Kaum ‘arifin, setelah mi’raj (penadkian) ke langit hakikat, bersepakat bahwa mereka tak melihat dalam wujud ini kecuali Yang Mahatunggal lagi Mahabesar. Namun, di antara mereka ada yang mengalami keadaan ini secara ma’rifat dan ilmu, ada pula yang meraihnya dengan dzuq (cita rasa batiniah) dan hal (suatu keadaan luar biasa yang meliputi diri seseorang).
Pada saat seperti itu, kemajemukan lenyap sama sekali dari mereka dan tenggelamlah mereka dalam ketunggalan yang murni (al-fardaniyyah al-mahdhah), terpesona dalam keindahannya, kehilangan kesadaran diri sehingga tidak lagi tertingga pada diri mereka kemampuan untuk mengingat sesuatu selain Allah, bahkan tidak pula untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian, tiada lagi sesuatu dalam pikiran atau diri mereka selain Allah. Mereka pun menjadi “mabuk kepayang” dan hilang pula kekuasaan akal mereka karenanya. Sehingga ada di antara mereka yang – pada saat-saat seperti ini pernah berkata “Akulah Al-Haqq”. Yang lainnya berkata : “Mahasuci Aku! Alangkah agungnya keadaan-Ku!” atau : “Tiada sesuatu di balik jubah ini selain Allah ...... !
Ucapan-ucapan para ‘asyiq (orang-orang yang diliputi keasyikan atau kecintaan dan kerinduan) seperti ini, di saat-saat kemabukan, seharusnya disembunyikan dan jangan diceritakan. Sebab mereka sendiri ketika telah mulai sembuh dari keadaan mabuk itu dan telah kembali pula kekuasaan akal yang merupakan mizan (neraca) Allah di atas bum-Nya, sadarlah mereka bahwa itu bukanlah ittihad (keadaan menyatu) yang sebenarnya dengan Allah, tapi hanya menyerupai ittihad sebagaimana yang disenandungkan si ‘asyiq dalam keadaan kesyikan yang amat sangat:
Akulah dia yang kucintai
Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua ruh,
Bersemayam dalam raga yang satu .....
Ibarat orang yang belum pernah melihat cermin, lalu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah cermin dan melihat gambar dirinya di sana. Dikiranya bahwa gambar yang dilihatnya pada cermin itu adalah gambar cermin yang telah menyatu dengan gambar dirinya sendiri.
Atau, seseorang melihat minuman anggur dalam sebuah gelas, lalu mengira bahwa anggur itu bukan anggur, tapi itu hanya warna si gelas. Jika kelak keadaan itu sudah menjadi terbaisa baginya dan kuat pula pengetahuannya, barulah ia akan menyadari keadaan sebenarnya, sebagai mana dalam untaian syair ini:
Gelas bening dan anggur nan murni.
Keduanya serupa bercampur menyatu.
Seakan anggur tanpa gelas,
Atau gelas tanpa anggur.
Tentunya berbeda antara dua ucapan: “Anggur ini adalah gelas” dengan “Anggur itu seakan-akan gelas”, seperti yang diucapkan oleh penyair.
Keadaan ini, bila telah memuncak, dan dikaitkan dengan orang yang dikuasai seperti itu, disebut “fana” (luluh, lenyap), bahkan ada kalanya disebut “fana-nya kefanaan”. Sebab orang tersebut telah fana dari dirinya, bahkan fana dari kefanaannya. Ia kini tidak menyadari bahwa dirinya dalam keadaan itu dan tidak menyadari pula “ketidaksadarannya akan keadaa dirinya itu”. Sekiranya ia menyadari ketidaksadarannya itu, tentunya ia (telah) menyadari keadaan dirinya.
Keadaan seperti ini dalam kaitannya dengan orang yang tenggelam di dalamnya dalam bahasa majaz dinamakan ittihad, dan dalam bahasa hakikat dinamakan tauhid. Namun di balik segala hakikat ini masih amat banyak rahasia yagn tak seyogyanya kita arungi.
Post a Comment