Manusia yang Paling Besar Ketertipuannya
Manusia yang paling besar ketertipuannya adalah orang yang tertipu oleh dunia dan kesegeraannya, lalu ia mendahulukannya atas akhirat. Dia rela mendapatkan dunia (sekalipun) dengan mengorbankan akhirat. hingga sebagian dari mereka berkata, "(Kenikmatan) dunia itu tunai, sedangkan akhirat itu ditunda, padahal yang disegerakan itu lebih bermanfaat dibandingkan yang ditunda"
Ini termasuk godaan dan rayuan setan yang paling besar. Binatang-binatang yang tidak berbicara itu lebih mengerti dari pada orang-orang itu, karena sesungguhnya jika binatang takut pada bahaya dari sesuatu maka dia tidak akan berani melakukannya, sekalipun ia dipukul, sementara sebagian dari orang-orang itu malah lancang melakukannya secara serampangan, sementara dia antara membenarkan dan mendustakan.
Manusia jenis ini, bila seseorang dari mereka beriman kepada Allah, RasulNya, dan pertemuan denganNya, serta balasan amal perbuatan, maka dia termasuk manusia paling menyesal, karena dia lancang melakukan sesuatu dalam keadaan berilmu, dan bila dia tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, maka dia lebih jauh lagi (lancangnya).
Dalam hadis al Mustaurid bin Syaddad radiallahuanhu dia berkata Rasulullah sallallahu a'laihi wasallam bersabda,
Tidaklah (perumpamaan kenikmatan) dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka hendaklah ia memperhatikan jarinya kembali dengan seberapa kadar air (yang menempel)? (Muslim no. 2858)
Bila manusia merenungkan keadaan dirinya sejak dia dalam wujud setetes air mani, hingga menjadi manusia utuh dan sempurna, niscaya dia akan mengetahui bahwa Allah yang memeliharanya dengan pemeliharaan besar ini, memindahkannya dari satu keadaan ke keadaan berikutnya dan mengalihkan bentuknya melalui fase-fase tersebut, tidaklah pantas Dia membiarkan dan meninggalkannya sia-sia, tidak memerintahnya, tidak melarangnya, tidak mengenalkan kepadanya hak-hakNya, tidak memberinya pahala dan tidak pula memberinya hukuman.
Perbedaan antara berbaik sangka dengan tertipu sudah menjadi jelas, dan bahwa bila berbaik sangka mendorong untuk beramal (shalih), mengajak, dan membawa kepadanya, maka ia shahih. Dan sebaliknya, bila ia menyebabkan kemalasan (dalam kebaikan) dan semangat dalam kemaksiatan, maka inilah ketertipuan(ghurur). Berbaik sangka adalah sebuah harapan (raja'). Barangsiapa yang harapannya adalah pembimbing baginya kepada ketaatan dan pencegah baginya dari kemaksiatan, maka inilah harapan yang shahih, namun barangsiapa yang kemalasannya adalah harapan, dan harapannya adalah kemalasan dan kelalaian, maka dia terperdaya.
Rahasia masalah ini adalah bahwa harapan dan berbaik sangka yang benar adalah terjadi dengan cara disertai melakukan sebab-sebab yang dituntut oleh hikmah Allah dalam syariat, takdir, pahala, dan kemuliaanNya, sehingga seorang hamba melakukan sebab-sebab tersebut lalu berbalik sangka kepada Tuhannya, berharap kepadaNya agar tidak membuatnya bersandar kepadanya, dan menjadikannya sebagai perantara kepada apa yang bermanfaat baginya dan menyisihkan apa yang menghalanginya dan menggagalkan pengaruhnya.
Post a Comment