Mengapa Begitu Sulit Melupakan Kesalahan Orang Lain?

Mengapa Begitu Sulit Melupakan Kesalahan Orang Lain?

Ketika sedang sendirian terkadang tiba-tiba muncul kenangan peristiwa lalu, entah itu kenangan baik maupun buruk. Salah satunya adalah kenangan yang mungkin sulit dilupakan ketika orang lain berbuat kesalahan kepada kita.

Ketika orang lain melakukan kesalahan, hendaklah dia memaafkan dan jangan membalas meskipun kita dalam keadaan mampu untuk membalasnya.

أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُم

Bukankah kalian senang apabila Allāh mengampuni dosa kalian.” (QS. An-Nur: 22)

Ayat tersebut menceritakan kisah Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi haditsul-ifk (berita dusta bahwa ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha selingkuh). Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An-Nur dengan mengatakan, “Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu, yaitu manakala beliau bersumpah tidak akan memberi apa-apa lagi kepada Misthah bin Utsatsah setelah terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka tatkala turun firman Allah ta’ala yang menyatakan kesucian umul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, hal tersebut melegakan semua orang dari kaum mukminin dan merasa bahagia serta tentram atasnya. Kemudian Allah ta’ala menerima taubat orang-orang yang ikut serta menyebarkan berita bohong tersebut dari kalangan mukminin. Dan memerintahkan supaya ditegakan hukuman bagi mereka sebagai balasannya.

Atas anugerah dan keutamaan yang Allah ta’ala berikan pada Abu Bakar yang biasa menyambung kekerabatan bersama sanak keluarga dan kerabat, diantara mereka ada yang bernama Misthah bin Utsatsah anak dari bibinya yang merupakan seorang yang fakir yang tidak mempunyai harta. Ketika itu dirinya terlibat di dalam menyiarkan berita bohong tersebut dan telah bertaubat serta ditegakan hukuman cambuk baginya.

Sedangkan Abu Bakar adalah orang yang terkenal dengan kedermawanannya, beliau banyak membantu pada sanak kerabat dan juga orang lain. Maka tatkala turun firman Allah tabaraka wa ta’ala:

أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُم وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

Bukankah kalian senang apabila Allāh mengampuni dosa kalian? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)

Berdasarkan ayat di atas, balasan yang mereka lakukan setimpal dengan perbuatannya. Karena balasan sesuai dengan kadar amal perbuatan. Sebagaimana kamu memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, begitu pula Allah akan memaafkanmu. Sebagaimana engkau berlapang dada atas kesalahannya, demikian pula engkau akan diberi kelapangan.

Maka tatkala mendengar hal tersebut Abu Bakar langsung mengatakan, “Tentu, demi Allah kami menyukai Engkau mengampuni kami Duhai Rabb kami”. Kemudian beliau kembali untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhan kerabatnya yang bernama Misthah. Dan beliau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan mencabut sedekah untuknya selama-lamanya. Demi Allah, aku tidak akan menuntut balas pamrih darinya selama-lamanya”.

Ibnu Katsir mengomentari ucapan Abu Bakar tadi dengan mengatakan, “Oleh karena itulah dirinya dijuluki ash-Shidiq karena kejujuran dan keimanannya”.

Orang yang memaafkan manusia adalah sifat yang mulia, memiliki kesabaran bahkan bukan hanya sabar dia juga memaafkan,melupakan dan tidak mau membalas kejelekan orang lain maka dia mendapatkan pahala. Allah ta’ala berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa yang memaafkan dan memperbaiki mendamaikan maka pahalanya adalah atas Allāh.” (QS. Asy-Syuraa: 40)

Kita memaafkan orang-orang yang ada di sekitar kita, memaafkan anak, memaafkan istri, memaafkan suami, memaafkan orang tua, memaafkan tetangga. Kita bergaul dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari dan pasti di sana ada perkara yang tidak baik yang mungkin muncul dari kita maupun dari mereka. Maka kita sebagai seorang muslim/muslimah hendaklah pandai dalam memaafkan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu,maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taghābun: 14)

Kita memaafkan kesalahan mereka dan jangan kita ikut terbawa dengan kelakuan mereka atau ucapan mereka sehingga kita mudah melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kelakuan dan juga ucapan mereka. Kita gabungkan antara dua perkara yaitu tetap kita istiqamah di atas ketaatan kepada Allāh dan kita memaafkan. Kita maafkan dan kita lupakan dan terus kita istiqomah. Kita bersabar dengan ucapan dan perilaku mereka, ini sikap seorang muslim dan dia berakhlak yang baik.

Berusaha taghaful yakni melupakan kesalahan saudara kita dan tidak mengingat-ingatnya. Tak lupa senantiasa berdoa kepada Allah agar senantiasa diberi kelapangan dada untuk memaafkan kesalahan orang lain.

***

Tidak ada komentar