Keutamaan 10 Hari Bulan Dzul Hijjah
Keutamaan 10 Hari Bulan Dzul Hijjah
Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan hari-hari yang paling utama dibanding dengan hari-hari yang lainnya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaksi bahwa sepuluh hari tersebut adalah hari-hari yang paling utama di dunia, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menganjurkan untuk memperbanyak amalan shâlih pada hari-hari tersebut. Semua amalan shâlih yang dikerjakan pada sepuluh hari ini lebih dicintai oleh Allâh dari pada amalan-amalan shalih yang dikerjakan pada selain hari-hari tersebut. Ini menunjukkan betapa utamanya amalan shâlih pada hari tersebut dan betapa banyak pahalanya. Amalan-amalan shâlih yang dikerjakan pada sepuluh hari tersebut akan berlipat ganda pahalanya, tanpa terkecuali.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ، يَعْنِيْ أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ.
“Tidak ada hari dimana suatu amal shâlih lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla melebihi amal shâlih yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah)“. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh, termasuk lebih utama dari jihad di jalan Allâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk lebih utama dibanding jihad di jalan Allâh, kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad) dan tidak ada satu pun yang kembali (ia mati syahid)”.[1]
Dalam lafazh lain:
مَامِنْ عَمَلٍ أَزْكَى عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا أَعْظَمَ أَجْرًا مِنْ خَيْرٍ يَعْمَلُهُ فِيْ عَشْرِالْأَضْحَى. قِيْلَ : وَلَاالْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ : وَلَاالْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ.
“Tidak ada amalan yang lebih suci di sisi Allâh Azza wa Jalla dan lebih besar pahalanya dari pada kebaikan yang dilakukan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah”. Lalu ada yang bertanya, “Termasuk jihad di jalan Allâh?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla , kecuali seseorang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad) dan tidak ada satu pun yang kembali (ia mati syahid)”.[2]
Di antara keutamaan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah ini yaitu:
- Bahwa Allâh bersumpah dengan sepuluh hari tersebut dalam firman-Nya,
وَالْفَجْرِ ﴿١﴾ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Demi fajar, demi malam yang sepuluh. [al-Fajr/89:1-2].
Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu az-Zubair, Mujahid, dan lainnya dari kalangan kaum Salaf dan Khalaf.[3]
- Sepuluh hari tersebut termasuk hari-hari yang ditentukan, yang padanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk banyak bertasbîh, bertahlîl, dan bertahmîd. Allâh Ta’ala berfirman:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
…dan agar mereka menyebut nama Allâh pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rizki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak… [al-Hajj/22:28].
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata, “Hari-hari itu adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah”. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir secara marfu’ bahwa ini (hari yang dimaksud) adalah sepuluh hari yang disumpah oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya, وَالْفَجْرِ ﴿١﴾ وَلَيَالٍ عَشْرٍ (Demi fajar, demi malam yang sepuluh) –(al-Fajr/89 ayat 1 dan 2.)[4]
- Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaksi bahwa sepuluh hari tersebut termasuk hari-hari yang paling utama di dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا أَيَّامُ الْعَشْرِ، يَعْنِي : عَشْرَذِيْ الْحِجَّةِ، قِيْلَ : وَلَامِثْلُهُنَّ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ : وَلَامِثْلُهُنَّ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِيْ التُّرَابِ.
“Hari-hari yang paling utama di dunia ini yaitu hari yang sepuluh, yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah”. Dikatakan kepada beliau, “Termasuk lebih utama dari jihad dijalan Allah?” Beliau menjawab, “Termasuk lebih utama dari jihad di jalan Allah. Kecuali seseorang yang menutup wajahnya dengan debu (mati syahid-pent)”.[5]
- Di dalamnya terdapat hari Arafah, yang merupakan hari yang terbaik. Dan ibadah haji tidak sah apabila tidak wukuf di ‘Arafah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْحَجُّ عَرَفَةُ.
Haji itu wukuf di Arafah.[6]
- Di dalamnya terdapat hari penyembelihan qurban.
- Pada sepuluh hari tersebut, terkumpul pokok-pokok ibadah yaitu shalat, puasa, sedekah, haji, yang tidak terdapat pada hari-hari selainnya.
AMAL-AMAL SUNNAH PADA BULAN DZULHIJJAH
Tentu banyak dari kita yang telah mengetahui bahwa di hari raya ini, ummat Islam menyembelih qurbannya dalam rangka ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla. Akan tetapi, bagi kaum Muslimin, sesungguhnya hari raya ini tidak sekedar mengumandangkan takbîr dan pergi untuk shalat ‘Ied, kemudian menyembelih qurban, lalu dimasak menjadi makanan yang lezat. Ada hal-hal lain yang perlu dilakukan, sehingga hari raya ini penuh makna dalam usaha kita meraih pahala dan ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla . Semoga hari raya tahun ini menjadi hari raya yang lebih baik dengan amalan-amalan Sunnah yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di dalam hadits di atas, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amal-amal shâlih pada sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah lebih utama dari amal-amal shâlih di bulan lainnya. Yang termasuk dari amal-amal shâlih sangatlah banyak, di antaranya :
- Berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah.
Mulai dari awal bulan Dzulhijjah, ternyata telah ada amalan yang disunnahkan untuk kita kerjakan. Diriwayatkan dari sebagian isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ تِسْعَ ذِىْ الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرِ، وَأَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيْسَ.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari bulan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, tiga hari pada setiap bulan, dan hari Senin pertama awal bulan serta hari Kamis.[7]
Hadits ini menganjurkan kita berpuasa pada tanggal satu sampai sembilan Dzulhijjah. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Adapun hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha berikut ini:
مَارَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِيْ الْعَشْرِ قَطٌّ
Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.[8]
Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang dua hadits yang bertentangan ini, “Bahwasanya yang menetapkan (puasa pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah) lebih didahulukan dari pada yang menafikan…”[9]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sepuluh hari tersebut, mungkin beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa karena suatu sebab, seperti sakit, safar, atau selainnya. Atau ‘Aisyah Radhiyallahu anha memang tidak melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari-hari tersebut. Tetapi tidak melihatnya ‘Aisyah Radhiyallahu anha tidak mesti menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa. Dan ini ditunjukkan oleh hadits yang pertama…”[10]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Bahwasanya itu merupakan pengabaran dari ‘Aisyah tentang apa yang ia ketahui. Dan perkataan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam didahulukan atas sesuatu yang tidak diketahui oleh perawi. Imam Ahmad rahimahullah telah merajihkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari tersebut. Jika hadits tersebut ditetapkan, maka tidak ada masalah, dan jika tidak ditetapkan, sesungguhnya puasa pada sepuluh hari tersebut masuk dalam keumuman amalan shâlih yang dikatakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidak ada hari dimana suatu amal shâlih lebih dicintai Allâh melebihi amal shâlih yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah)‘. Dan puasa termasuk dalam amalan shâlih”.[11]
- Puasa ‘Arafah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ ، وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ…
Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap kepada Allâh, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya….[12]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika ditanya tentang puasa hari ‘Arafah:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ.
… menghapuskan (dosa) setahun sebelumnya dan setahun setelahnya… [13]
Puasa ini dikenal pula dengan nama puasa Arafah karena pada tanggal tersebut orang yang sedang menjalankan haji berkumpul di Arafah untuk melakukan runtutan amalan yang wajib dikerjakan pada saat berhaji yaitu ibadah wukuf.
Pendapat jumhur ulama bahwa dosa-dosa yang dihapus dengan puasa Arafah ini yaitu dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka wajib baginya taubat. Pendapat mereka dikuatkan dengan perkataan mereka: Karena puasa Arafah tidak lebih kuat dan lebih utama dari shalat wajib yang lima waktu, shalat Jum’at, dan Ramadhan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَابَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ.
Shalat yang lima waktu, shalat Jum’at sampai ke Jum’at berikutnya, Ramadhan sampai ke Ramadhan berikutnya, itu menghapus (dosa-dosa) di antara keduanya, selama dia menjauhi dosa-dosa besar.[14]
Mereka berkata: “Jika ibadah-ibadah yang agung dan mulia tersebut yang termasuk dari rukun-rukun Islam tidak kuat untuk menghapuskan dosa-dosa besar, maka puasa Arafah yang sunnah ini lebih tidak bisa lagi”. Inilah pendapat yang râjih.[15]
- Takbiran
Ketahuilah, bahwa disyari’atkan bertakbir, bertahmid dan bertahlil pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfu’:
مَامِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللهِ Dاَلْعَمَلُ فِيْهِنَّ مِنْ عَشْرِ ذِيْ الْحِجَّةِ، فَعَلَيْكُمْ بِالتَّسْبِيْحِ وَالتَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ.
Tidak ada hari-hari yang amal shâlih lebih dicintai oleh Allâh dari pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Maka hendaklah kalian bertasbih, bertahlil, dan bertakbir.[16]
Disyari’atkan juga bertakbir setelah shalat Shubuh pada hari Arafah sampai akhir hari tasyriq, yaitu dengan takbir:
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِله الْحَمْدُ.
Allâh Maha Besar, Allâh Maha Besar, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh, Allâh Maha Besar. Allâh Maha Besar, dan bagi Allâh-lah segala puji.
- Memperbanyak amal shâlih dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla
Yaitu dengan memperbanyak shalat-shalat sunnah, sedekah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, bertaubat kepada Allâh dengan sebenar-benarnya, memperbanyak dzikir kepada Allâh, bertakbir, membaca al-Qur`ân, dan amalan-amalan shâlih lainnya. Sedekah dianjurkan setiap hari, maka pada hari-hari ini lebih sangat dianjurkan lagi, begitu juga ibadah-ibadah yang lain.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata:
…كَانَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ إِذَا دَخَلَ أَيَّامَ الْعَشْرِ، اِجْتَهَدَ اِجْتِهَادًا شَدِيْدًا حَتَّى مَايَكَادُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ.
… Bahwa Sa’id bin Jubair jika memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, ia sangat bersungguh-sungguh sampai-sampai dia hampir tidak mampu melakukannya.[17]
- Haji dan Umrah
Allâh Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
… kewajiban bagi manusia kepada Allâh, berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan… [Ali ‘Imrân/3:97].
Haji dan Umrah adalah salah satu ibadah yang paling mulia dan sarana taqarrub (pendekatan diri) kepada Allâh yang paling afdhal. Di antara keutamaan haji dan umrah adalah:
Barangsiapa yang berhaji dan umrah ke Baitullâh, dia tidak berkata kotor, berbuat kefasikan, maka akan kembali seperti baru dilahirkan oleh ibunya.
Antara dua umrah menghapuskan dosa di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya surga.
Haji menghapus dosa-dosa sebelumnya.
Haji mabrur termasuk seutama-utama amal setelah jihad fî sabîlillâh.
Haji dan umrah menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa.
Jihad yang paling bagus dan paling utama adalah haji yang mabrur.
Orang yang haji dan umrah adalah tamu Allâh.
Do’a orang yang haji dan umrah dikabulkan oleh Allâh.
Orang yang meninggal dunia ketika pergi melaksanakan haji dan umrah, akan dicatat baginya pahala umrah sampai hari Kiamat.
Orang yang meninggal ketika dalam keadaan ihram, akan dibangkitkan di hari Kiamat dalam keadaan membaca talbiyah.[18]
- ‘Idul Adh-ha
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Dua hari apakah ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman Jahiliyyah,’ kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ.
Sesungguhnya Allâh telah memberikan ganti kepada kalian dua hari yang lebih baik; ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha.[19]
7. Berqurban
Di antara amal taat dan ibadah yang mulia yang dianjurkan adalah berqurban. Qurban adalah hewan yang disembelih pada hari raya ‘Idul Adh-ha berupa unta, sapi dan kambing yang dimaksudkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Laksanakanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban. [al-Kautsar/108:2].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.
Barang siapa yang memiliki kelapangan namun ia tidak berqurban maka jangan mendekati masjid kami.[20]
Sebagian ulama berpendapat dengan dasar hadits di atas, bahwa hukum menyembelih binatang qurban bagi seseorang adalah wajib bagi yang mampu.
‘Atha` bin Yasar bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari: “Bagaimana penyembelihan qurban pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّيْ بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُوْنَ وَيُطْعِمُوْنَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ،فَصَارَتْ كَمَا تَرَى
Seseorang berqurban dengan seekor kambing untuk diri dan keluarganya. Kemudian mereka memakannya dan memberi makan orang-orang sampai mereka berbangga. Maka jadilah seperti yang engkau lihat”.[21]
Barangsiapa yang berqurban untuk diri dan keluarganya maka disunnahkan ketika menyembelih mengucapkan:
بِاسْمِ الله ، وَالله أَكْبَرُ ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ ، اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّيْ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِيْ.
Dengan nama Allâh, dan Allâh Maha Besar, Ya Allâh, terimalah (qurban) dariku, ya Allâh, ini dariku dan dari keluargaku.
Disunnahkan bagi orang yang berqurban agar menyembelih sendiri. Jika tidak mampu maka hendaklah ia menghadiri, dan tidak diperbolehkan memberikan upah bagi tukang jagal dari hewan kurban tersebut.
Kemudian, juga tidak memotong rambut dan kuku bagi yang berqurban. Seseorang yang ingin berqurban, dilarang memotong kuku atau rambut dirinya (bukan hewannya) ketika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah sampai ia memotong hewan qurbannya.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أَهَلَّ هِلَالَ ذِيْ الْحِجَّةِ، فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّي.
Barangsiapa yang memiliki hewan yang hendak dia sembelih (pada hari raya), jika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah maka janganlah memotong (mencukur) rambutnya dan kukunya sedikitpun, sampai dia menyembelih qurbannya.[22]
Wallâhu a’lam.
Semoga Allâh Azza wa Jalla selalu melimpahkan shalawat, salam dan berkah-Nya kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beserta keluarga serta para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik sampai hari Kiamat.
***
Footnote
[1] Shahîh: HR al-Bukhâri (no. 969), Abu Dâwud (no. 2438), at-Tirmidzi (no. 757), Ibnu Mâjah (no. 1727), ad-Dârimi (II/25), Ibnu Khuzaimah (no. 2865), Ibnu Hibbân (no. 324, at-Ta’lîqâtul-Hisân), at-Thahawy dalam Syarh Musykilil Âtsâr (no. 2970), Ahmad (I/224, 339, 346)), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 1125), Abu Dâwud ath-Thayâlisi dalam Musnad-nya (no. 2753), Abdurazzaq dalam al-Mushannaf (no. 8121), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 19771), al-Baihaqi (IV/284), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12326-12328), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu.
[2] Shahîh: HR ad-Dârimi (II/26), ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil-Âtsâr (no. 2970), dan al-Baihaqi dalam Syu’abul- Îmân (no. 3476), dari Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu.
[3] Tafsîr Ibni Katsîr (VIII/390), Cet. Dâr Thaybah.
[4] Tafsîr Ibni Katsîr (V/415), Cet. Dâr Thaybah.
[5] Hasan: HR al-Bazzar dalam Kasyful-Astâr (II/28, no. 1128). Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh at-Targhîb wat–Tarhîb (no. 1150).
[6] Shahîh: HR at-Tirmidzi (no. 889), dan lainnya.
[7] Shahîh: HR Abu Dawud (no. 2437).
[8] Shahîh: HR Muslim (no. 1176).
[9] Asy-Syarhul-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’ (VI/470).
[10] Syarh Shahîh Muslim (VIII/71).
[11] Fatâwâ Fadhîlati asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin fiz Zakâti wash-Shiyâmi (I/792, no. 401)
[12] Shahîh: HR Muslim (no. 1162 (196)).
[13] Shahîh: HR Muslim (no. 1162 (197)).
[14] Shahîh: HR Muslim (no. 233).
[15] Fat-hu Dzil-Jalâli wal-Ikrâm (VII/356). Lihat juga Tas-hîlul-Ilmâm (III/241) dan Taudhîhul-Ahkâm (III/530-531).
[16] HR Abu ‘Utsman al-Buhairi dalam al-Fawâ-id. Lihat Irwâ-ul Ghalill (III/398-399).
[17] HR ad-Darimi (II/26).
[18] Selengkapnya silakan lihat buku penulis, Panduan Manasik Haji dan Umrah, Cet. 4, Pustaka Imam asy-Syafi’i.
[19] Shahîh: HR Ahmad (III/103, 178, 235, 250), Abu Dawud (no. 1134), an-Nasa-i (III/179-180), ‘Abd bin Humaid (no. 1390), dan ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil-Âtsâr (IV/131, no. 1488), al-Hakim (I/294), al-Baihaqi (III/277), dan al-Baghawi (no. 1098), dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhu
[20] Hasan: HR Ahmad (I/321), Ibnu Majah (no. 3123), dan al-Hakim (no. 389), dari Sahabat Abu Hurairah I . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrîj Musykilatil-Faqr (no. 102) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (I/629, no. 1087).
[21] Shahih: HR at-Tirmidzi (no. 1505) dan Ibnu Majah (no. 3147). Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 1142) dan Shahîh Ibni Majah (II/203).
[22] Shahîh: HR Muslim (no. 1977).
***
Post a Comment