Nafkah Keluarga Tanggungan Suami

Nafkah Keluarga Tanggungan Suami 

Ada dua aspek yang menjadikan suami sebagai pihak yang memegangi  kendali kepimpinan di dalam keluarga. Pertama, dikarenakan Allâh Azza wa Jalla melebihkan kaum lelaki  (para suami) di atas kaum wanita (para istri). Dan kedua, karena para suamilah  yang menafkahi istri dan anak-anak dan menjadi penanggung-jawab atas kehidupan mereka.  Dua latar-belakang ini telah tertuang dalam al-Qur`anul Karim.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [An-Nisâ/4:34]

Ketika menafsirkan ayat dia atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Dengan sebab harta yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas mereka, seperti tersebut dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya, maka, pria lebih utama daripada wanita serta memiliki kelebihan dan keunggulan di atas wanita, sehingga pantas menjadi pemimpin bagi wanita.”[1]

Makna Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah sesuatu yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau orang lain, baik itu makanan, minuman dan lain-lain. [2]

Dasar-Dasar Suami Wajib Menafkahi Keluarga
Menafkahi bersifat wajib berdasarkan dalil dari al-Qur`an, Hadits dan Ijma.

  1. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا 


“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. [Al-Baqarah/2:233]


Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Artinya menjadi kewajiban bagi bapak si anak untuk menafkahi dan memberi pakaian kepada ibu-ibu yang menyusui dengan cara yang baik-baik. Maksudnya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku untuk wanita seperti mereka di negeri mereka, tanpa berlebihan atau terlalu sedikit, menurut kemampuan (ekonomi) si bapak: kaya, sedang, atau kurang mampu. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla.

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang di sempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allâh kepadanya. Allâh tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allâh berikan kepadanya. Allâh kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”. [Ath-Thalaq/65:7]

Dari sini, tampak jelas, faktor penyebab diwajibkannya seorang lelaki sebagai kepala rumah tangga untuk bekerja dan mencari penghasilan. Ia bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, akan tetapi, juga untuk mencukupi kebutuhan nafkah istri dan anak-anak mereka. Kewajiban dan tugas mencari nafkah ini hanya menjadi beban suami saja, tidak menyertakan istri, apalagi anak-anak.

  1. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik [HR. Muslim, no.1218]

  1. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat tahun 751H) menyatakan bahwa sudah menjadi ijma Ulama bahwa suamilah yang bertanggung-jawab memberi nafkah keluarga, bukan istrinya. [3]

Inilah beberapa dasar mengenai kewajiban suami untuk menafkahi keluarga. Seorang suami sepatutnya mengembannya dengan penuh tanggung-jawab. Ia tidak boleh menyia-nyiakan keluarganya, dengan mengganggur tanpa pekerjaan.  Bila ia tidak bekerja, darimana ia akan menafkahi keluarganya? Bila sang kepala rumah-tangga tidak memberi, kepada siapa, anak-istri meminta nafkah untuk hidup mereka?


Wahai suami! bekerjalah dalam rangka menjalankan perintah agama, untuk memenuhi kebutuhan pribadi, istri dan anak-anak, agar engkau tambah bersemangat dalam menggapai rezeki dan karunia dari Allâh.

Wallâhu a’lam.


Footnote
[1]  Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm 1/610.
[2]  Subulus Salâm, 3/414. Kutipan dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyatu al-Muyassarah fii Fiqhil Kitâbi was Sunnatil Muthahharah 5/180.
[3]  Zâdul Ma’âd, 5/448.

Tidak ada komentar