Asal Usul Gelar 'Haji' Dan Hukum Memakainya

Asal Usul Gelar 'Haji' Dan Hukum Memakainya 

Bagi penduduk Indonesia, ibadah haji merupakan ibadah yang sangat mulia dan begitu sakral. Mengapa tidak, untuk berangkat menunaikan rukun Islam kelima ini seseorang harus merogoh kocek yang cukup besar, sehingga tidak semua orang bisa menjalankannya. Menariknya, umat muslim Indonesia yang baru saja pulang dari tanah suci untuk berhaji akan mendapatkan gelar “Haji” laki-laki dan “Hajjah” bagi perempuan di depan namanya.

Faktanya, gelar ini hanya dikenal ramai digunakan di Indonesia saja, negara lain tidak. Lebih jauh, jika kita menelusuri dari perspektif sejarah, pemberian gelar ini awal kali dikenal di era kolonial Belanda di awal tahun 1900-an. Kaum muslimin yang pulang dari tanah suci adalah orang-orang yang diwaspadai oleh pihak Belanda bisa memberontak terhadap mereka.

Dahulu orang berhaji tidak hanya sebulan, tetapi bisa berbulan-bulan, hal ini biasanya menjadi momentum untuk bertukar pikiran, wawasan, dan paham dengan berbagai kaum muslimin dari seluruh dunia. Saat itu di antara semangat yang tersebar di seluruh dunia Islam adalah semangat untuk terbebas dari kungkungan penjajah dan imperialisme bangsa barat. Atas dasar hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1916 mulai menyematkan gelar Haji kepada mereka yang pulang dari tanah suci, dalam rangka untuk pencatatan agar mudah diawasi gerakannya.

Dari perspektif syariat, memakai gelar seperti ini tidak sepenuhnya terlarang karena termasuk dalam bagian urf (tradisi) sehingga bisa berbeda-beda tergantung latar belakang masyarakat. Hanya saja pemakaian gelar ini untuk diperkenalkan ke masyarakat perlu berhati-hati, karena dikhawatirkan bisa menodai keikhlasannya dan demi menjaga hatinya dari kesombongan. Terlebih ada sebagian fenomena lucu, ada orang yang tidak mau noleh jika tidak dipanggil Pak Haji atau Bu Hajjah.

Akan sangat disayangkan jika ibadah yang begitu sakral ini, rela antri bertahun-tahun, menabung sekian tahun, tetapi tak diterima oleh Allah karena riya’ atau ujub. Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ ، تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

“Aku adalah sekutu yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang dicampuri dengan perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (Aku tidak terima) amal kesyirikannya.” (HR Muslim, no. 2985)

Oleh karena itu, kami menyarankan lebih baik meninggalkan penyematan gelar semacam ini. Selain menjaga keikhlasan, hal ini juga belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga di zaman generasi terbaik setelahnya. Lajnah Daimah pernah mengeluarkan fatwa yang berbunyi,

أما مناداة من حج بـ: (الحاج) فالأولى تركها؛ لأن أداء الواجبات الشرعية لا يمنح أسماء وألقابا، بل ثوابا من الله تعالى لمن تقبل منه، ويجب على المسلم ألا تتعلق نفسه بمثل هذه الأشياء، لتكون نيته خالصة لوجه الله تعالى

Panggilan “Haji” bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan, karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar. Namun cukuplah pahala dari Allah bagi mereka yang amalnya diterima. Wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan hal semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah. (Fatwa Lajnah Daimah, 26/384)

Akan tetapi, boleh jadi dalam sebagian kondisi penyematan gelar ini mengundang maslahat yang lebih besar, seperti perkataan seorang Dai/Ustadz menjadi lebih didengarkan karena gelar Haji pada namanya. Dalam hal semacam ini hukumnya longgar, dengan tetap berupaya untuk menjaga keikhlasan dalam hatinya.

Tidak ada komentar