Berdiam di Masjid


Berdiam di Masjid

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ، وفيه: وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى

“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita yang sedang haid menjahui tempat shalat” (muttafaq alaih).


Jima’ (Bersenggama)

Diharamkan bagi suami melakukan jima’ dengan istrinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi istri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta'ala:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: “haid itu suatu kotoran: oleh sebab itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…" (QS. Al Baqarah: 222).

Yang dimaksud dengan “المحيض " dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluarnya darah haid, yaitu: farji (vagina).

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اصْنِعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (yakni: bersenggama).” (HR. Muslim).

Umat Islam juga telah sepakat bahwa jima’ di dalam farji istri pada masa haid adalah hal yang dilarang.

Oleh sebab itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul–Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam. Maka barang siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman.

An Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, juz II, hal. 374, mengatakan: “Imam Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para sahabat kami dan yang lainnya, orang yang melakukan senggama dengan istri yang sedang haid hukumnya kafir.

Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima’ (senggama), seperti berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina). Namun sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusar dan lutut kecuali jika sang istri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha:

كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنِيْ فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرَنِي وَأَنَا حَائِضٌ

“Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku mengenakan kain lalu beliau mencumbuiku sedang aku dalam keadaan haid.” (muttafaq alaih).


Talak

Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya ( yang wajar)". (QS. Ath Thalaq: 1).

Maksudnya, istri-istri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli.

Sebab jika seorang istri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut apakah tidak hamil, jika ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan jika tidak hamil maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi suami mentalak istrinya sehingga jelas permasalah tersebut.

Jadi mentalak istri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka Nabipun marah dan bersabda:

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Suruh ia merujuk istrinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid, lalu suci lagi, setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli, karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak istri.”

Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata mentalak istrinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan merujuk istrinya untuk kemudian mentalaknya secara syar’i sesuai dengan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk istrinya hendaklah ia membiarkannya sampai suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.

Dalam hal diharamkannya mentalak istri yang sedang haid, ada tiga masalah yang dikecualikan:

  1. Jika talak terjadi sebelum bersenggama dengan istri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya) maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab dalam kasus demikian, istri tidak terkena iddah. Maka talak tersebut tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:

  2. فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

    “…Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (QS. Ath Thalaq: 1).

  3. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana yang telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.

  4. Jika talak tersebut atas dasar iwadh (penggantian) maka boleh bagi suami menceraikan istrinya dalam keadaan haid.

  5. Misalnya terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami dan istri. Lalu si istri meminta suami agar mentalaknya dan suami mendapat ganti rugi karenanya, maka hal itu, sekalipun istri dalam keadaan haid boleh, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu:

    أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتٍ بن قَيْسٍ بن شَمَّاسٍ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ الله إِنِّيْ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِيْ خُلُقٍ وَلاَ دِيْنٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَـالَ النَّبِيُّ : أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُـوْلُ الله : اقْبَل الحَدِيْقِةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً . رواه البخاري.

    “Bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “ Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “ Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya? Wanita itu menjawab: “Ya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (kepada suaminya): “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia" ( HR.Al Bukhari ).

    Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya apakah si istri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak istri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan apapun, jika memang diperlukan.

Dalam kitab Al mughni disebutkan tentang alasan dibolehkannya khulu’ (cerai atas permintaan istri dengan tebusan) dalam keadaan haid: “Dilarangnya talak dalam keadaan haid karena adanya madharat (bahaya) bagi istri dengan menunggu lamanya masa iddah. Sedang khulu’ adalah untuk menghilangkan madharat (bahaya) bagi si istri disebabkan adanya hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si istri daripada menunggu lamanya masa iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepada wanita yang meminta khulu’ tentang keadaannya.

L

Dan bibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena hal itu pada dasarnya adalah halal. Dan tidak ada dalil yang melarangnya, namun perlu dipertimbangkan bahwa suami tidak diperkenankan berkumpul dengan istri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli istri yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.



Tidak ada komentar