Kapan Kita Harus Menceritakan Nikmat?
Kapan Kita Harus Menceritakan Nikmat?
Sosial media dengan segala praharanya. Pamer ini pamer itu. Niatnya untuk mensyukuri nikmat Allah padanya ataukah hanya pamer belaka, ingin dibilang kaya, ingin dibilang populer atau semacamnya. Sebagai penonton pun tak jarang tertimpa hasad di dalam diri. Apakah aku yang hasad terhadap nikmatnya, ataukah dia yang hanya ingin pamer?
Hati pun sakit ketika melihatnya jauh lebih unggul dalam masalah harta dan popularitas, apakah karena salah memperlihatkan nikmat kepada orang yang tak punya? Atau apakah hati yang berpenyakit hasad tak terima takdir Allah Sang Pemberi Nikmat?
Nikmat yang Allah ta’ala berikan tentu saja merupakan hal yang harus seorang muslim yang beriman syukuri. Namun, apakah syukur itu?
Apa itu Syukur?
Syukur secara bahasa adalah memuji orang yang berbuat baik, dan secara istilah adalah menampakkan nikmat Allah kepada hambaNya dan di hatinya bersaksi, raganya mematuhi dan mentaati dalam rangka memuji dan mengakui bahwa nikmat yang hamba peroleh adalah semata-mata dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam kitabnya, At-Tuhfah Al-‘Iraqiyyah menjelaskan tentang syukur. Seorang hamba bersyukur kepada Rabb ta’ala bisa dengan hati, lisan, dan badan. Dan cara untuk mensyukuri nikmat Allah ta’ala itu ada tiga macam,
1. Bersyukur dengan hati
Dengan mengakui keesaan peribadahan hanya untuk Allah semata, cinta dan kembali hanya kepadaNya, dan juga ibadah-ibadah hati yang lain yang disyariatkan. Dan peribadahan hati tersebut termasuk bersyukurnya hati kepada Allah ta’ala. Syukur hati ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam ketika sebagian sahabat bertanya kepadanya, “telah diturunkan (ayat) tentang emas dan perak, seandainya kami mengetahui harta yang terbaik, maka kami akan mengambilnya? Kemudian Nabi menjawab,
أفضله لسان ذاكرا و قلب شاكرا، و زوجة مؤمنة تعينه على إيمانه
“(Harta) yang terbaik adalah lisan yang senantiasa berzikir, hati yang senantiasa bersyukur, dan istri yang beriman yang senantiasa membantu suaminya di atas iman.” (HR. At-Tirmidzi No. 3019, sahih)
2. Bersyukur dengan lisan
Dengan memujiNya, mengucapkan “alhamdulillah”, dengan bertasbih, bertahlil, dan menceritakan nikmat Allah ta’ala disertai dengan mengakui bahwa nikmat tersebut semata-mata bermasalah dari Allah ta’ala. Ada yang mengatakan: Hakikat syukur adalah memuji orang yang memberi kebaikan dengan menyebut-nyebutkan kebaikannya.
3. Bersyukur dengan anggota badan
Dengan menggunakan badan ini untuk ketaatan kepada Allah tabaraka wa ta’ala dan menahan diri dari melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu ketika seorang ulama ditanya tentang syukur, beliau mengatakan: “Engkau tidak melakukan maksiat kepada Allah dengan menggunakan nikmatNya.”
Menceritakan Nikmat Allah Termasuk Bentuk Syukur
Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullahu ta’ala pun juga menjelaskan di dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin, bahwa bersyukur bisa dengan hati, lisan dan anggota badan. Adapun dengan hati, yaitu dengan meniatkan tujuan yang baik, dan lisan dengan menampakkan syukur dengan tahmid, dan anggota badan dengan menggunakan nikmat tersebut di dalam jalan ketaatan, dan berhati-hati agar tidak menggunakan nikmat tersebut dalam kemaksiatan. Contoh bersyukur dengan kedua mata adalah dengan menutupi aib yang ia lihat pada sesama muslim, bersyukur dengan kedua telinga adalah dengan menutupi telinganya dari aib yang ia dengar, dan ini merupakan contoh-contoh bersyukur dengan anggota badan.
Bersyukur dengan lisan adalah dengan menampakkan kesenangan tersebut dan inilah yang diperintahkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
التحدث بالنعمة: شكر، وتركها: كفر
“Menceritakan nikmat adalah syukur dan meninggalkan hal tersebut adalah pengingkaran.” (Hadis dari Abdullah bin Ahmad dalam Zawaa-id dalam Musnad. HR. Ahmad No. 177721, Shahih lighairihi)
Nikmat Apa yang Ditampakkan?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثفَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha: 11)
As-Sa’diy rahimahullah mengatakan di dalam tafsirnya tentang ayat ini, “ini mencakup nikmat-nikmat agama dan dunia. Yaitu pujilah Allah karena nikmat-nikmat itu dan sebutlah secara khusus jika memang hal itu ada maslahatnya. Bila tidak, sebutkan nikmat Allah secara mutlak (umum) karena menyebut-nyebut nikmat Allah bisa mendorong seseorang untuk mensyukurinya dan menimbulkan kesenangan bagi Yang memberi nikmat; karena hati memiliki tabiat mencintai orang yang berbuat baik padanya.
Ada Saatnya Nikmat itu Tidak Diceritakan
Terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Mu’jamnya
استعينوا على إنجاح الحوائج بالكتمان فإن كل ذي نعمة محسود
“Mintalah pertolongan kepada Allah atas kebutuhan tercapainya kesuksesanmu dengan merahasiakannya, karena setiap pemilik nikmat ada yang hasad padanya” (HR. Ath-Thabaraniy, disahihkan oleh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shahihah 3/439)
Syekh Shalih Al-Munajjid menjelaskan di dalam websitenya islamqa.info bahwa merahasiakan kebutuhan atas kesuksesan tersebut dilakukan sebelum terjadinya, jika Allah berikan nikmat kesuksesan yang ia inginkan itu padanya, maka sebutkanlah nikmat tersebut dengan cara bersyukur kepada Allah selama tidak dikhawatirkan tertimpa bahaya hasad orang lain.
Al-Munawi menjelaskan tentang bolehnya merahasiakan nikmat tersebut karena khawatir akan ada orang yang hasad. Allah ta’ala berfirman:
قَالَ یَـٰبُنَیَّ لَا تَقۡصُصۡ رُءۡیَاكَ عَلَىٰۤ إِخۡوَتِكَ فَیَكِیدُوا۟ لَكَ كَیۡدًاۖ إِنَّ ٱلشَّیۡطَـٰنَ لِلۡإِنسَـٰنِ عَدُوࣱّ مُّبِینٌ
“Dia (ayahnya Yusuf) berkata, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.’” (QS. Yusuf: 5)
Sebagian ulama menjelaskan apa maksud menceritakan nikmat, yaitu adalah dengan bersyukur, menampakkan dampak dari nikmat tersebut, jika Allah memberikan dia nikmat berupa harta, maka dia bersyukur dan bertambah sifat dermawannya, memperbanyak sedekah kepada orang yang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, inilah yang dimaksud menceritakan nikmat. Menceritakan nikmat bukanlah dengan menampakkan harta yang ia punya, memperbanyaknya, menceritakan kepada khalayak apa yang ia punya, dan ini bukan sesuatu yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam lakukan. Syekh Muhammad Abduh mengatakan, di antara kebiasaan orang-orang yang pelit adalah ia merahasiakan hartanya, tidak mau berderma dengan hartanya.
Kesimpulannya, pada asalnya menceritakan nikmat adalah ibadah karena merupakan bentuk rasa syukur, akan tetapi jika dikhawatirkan akan ada orang yang hasad, maka boleh merahasiakan hal tersebut. Allahu a’lam.
Referensi
- https://islamqa.info/amp/ar/answers/229863
- Tafsir As-Sa’diy
- Tuhfatul Al-Iraqiyyah fii A’malil Qalbiyyah, Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad Ibn Taimiyyah, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, Hal. 267, 272
- Mukhtashar Minhajul Qashidin, Al-Imam Ahmad Bin Muhammad Abdirrahman bin Qudamah Al-Maqdisiy, Al-Maktabah Al-Islamiy, Beirut, Hal. 345.
Post a Comment