Hukum Mengkonsumsi Ular Untuk Pengobatan
Hukum Mengkonsumsi Ular Untuk Pengobatan
Ular, yang dalam istilah fikih biasa disebut الثُعْبَان atau الحَيَّة atau الأَفْعَى merupakan kelompok reptilia tidak berkaki dan bertubuh panjang yang tersebar luas di dunia. Dia merupakan hewan melata berdarah dingin dari subordo Serpentes dalam ordo Squamata. Ular memiliki tubuh memanjang yang ditutupi sisik, tidak memiliki kaki-tangan, telinga eksternal, dan kelopak mata, tetapi memiliki tonjolan pada tubuhnya yang diyakini sebagai sisa dari anggota tubuh yang telah hilang. [1]
Hukum memakan ular
Mayoritas para imam, yaitu Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah sepakat bahwa memakan ular itu haram.
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahulllah mengatakan,
(فرع) في مذاهب العلماء في حشرات الأرض كالحيات والعقارب والجعلان وبنات وردان والفار ونحوها
مذهبنا أنها حرام وبه قال أبو حنيفة وأحمد وداود
“(Bab tentang pendapat para ulama dalam hal memakan hasyarat darat, seperti: ular, kalajengking, kumbang, lipan, tikus, dan sejenisnya). Kami (Syafi’iyyah) berpendapat bahwasanya semua hewan tersebut haram. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Dawud rahimahumullah.” [2]
Alasan haramnya memakan ular
Haramnya memakan ular, berdasarkan beberapa alasan berikut, yang jika ditemukan satu saja dari alasan-alasan tersebut, maka hukumnya haram.
Pertama: Ular termasuk khaba’its (hewan menjijikkan)
Allah Ta’ala berfirman,
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157)
Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah tentang hukum memakan ular,
حُرْمَة، لأَِنَّ الحية تُعَدُّ مِنَ الْخَبَائِثِ لِنُفُورِ الطَّبَائِعِ السَّلِيمَةِ مِنْهَا. وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ والشافعية والحنابلة
“… haram, karena ular dianggap sebagai hewan yang menjijikkan menurut tabiat yang sehat. Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.” [3]
Kedua: Ular diperintahkan untuk dibunuh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خمسٌ فواسقُ يُقتَلْنَ في الحِلِّ والحَرَمِ : الحيةُ والفأرةُ والغرابُ الأبقعُ والكلبُ والحِدَأَةُ
“Lima jenis hewan jahat yang boleh dibunuh di tanah halal maupun di tanah haram: ular, tikus, burung gagak yang belang, anjing liar, dan burung elang.” (Sahih, diriwayatkan oleh Ibnu Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir, 9: 373) [4]
Dan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
وكان يأمرُ بقتلِ الحياتِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh ular.” (HR. Abdurrazzaq dan selainnya, sanadnya sahih) [5]
Perintah beliau untuk membunuh hewan-hewan tersebut, terdapat indikasi tentang keharaman memakan mereka. Karena jika mereka termasuk yang boleh dimakan, beliau pasti memerintahkan untuk menyembelih mereka sesuai dengan aturan penyembelihan yang berlaku. Karena beliau memerintahkan untuk membunuh mereka dan pembunuhan itu dilakukan bukan dengan cara penyembelihan, maka terbukti bahwa mereka tidak boleh dimakan. [6]
Ketiga: Ular termasuk hewan buas yang memiliki taring
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring. Dalam suatu hadis,
أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ نَهَى عن أكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)
Lajnah Da’imah mengatakan, ketika ditanya tentang hukum memakan ular (fatwa no. 2586). Di antara jawaban mereka,
لا يجوز أكل الفيران والثعابين والحنش السام والقردة؛ لأن جنسها مما يفترس بنابه، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن أكل كل ذي ناب من السباع ولأنها مستخبثة، وقد قال تعالى في بيان صفة النبي صلى الله عليه وسلم: {وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} (سورة الأعراف الآية 157)
“Tidak boleh memakan tikus, ular, ular berbisa, dan monyet, karena jenisnya termasuk hewan buas yang memiliki taring, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakan setiap hewan buas yang memiliki taring. Selain itu, mereka dianggap sebagai hewan yang menjijikkan (khaba’its), dan Allah Ta’ala berfirman dalam menjelaskan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya), ‘Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khaba’its).’ (QS. Al-A’raf: 157).” [7]
Hukum memakan atau meminum darah ular
Kita telah mengetahui hukum memakan (daging) ular dalam pembahasan sebelumnya, yaitu haram. Maka, perlu diketahui bahwa memakan atau meminum darah ular (yang mengalir ketika penyembelihan) lebih diharamkan.
Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak rahimahullah mengatakan,
وقد دل على تحريمه آيات قَرَنَ الله تحريمَه فيها بالميتة ودم الخنزير، فالدم من أشد المطاعم تحريماً، كما قال سبحانه وتعالى: {قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ} [الأنعام: 145]
“Ayat-ayat yang menunjukkan keharamannya (darah yang mengalir ketika penyembelihan) adalah yang Allah gabungkan pengharamannya dengan bangkai dan darah babi. Darah termasuk makanan yang paling diharamkan, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Katakanlah, ‘Tidak kudapati dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al-An’am: 145)” [8]
Larangan memakan bagian ular untuk pengobatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pengobatan dengan benda haram, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Abu Darda radhiyallaahu ‘anhu,
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً ، فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan Dia menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Maka, berobatlah, tetapi jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud no. 3874, disahihkan oleh Al-Albani)
Dalam hal pengobatan dengan bagian ular, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
التِّرْيَاقُ: دواءٌ يُتَعالَجُ به من السَّمِّ، ويُجْعَلُ فيه من لُحومِ الحَيَّاتِ، فلا يُباحُ أَكْلُه ولا شُرْبُه؛ لأنَّ لحمَ الحَيَّةِ حَرامٌ
“Tiryak adalah obat yang digunakan untuk mengobati racun, dan di dalamnya terdapat daging ular. Maka, tidak diperbolehkan untuk memakannya atau meminumnya karena daging ular adalah haram.” [9]
Demikian pula fatwa dari Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia. Mereka pernah ditanya,
“Ada seorang pria yang menggunakan ular untuk pengobatan, dan dia mengklaim bahwa itu diperbolehkan karena keadaan dan darurat. Cara penggunaannya terhadap ular adalah dia menangkapnya dan memasukkannya ke dalam panci berisi lemak sapi yang mendidih sementara ular tersebut masih hidup, dan panci tersebut mendidih di atas api. Setelah itu, dia mengobati dengan lemak sapi yang telah dimasak bersama ular tersebut, dan yang menggunakannya merasakan sedikit mabuk. Apakah diperbolehkan mengobati dengan lemak sapi ini jika terbukti bermanfaat untuk penyakit, dan apakah diperbolehkan memasukkan ular ke dalam lemak sapi yang mendidih di atas api?”
Mereka menjawab,
“Pertama: Tidak diperbolehkan memasukkan hewan yang masih hidup ke dalam cairan yang mendidih karena itu menyiksa hewan, dan hal ini dilarang oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik.’ (HR. Muslim no. 1955)
Kedua: Tidak diperbolehkan mengobati dengan ular atau dengan lemak sapi yang telah dimasak bersama ular, karena ular tidak boleh dimakan menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama. Selain itu, bangkai ular adalah najis. Mengobati dengan sesuatu yang haram adalah haram.” [10]
Kesimpulannya: Tidak diperbolehkan memakan daging ular, baik untuk pengobatan maupun untuk tujuan lainnya. Dalam makanan dan obat-obatan yang telah dihalalkan oleh Allah Ta’ala, terdapat cukup pengganti dari yang haram. [11]
Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai hukum memakan ular menurut pandangan Islam. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua.
Referensi utama:
“Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab” oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i
“Al-Mughni” oleh Ibnu Qudamah
“Ahkamul Qur’an” oleh Al-Jashshash
“Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah” (Ensiklopedia Fiqh Kuwait)
“Fatawa Lajnah Da’imah” (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia)
Catatan kaki:
[1] https://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%AB%D8%B9%D8%A8%D8%A7%D9%86
[2] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 9: 16.
[3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5: 144. Lihat juga diskusi tentang alasan ini dalam kitab Ahkamul Qur’an, 3: 26-27.
[4] https://dorar.net/hadith/sharh/124358
[5] https://dorar.net/hadith/sharh/81400
[6] Ahkamul Qur’an, 3: 26.
[7] Fatawa Lajnah Da’imah, Jilid 1, 22: 292.
[8] https://iswy.co/e4vd1 Selain itu, terdapat kaidah “Seluruh benda najis, haram dimakan”. Lihat: https://ar.islamway.net/fatwa/36961/
[9] Al-Mughni, 13: 342. Untuk pembahasan lebih rinci tentang Tiryak, lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 11:232-233.
[10] Fatawa Lajnah Da’imah, Jilid 1, 25: 25-26.
Post a Comment