkan bahwa jalannya adalah dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka barangsiapa yang berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala maka ia berada di atas jalan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia berada di atas hujjah dan dia termasuk pengikutnya. Dan siapa yang berdakwah kepada selain yang demikian itu maka ia tidak berada di atas jalannya, tidak berada di atas hujjah dan bukan termasuk pengikutnya.

Dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala merupakan tugas para rasul dan pengikut mereka, dan mereka adalah khalifah-khalifah para rasul pada umat-umat mereka dan manusia adalah pengikut mereka. Allah subhanahu wata’ala menyuruh para rasul-Nya agar menyampaikan apa yang diturunkan kepada mereka, dan menjamin baginya penjagaan dan pemeliharaan-Nya dari manusia. Seperti inilah orang-orang yang menyampaikan dari-Nya dari kalangan umatnya, mereka mendapat penjagaan dari Allah subhanahu wata’ala, dan pemeliharaan-Nya terhadap mereka menurut kadar pengamalan mereka dengan agama-Nya dan menyampaikan mereka bagi-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyuruh menyampaikan darinya sekalipun hanya satu ayat. Mendoakan bagi orang yang menyampaikan darinya sekalipun hanya satu hadits, dan menyampaikan sunnahnya kepada umat lebih utama dari pada menyampaikan anak panah ke leher-leher musuh, karena menyampaikan seperti itu bisa dilakukan oleh banyak orang. Adapun menyampaikan sunnah maka tidak banyak yang bisa menyampaikannya kecuali para pewaris nabi dan khalifah-khalifah mereka pada umat-umat mereka. Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita termasuk dari golongan mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya.[11]

               Dakwah kepada sunnah termasuk amar ma’ruf dan mengingkari bid’ah adalah nahi mungkar. Amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah kelep pengaman syari’ah. Dengan keduanya agama terjaga, akidah dan syari’at tetap lurus.

               Bagi pelaksana amar ma’ruf dan nahi mungkar ada beberapa syarat yang mesti terpenuhi padanya, maka jadilah perintahnya terhadap yang ma’ruf adalah ma’ruf dan larangannya terhadap yang mungkar juga seperti itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ...karena inilah dikatakan:  ‘Hendaklah perintahmu terhadap yang ma’ruf dengan ma’ruf dan laranganmu dari yang mungkar tidak dengan mungkar. Apabila amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan yang paling utama dari kewajiban atau sunnah, maka yang wajib dan sunnah sudah semestinya mashlahat (kebaikan) melebihi kerusakan, karena dengan inilah diutus para rasul dan diturunkan kitab-kitab, dan Allah subhanahu wata’ala tidak menyukai kerusakan. Bahkan semua yang diperintahkan Allah subhanahu wata’ala maka ia merupakan kebaikan, dan Allah subhanahu wata’ala memuji kebaikan, orang-orang yang berbuat kebaikan, orang-orang beriman dan beramal shalih, dan mencela kerusakan dan orang-orang yang berbuat kerusakan di banyak tempat. Maka di tempat yang kerusakan amar (perintah) dan nahi (larangan) lebih besar dari kebaikannya niscaya hal itu tidak diperintahkan Allah subhanahu wata’ala, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang diharamkan, karena seorang mukmin harus bertaqwa kepada Allah subhanahu wata’ala pada hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala dan ia tidak ditugaskan untuk memberi petunjuk kepada mereka. Inilah makna firman-Nya:

قال الله تعالي: ﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ﴾ ( سورة المائدة: 105)

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (QS. al-Maidah :105)

               Mendapat petunjuk adalah dengan menunaikan kewajiban, maka apabila seorang muslim sudah melaksanakan yang wajib berupa amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagaimana ia melaksanakan kewajiban lainnya, niscaya kesesatan orang sesat tidak membahayakannya. Terkadang hal itu dengan hatinya, terkadang dengan lisan, dan terkadang dengan tangan. Adapun (mengingkari kemungkaran dengan) hati maka hukumnya adalah dalam kondisi bagaimanapun, karena tidak ada bahaya dalam melakukannya dan siapa yang tidak melakukannya maka ia bukan seorang mukmin, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((وَذلِكَ أَدْنَي أَوْ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ))     [ رواه مسلم ]

Itulah sekurang-kurang atau selemah-lemah iman.”[12]

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّة خَرْدَلٍ))  [ رواه ابن حبان ]

“Di belakang itu tidak ada lagi iman seberat biji sawi.”[13]

Ditanyakan kepada Huzaifah radhiyallahu ‘anhu: ‘Siapakah orang mati dalam kondisi hidup? Ia menjawab: ‘Orang yang tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar.”[14] Inilah orang yang terfitnah yang digambarkan bahwa hatinya seperti panci yang miring dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain: “...dipajangkan fitnah terhadap hati seperti pajangan tikar...’[15]

Di sini, ada dua golongan manusia yang melakukan kesalahan, satu golongan meninggalkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar karena menta’wilkan ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam khuthbahnya: ‘Wahai manusia, sesungguhnya kamu membaca ayat ini:

قال الله تعالي: ﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ﴾ ( المائدة: 105 )

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (QS. al-Maidah :105)

Dan kamu meletakkannya bukan pada tempatnya, dan sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ بِعِقَابٍ مِنْهُ )) [رواه أبو داود والترمذي ]

Sesungguhnya apabila manusia melihat kemungkaran maka mereka tidak merubahnya, hampir-hampir Allah subhanahu wata’ala menurunkan siksa dari-Nya secara merata.”[16]...[17]

Dan ia rahimahullah juga berkata:... dan termasuk amar ma’ruf adalah menyuruh bersatu dan berkumpul, dan melarang dari perbedaan dan perpecahan serta selain yang demikian itu. Adapun mungkar yang Allah subhanahu wata’ala dan rasul-Nya melarang darinya maka yang terbesar adalah syirik (menyekutukan) Allah subhanahu wata’ala, yaitu berdoa bersama Allah subhanahu wata’ala kepada sembahan yang lain seperti matahari, bulan, bintang, atau seperti seorang malaikat dari para malaikat, atau seorang nabi dari para nabi, atau seorang laki-laki dari golongan shalihin, atau salah seorang jin,  atau patung mereka atau kubur mereka, atau selain yang demikian yang dipanjatkan doa dari selain Allah subhanahu wata’ala, atau diminta pertolongan dengannya, atau sujud kepadanya. Maka semua ini dan semisalnya merupakan perbuatan syirik yang diharamkan Allah subhanahu wata’ala lewat lisan semua rasul-Nya.

               Dan termasuk yang mungkar adalah semua yang diharamkan oleh Allah subhanahu wata’ala, seperti membunuh jiwa dengan cara yang tidak benar, memakan harta  orang lain dengan cara yang batil seperti merampas, atau riba, atau judi, dan perdagangan dan transaksi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang darinya. Demikian pula memutuskan hubungan silaturrahim, durhaka kepada kedua orang tua, mengurangi takaran dan timbangan, dosa dan zalim. Dan demikian pula ibadah-ibadah bid’ah yang tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan rasul-Nya...dan selain yang demikian itu, dan santun/lembut adalah jalan amar ma’ruf dan nahi mungkar.[18]        

Ibnul Qayyim rahimahullah menekankan bahwa di antara penyebab tersebarnya bid’ah adalah keteledoran ulama dalam menampakkan sunnah dan petunjuk, ia berkata: ...Yang terjadi pada umat ini berupa bid’ah dan kesesatan, di antara penyebabnya adalah keteledoran dalam menampakkan sunnah petunjuk.’[19]

               Dan seperti inilah, dengan berdakwah kepada orang-orang yang menyalahi ahlus sunnah, nampaklah sunnah dan matilah bid’ah, kalangan awam terjaga dari kejahatannya, nampak kelemahan hujjah orang yang menyalahi, membela dari kekotoran agama, terungkaplah apa yang disamarkan oleh orang-orang yang menyimpang terhadap kalangan awam. Dan dengan ini bersatu manusia di atas petunjuk dan berpegang dengan tali (agama) Allah subhanahu wata’ala...dan itulah tujuan syara’ tertinggi dari dakwah kepada orang-orang yang menyalahi terhadap ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan ahli bid’ah.


[1] HR. Muslim 2060, at-Tirmidzi 2674, dan Abu Daud 2509.

[2] Al-Qaulus Sadid hal 32-33.

[3] Miftah Darus Sa’adah  1/153.

[4] Al-Bida’ wan nahyu ‘anha hal 28-30.

[5] Al-Bukhari 1357 dan Muslim 2406.

[6] Ad-Durarus Saniyah 1/63

[7] Ad-Durarus Saniyah minal ajwibatin najdiyah 1/125

[8] Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab, cucu imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Dilahirkan pada tahun 1192 H di Dir’iyah dan wafat di Riyadh tahun 1285 H. Menulis beberapa kitab dan risalah, yang paling terkenal adalah Fathul Majid syarh Kitab Tauhid.

[9] Ad-Durarus Saniyah minal ajwibatin najdiyah 3/226

[10] Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibadah 3/12-16.

[11] Jala`ul afham hal. 414-415.

[12] HR. Muslim 49, Abu Daud 1140, at-Tirmidzi 3172, dan Ibnu Majah 403.

[13] Shahih Ibnu Hibban 14/72.

[14] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504.

[15] Muslim 144.

[16] Abu Daud 4338, at-Tirmidzi 2168 dan 3057

[17] Al-Istiqamah 2/211-213.

[18] Istiqamah 2/210.

[19] Ash-Shawa’iqul Mursalah 3/1133

Tidak ada komentar