Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Pernahkah kita bertanya, berfikir dan merenungkan keadaan diri kita ? Apakah kita pernah melakukan sebuah kemaksiatan ? Lantas semakin hari kok kemaksiatan kita semakin bertambah banyak ? Apakah penyebabnya ? Penulis Al Qomush Al Muhith Rohimahullah mengatakan,
“Al ‘Ishyaan (maksiat) adalah kebalikan dari keta’atan”[1]. Syaikh ‘Abdullah bin Sholeh Al Qushoyyir Hafizhahullah mengatakan[2],
المَعْصِيَةُ وَالعِصْيَانُ خِلَافُ الطَّاعَةِ، أَوْ مُضَادَةُ الأَمْرِ وَمُعَاكَسَتُهُ؛ بِعَدَمِ امْتِثَالِهِ أَوْ بِفِعْلِ مَا يُضَادُّهُ، يُقَالُ: عَصَى العَبْدُ رَبَّهُ: إِذَا خَالَفَ أَمْرَهُ؛ بِأَنْ فَعَلَ مَا نَهَاهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ عَنْهُ، أَوْ تَرَكَ مَا أَمَرَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ بِهِ؛ لَأَنَّهُ اخْتَارَ بِذَلِكَ لِنَفْسِهِ غَيْرَ مَا اخْتَارَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ لَهُ شَرْعًا، وَهَذَا هُوَ الضَّلَالُ المُبِيْنُ؛ قَالَ تَعَالَى : ﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا ﴾ [الأحزاب: 36]
“Maksiat dan ‘Ishyaan merupakan kebalikan dari keta’atan atau kebalikan dari hal yang diperintahkan atau sesuatu yang berlawanan dengannya (perintah). Dapat berupa tidak melaksanakan perintah atau melakukan kebalikannya. Disebutkan, (عصى العبد ربَّه) ‘seorang hamba bermaksiat kepada Robb nya’ yaitu jika dia menyelisihi perintah Nya, baik berupa melakukan hal yang Allah dan Rosul Nya larang atau meninggalkan yang Allah dan Rosul Nya perintahkan. Sebab dia memilih untuk dirinya sendiri melakukan apa yang bukan menjadi pilihan Allah dan Rosul Nya secara syari’iat. Ini merupakan kesesatan yang nyata. Allah Ta’ala berfirman,وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rosul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata”.(QS. Al Ahzab [33] : 36)
Itulah kemaksiatan, jumlahnya tidak dapat dihitung dan sebagian lebih besar dibandingkan yang lainnya.
Adapun yang ingin kita ketengahkan bukanlah rincian macam-macam maksiat dan tingkatannya. Melainkan sebuah renungan kepada kita bahwa maksiat itu walaupun 1 akan melahirkan maksiat berikutnya.
Ibnul Qoyyim Rohimahullah mengatakan[3],
“Sesungguhya maksiat menumbuhkan maksiat yang semisal dengannya. Maksiat pun melahirkan kemaksiatan lainnya hingga seorang hamba merasa sulit memisahkan dirinya dan keluar dari kemaksiatan tersebut. Hal ini sebagaimana ungkapan sebagian salaf, “Sesungguhnya termasuk diantara hukuman sebuah keburukan adalah keburukan setelahnya. Demikian pula sesungguhnya diantara ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan setelahnya”. Seorang hamba jika dia beramal kebaikan maka kebaikan lain pun akan berkata kepadanya, ‘Amalkan aku juga’. Jika dia mengamalkannya maka kebaikan ketiga pun demikian juga.
Demikianlah seterusnya sehingga pahala yang didapatkan pun berlipat ganda dan bertambahlah kebaikan. Demikian pula sebaliknya dengan keburukan. Hingga keta’atan dan kemaksiatan akan menjadi kebiasaan yang mengakar, shifat yang terus menerus ada dan tabiat yang melekat. Maka apabila orang yang senantiasa beramal kebaikan meninggalkan berbagai keta’atan, sempitlah dadanya, bumi terasa sempit padahal luas. Jiwanya merasa susah seperti ikan jika terpisah dari air. Jiwanya akan terus terasa sempit hingga dia kembali melakukan keta’atan yang biasa dia lakukan lantas tenanglah dan gembiralah jiwanya”.
“Seandainya orang yang gemar maksiat meninggalkan kemaksiatannya dan melakukan keta’atan niscaya jiwanya sempit, sesak dadanya dan lemahlah kepercayaannya hingga dia kembali padanya (berbuat maksiat –pen). Bahkan banyak orang-orang yang mereka gemar berbuat maksiat tidak lagi merasakan kelezatan kemaksiatannya. Dia tidak punya faktor pendorong untuk melakukan kembali kemaksiatannya kecuali rasa sakit yang akan dia dapatkan apabila meninggalkan kemaksiatannya tersebut”.
“Sebagaimana gamblang disebutkan oleh Syaikhul Qoum Al Hasan bin Haani, Gelas (Khomer -pen) yang pertama lezat kuminum Sedangkan gelas lainnya hanyalah obat (candu/ kelezatan) gelas yang pertama
Ada juga yang menyebutkan,
Obatku dialah penyakitku itu sendiri
Sebagaimana peminum khomer ‘disembuhkan’ oleh khomer berikutnya”.
“Seorang hamba akan senantiasa melahirkan keta’atan, gemar dengannya, cinta padanya dan mendahulukannya dari yang lain sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan mengutus malaikat kepadanya dengan rahmatnya untuk mendorongnya, menganjurkannya dan menggerakkannya serta menggugahnya dari tempat tidur dan tempat duduknya untuk kembali melakukan keta’atan”.
“Seorang hamba akan senantiasa gemar, cinta dan mendahulukan maksiat (dibandingkan keta’atan –pen) hingga Allah akan mengutus kepadanya syaithon lantas syaithon pun akan benar-benar mendorongnya (untu melakukan kembali kemaksiatan –pen)”.
Mari pikirkan kembali, coba renungkan kembali apakah kita siap untuk menerima kemaksiatan yang terus menerus akan menghantui, menyertai kita bila kita memberanikan diri untuk melakukan kemaksiatan pertama ??!!
Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman,
هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. (QS. Ar Rohman [55] : 60)Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan[4],
أي: مَا لِمَنْ أَحْسَنَ فِيْ الدُّنْيَا العَمَلَ إِلَّا الإِحْسَانَ إِلَيْهِ فِيْ الدَّارِ الآخِرَةِ
“Tidaklah bagi orang yang berusaha memperbaiki amal di dunia melainkan kebaikan baginya kelak di negeri akhirat”.Pilih mana kecanduan maksiat atau kecanduan keta’atan ???
Pilih mana amal keta’atan yang berbuah keta’atan berikutnya atau kemaksiatan yang semakin menggunung ???
Post a Comment