Ancaman Keras Untuk Perbuatan Meminta-minta
Ancaman Keras Untuk Perbuatan Meminta-minta
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang senantiasa suka meminta-minta kepada orang lain hingga pada hari kiamat dia datang dalam keadaan wajahnya tidak berdaging.” (HR. Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040, 104)
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Siapa yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya, apakah yang diterimanya sedikit atau banyak.” (HR. Muslim no. 1041)
Kandungan hadis
Kandungan pertama, dalam dua hadis di atas terdapat dalil haramnya meminta-minta (mengemis) kepada orang lain atau meminta sedekah kepada mereka tanpa ada kebutuhan. Terdapat ancaman keras bagi orang-orang yang meminta-minta kepada orang lain, padahal dia bukanlah orang fakir atau sedang dalam kondisi butuh. Dia meminta-minta hanyalah untuk memperbanyak dan menumpuk harta benda. Pada hari kiamat, dia akan mendapatkan hukuman dalam bentuk didatangkan dalam kondisi wajahnya yang tidak memiliki sekerat daging. Hal ini karena balasan itu setimpal dengan perbuatan. Ketika wajahnya dulu disorongkan untuk meminta-minta dan menghadap ke orang lain ketika meminta-minta, maka hukuman pun ditimpakan atas wajahnya.
Hal ini juga sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis kedua yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, yaitu siapa saja yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk dan memperbanyak harta kekayaan. Pada hakikatnya, yang dia kumpulkan adalah bara api yang akan digunakan untuk menghukumnya pada hari kiamat, karena yang dia kumpulkan adalah harta yang haram. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Sama saja halnya, apakah yang diterimanya sedikit atau banyak” adalah dalam rangka memberikan ancaman (tahdid).
Kandungan kedua, dapat dipahami dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “untuk menumpuk kekayaan”, bahwa orang yang meminta-minta karena fakir atau karena ada kebutuhan tidaklah mengapa dan termasuk perbuatan yang mubah. Hal ini karena dia meminta haknya yang diizinkan oleh syariat, baik berupa meminta dari harta zakat, sedekah sunah, kafarah, atau yang lainnya.
Kandungan ketiga, Islam mengharamkan perbuatan meminta-minta dan menjadikan perbuatan tersebut sebagai profesi atau pekerjaannya. Padahal dia tidak membutuhkan itu, baik karena dia sudah memiliki harta, atau karena mempunya aset yang menghasilkan dan itu sudah mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, atau dia bisa bekerja atau berdagang jika memang memiliki kemampuan.
Perbuatan meminta-minta ketika tidak ada kebutuhan itu hanya akan menimbulkan pengaruh yang jelek dan kerusakan yang besar bagi jiwa kita, di antaranya:
Pertama, perbuatan tersebut adalah bentuk kehinaan dan meruntuhkan kemuliaan dan harga diri seseorang. Perbuatan meminta-minta juga menghilangkan rasa malu, meskipun ketika meminta dia diberi. Lalu, bagaimana jika ditolak atau tidak diberi?
Kedua, perbuatan meminta-minta tersebut akan mencegah orang-orang yang masih memiliki kekuatan fisik dan akal pikiran untuk bekerja keras dan berinovasi yang dapat memberikan manfaat atau maslahat untuk masyarakat secara umum.
Ketiga, perbuatan meminta-minta itu adalah sarana penipuan dan kebohongan. Hal ini karena si peminta-minta biasanya akan berdandan seperti orang yang sangat miskin (pakaian compang camping atau robek), atau dia menunjukkan seolah-olah dia sedang sakit parah dan kondisinya mengenaskan. Dia melakukan itu dengan tujuan agar orang lain merasa kasihan dengan kondisinya dan pada akhirnya memberikan harta kepadanya. Padahal itu semua adalah kebohongan dan tipuan semata.
Keempat, perbuatan tersebut sama saja mengingkari nikmat Allah kepada dirinya. Karena dia menampakkan diri seolah-olah sebagai orang fakir dan tidak punya apa-apa. Dia mengingkari nikmat Allah dengan menampakkan kesusahan. Sedangkan seorang hamba dituntut untuk menampakkan nikmat Allah yang dianugerahkan kepada dirinya.
Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan yang hina ini. Dia mendidik dirinya sendiri untuk memiliki cita-cita dan harapan yang tinggi, serta menjaga kemuliaan dan kehormatan dirinya. Dia tidak menjerumuskan dirinya ke dalam perbuatan tercela ini, yaitu mengemis atau meminta-minta, padahal dia masih mampu untuk bekerja. Dan hendaknya seseorang bersyukur kepada Rabbnya ketika dia mendapatkan nikmat berupa badan yang sehat, fisik yang sempurna, dan anggota badan yang masih kuat bekerja. Hendaklah dia menyibukkan dirinya dalam berbagai hal yang bermanfaat.
Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
***
Post a Comment