Mungkin saja Anda ingin mengetahui alasan pengaitan cahaya Allah dengan lelangit dan bumi ataupun alasan mengapa DIA sendiri adalah cahaya langit-langit dan bumi
(QS. Al-Nur 24 : 35). (Dalam Pemaknaan)
Kukira tidaklah sepantasnya pengetahuan tentang itu masih tersembunyi bagi Anda setelah Anda mengetahui bahwa DIA-lah cahaya itu sesungguhnya. Tiada cahaya selain DIA dan bahwa DIA adalah cahaya seluruhnya dan yang paling meliputi secara sempurna. Sebab, cahaya adalah ungkapan tentang sesuatu yang dengannya tersingkap segala sesuatunya. Yang lebih tinggi lagi ialah yang tersingkap sesuatu dengannya dan untuknya. Lebih tinggi lagi, yang tersingkap segala sesuatu dengannya, untuknya, dan darinya. Bahwa yang demikian itulah cahaya yang hakiki, tiada lagi di atasnya cahaya lain yang darinya ia menyulut dan membekali diri. Sebab, ia sendiri sudah seperti itu, dengan dirinya sendiri, pada zamannya sendiri, darinya dan untuknya, dan bukannya dari suatu zat selainnya.
Kemudian telah Anda ketahui bahwa itu semua tak mungkin terperikan dan tak mungkin menyadang sifat-sifat itu kecuali “Cahaya yang pertama”. Telah Anda ketahui pula bahwa lelangit dan bumi terisi penuh dengan cahaya dari kedua watak atau sifatnya, yakni yang dinisbatkan kepada penglihatan mata serta penglihatan hati. Atau dengan kata lain, dengan indra dan dengan akal. Adapun cahaya indriawi ialah yang dapat kita saksikan di lelangit, seperti bintang, matahari dan bulan. Atau yang kita saksikan di bumi, seperti sinar-sinar yang memancar di atas segala yang di bumi sehingga menimbulkan warna-warna yang beraneka ragam, terutama pada musim-musim semi. Demikian dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, logan dan segala benda lainnya. Sekiranya tak ada cahaya seperti itu, warna-warna itu tak kan tampak, bahkan tak berwujud sama sekali.
Kemudian dari itu, segala bentuk dan ukuran yang tampak bagi indra, hanya dapat diserap sesuai dengan warna-warna itu dan tak mungkin itu semua dicerap kecuali perantaranya. Adapun cahaya yang pencerapannya secara mental dan spiritual, maka hal itu memenuhi alam atas, yaitu alam bentuk esensi malaikat (Jawahir al-Mala’ikah)’ dan alam bawah, yaitu dalam bentuk kehidupan hewani kemudian manusiawi. Dengan cahaya manusiawi muncul tatanan alam bawah sebagaimana dengan cahaya malaikat muncul alam atas. Itulah yang dimaksud firman Allah Swt:
“Dialah yang telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai penghuni yang memakmurkannya.
(QS. Hud 11 : 61).
Firman-Nya lagi:
“ ..... Bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah di muka bumi ....
(QS. Al-Nur 24 : 55).
Firman-Nya lagi:
“ .... dan menjadikan kami khaligah-khalifah di muka bumi
(QS. Al-Naml 27 : 62).
Firman-Nya lagi:
“ .... Aku jadikan seorang khalifah di muka bumi .....
(QS. Al-Baqarah 2 : 30).
Jika hal ini telah Anda ketahui, mengertilah Anda bahwa alam ini seluruhnya dipenuhi dengan cahaya-cahaya lahiriah yang dicerap oleh mata, serta cahaya-cayaha batiniah yang dicerap oleh akal. Kemudian mengertilah Anda bahwa “cahaya-cahaya bawah” saling melimpahkan cahayanya, yang satu kepada yang lainnya, seperti melimpahnya cahaya dari pelita. Bahwa pelita itu ialah cahaya kudus kenabian (an nur an-nabawy al-qudsiy). Bahwa ruh-ruh kudus kenabian itu memperoleh limpahan cahayanya dari ruh-ruh alam atas, sebagaimana pelita memperoleh limpahan cahaya dari api. Bahwa cahaya alam atas saling melimpahkan antara yang satu dengan lainnya. Bahwa itu berurut-urutan seperti urutan-urutan maqam-maqam, yang kemudian semuanya menunjuk ke arah “cahaya segala cahaya”, asal dan sumber cahaya yang Pertama dan Utama, yaitu Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya.
Dengan demikian, mengertilah Anda bahwa segala cahaya hanya beroleh pinjaman dari-Nya dan sesungguhnya yang hakiki hanyalah cahaya-Nya. Bahwa segalanya berasal dari cahaya-Nya, bahkan DIA-lah, tidak ada sesuatu “DIA” selain-Nya, kecuali secara majaz.
Kesimpulannya, tak ada cahaya kecuali DIA. Segala cahaya adalah cahaya dari arah yang datang dari-Nya dan tidak sekali-kali dari zatnya sendiri. Wajah segalanya tertuju dan menunjukkan dirinya kepada-Nya. Seperti dalam firman Allah:
“Ke mana pun kamu berpaling, di sana wajah Allah.
(QS. Al-Baqarah 2 : 115).
Dengan demikian, La ilaha illa huwa (tak ada ilah kecuali DIA). Sebab, Ilah adalah ungkapan bagi sesuatu yang kepada-Nya semua wajah menunjukkan dirinya dengan ibadah (penghambaan) dan ta’lih (pengakuan bahwa DIA adalah ilah atau Tuhan mereka).
Yang kumaksud dengan “semua wajah” ialah wajah-wajah semua jiwa atau, dengan perkataan lain, semua cahaya dan semua ruh. Bahkan, sebagaimana “tiada tuhan selain DIA”, maka “tiada dia kecuali DIA”. Sebab “dia” adalah ungkapan tentang sesuatu yang kepadanya diarahkan penunjukan (isyarat). Bagaimana pun juga, tidak akan ada penunjukkan kecuali kepada-Nya. Bahkan setiap kali Anda menunjuk, dalam hakikatnya itu adalah penunjukkan kepada-Nya, meskipun Anda tidak mengenal-Nya disebabkan kelalaian Anda tentang “Hakikat segala hakikat” seperti telah kami sebutkan sebelum ini.
Tak seorang pun akan menunjuk ke arah “cahaya matahari”, tapi ternyata ke arah “matahari” itu sendiri. Maka kedudukan seluruh yang ada dalam wujud ini, dalam kenisbahannya kepada Allah Swt., dapat ditamsilkan dengan kenisbahan cahaya kepada matahari. Dengan demikian, “tiada tuhan kecuali Allah: (la ilaha ilallah) adalah tauhidnya kaum awam, sedangkan “tak ada dia kecuali DIA” (la huwa ila huwa) adalah tauhidnya kaum khusus. Sebab pernyataan yang pertama lebih umum, sedangkan yang kedua lebih khusus, lebih meliputi, lebih benar, lebih tepat, dan lebih dekat kepada “ketunggalan dan keesaan murni”.
Adapun akhir mi’raj semua makhluk adalah “Kerajaan Ketunggalan” (Mamlakatul Fardaniyyah). Di baitu, tidak ada lagi tempat pendakian, sebab pendakian tidak bisa dibayangkan kecuali dengan kemajemukan, mengingat bahwa itu adalah suatu bentuk kenisbian yang menyangkut suatu tempat yang dari situ pendakian dimulai dan ke situ ia berakhir. Namun, di saat lenyapnya kemajemukan, ketunggalan menjadi kenyataan, kenisbian tak berlaku lagi dan penunjukan pun tak menentu. Tidak ada lagi sesuatu yang disebut ketinggian dan kerendahan, atau yang turun dan yang naik. Tak mungkin lagi menanjak, tak mungkin lagi mendaki, sebab tidak ada ketinggian di balik yang tertinggi. Tidak ada lagi kemajemukan di samping yang tunggal, dan tidak ada lagi pendakian bersama dengan sirnanya kemajemukan.
Kalaupun ada perubahan dari suatu keadaan seperti itu, maka itu hanya dapat terjadi dengan “turun ke langit dunia”, yakni dengan cara pemancaran cahaya dari atas ke bawah. Sebab sesuatu yang tertinggi kendati tidak ada yang tertinggi lagi darinya, tapi ada yang lebih rendah darinya.
Inilah tujuan dari segala tujuan dan akhir dari segala pencarian! Diketahui oleh siapa yang mengetahuinya dan diingkari oleh siapa yang tidak mengenalnya. Ia termasuk ilmu yang esensinya tersembunyi dan tersimpan rapat, yang tidak akan mengetahuinya kecuali “laum ilmuwan yang mendalami ilmunya tentang Allah, atas perkenan Allah (al-‘ulama’u billah).
Manakala mereka mengungkapkannya tak akan mengingkarinya kecuali ahlul ghirrati billah (yakni, roang-orang yang terkelabui dan mengira dirinya telah mengenal Allah). Maka tidaklah terlalu mengherankan apabila sebagian ulama berkata bahwa yang diamksud dengan “turun ke langit dunia”, ialah turunnya “seorang” malaikat. Di antara kaum ‘arifin ada yang berfaham lebih jauh dari itu dengan mengatakan bahwa Yang Mahatunggal adakalanya turun ke langit dunia dalam arti “turun-Nya” ke penggunaan indra-indra atau penggerakkan anggota tubuh dalam arti seperti yang diisyaratkan oleh sabda Nabi saw :
“ .... maka Aku menjadi telinganya yang dengan itu ia mendengar, matanya yang dengan itu ia melihat, serta lidahnya yang dengan itu ia bicara.”
Apabila DIA adalah telinganya, matanya, dan lidahnya, maka dengan demikian Dia-lah, dan bukan selain DIA, yang mendengar, yang melihat, dan berbicara. Demikian itulah makna yang diisyaratkan oleh fiman-Nya kepada Musa a.s. : “Ketika aku sakit engkau tak menjenguk-Ku”
(Hadis Qudsi).
Dengan ini dapat dipahami semua gerakan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar bertauhid seperti ini dari langit dunia (langit terendah), dan perasaan-perasaannya dari langit di atasnya, serta pemikiran akalnya di atas itu lagi ketika ia melakukan pendakian dari langit akal menuju batas akhir mi’raj yang dibenarkan untuk makhluk dan di “Kerajaan Ketunggalan” sampai tujuh lapisan, kemudian setelah itu bersemayam di atas ‘arsy wahdaniyyah (singgasana ketunggalan) dan dari sana men-tadbir-kan segala urusan ke berbagai lapis langit .... Seyogyanyalah uraian ini menjadi bahan renungan siapa saja yang membaca hadis Nabi Saw., bahwa Allah Swt, mencipta Adam a.s., menyerupai citra Al-Rahman” .... agar ia tidak mengartikannya begitu saja secara sembarangan.
Sebab hal itu jelas memiliki takwil (arti tersembunyi) seperti juga dalam ucapan sebagian orang ahli tasawuf : “Akulah yang Haqq” dan “Maha Suci Aku!” Demikian pula sabda Nabi Saw, (dalam suatu hadis Qudsi) : “Tak kau jenguk Aku ketika Aku sakit” : dan .... “maka Aku adalah telinganya, matanya, dan lidahnya ....”
Nah, kukira cukup sampai di sini akau harus menarik kendali uraianku, sebab kurasa Anda tak akan mampu menerima seperti ini lebih dari kadar yang telah kuberikan.
Post a Comment