Salah satu tanda akhir zaman adalah adanya orang yang banyak beribadat tapi jahil, dan ulama (ahli agama) tapi fasik (justru menyalahi ajaran agama). HR Ibn Ady Kita tak pernah tahu pasti apakah Hari Kiamat benar-benar sudah dekat. Namun, yang nyata, belakangan ini kita seperti dipaksa mengevaluasi apakah banyak beribadat punya korelasi dengan keluasan wawasan dan keterbukaan pikiran.
Malah, seperti didemonstrasikan di depan mata kita, kegairahan beribadat tak jarang berjalan beriringan dengan pikiran cupet, fanatik, mau menang sendiri, dan menyalah-nyalahkan pandangan orang berbeda pendapat. “Hanya pandangan sayalah pemahaman yang benar.” Yang lain salah, bidah, sesat, kafir, dsb. Di sisi lain, seperti dinubuat- kan sabda Nabi Muhammad SAW di awal tulisan ini, kita dipaksa menelan kenyataan bahwa keulamaan tak selalu berjalan beriring dengan moralitas luhur. Malah, masyarakat dibuat skeptis terkait moral para ulamanya. Entah dalam hal hidup bermewah-mewah dengan menjual keulamaannya kepada publik atau kekuasaan, entah menjual diri demi meraih kekuasaan atau jabatan, tak terkecuali juga popularitas. Ini dilakukan untuk menyenangkan massa dengan materi dan gaya berdakwah yang banal, atau dengan membenar-benarkan posisi politik penguasa yang telah menyuguhinya berbagai fasilitas, sambil menyesat-nyesatkan musuh si penguasa.
Di sisi lain, perselingkuhan ulama dengan penguasa ini malah kian dikukuhkan dengan miopisme para penguasa yang mengira bahwa memanipulasi komunitas agama menguntungkan bagi perluasan basis konstituennya. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa para politisi “kuper” ini sering salah paham, mengira bahwa kerasnya suara kelompok seperti ini, dan “kegagahperkasaan” mereka, mewakili jumlah yang banyak. Kenyataannya, kelompok “keras” dan politisi model begini tak pernah benar-benar memenangi hati masyarakat luas. Ini terbukti dari kegagalan beruntun kelompokmodel begini, di tingkat pusat ataupun daerah, dan para politisi oportunis dukungan mereka dalam pemilihan di pusat/daerah.
Duduk bersama jemaah
Kiranya ini jugalah latar kenapa Nabi secara demonstratif memilih duduk di masjid bersama jemaah yang mendiskusikan ilmu ketimbang semata-mata memperbanyak ibadat. Bukan berarti beribadat tak penting, tapi bahwa membanyak-banyakkan ibadat tanpa disertai wawasan cukup dan pikiran terbuka justru bisa melipatgandakan kerusakan akibat semangat kesalehan yang sering tak terkendali. Di sisi lain, umat harus lebih berhati-hati memilih ulama panutannya dalam belajar agama, jangan tertipu oleh kepiawaian berpidato dan materi dakwah yang sekadar menghibur atau memanas-manasi demi memuasi nafsu angkara orang banyak.
Saya melihat bahwa di sini berperan kekeliruan-setidaknya ketaklengkapan-wawasan para pemeluk agama tentang agama itu sendiri. Yakni, dengan membatasi agama “hanya” dalam hal syariat-dalam makna aspek hukum yang semata-mata verbal dan fisik-dan keimanan yang melulu rasional (yakni rasional lebih dalam batas-batasnya yang kalkulatif dan instrumental belaka).
Ada hal yang justru paling esensial dari agama yang dilupakan: sumber spiritualitas dan moralitas. Agama sebagai persoalan hati. Mari kita bahas kedua aspek puncak agama ini. Dalam Islam, pemahaman tentang agama ditopang Rukun (pilar) Islam dan Rukun Iman diambil dari hadis amat populer dan disepakati kesahihannya. Hadis panjang, yang biasa dijuluki Hadis Jibril itu berbunyi demikian. “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan dan tak ada seorang pun di antara kami yang menge- nalnya. Ia segera duduk di hadap- an Nabi. Lututnya ditempelkan kepada lutut Nabi. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian berkata, ‘Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam’.”
Rasulullah SAW menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan; dan engkau menunaikan haji ke Baitullah jika kau mampu melakukannya.” Lelaki itu berkata, “Engkau benar. Maka, kami heran, ia yang bertanya, ia pula yang membenarkannya.”
Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Nabi menjawab, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab- Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang ihsan.” Nabi SAW menjawab, “Hendaklah engkau beribadat kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu” (Hadis yang direkam Imam Muslim). Pendefinisi agama
Tampak dalam hadis di atas bahwa Malaikat Jibril-yakni “laki-laki” yang menanyai Nabi itu, yang oleh Nabi sendiri dikatakan “mengajar kalian tentang agama kalian”-tidak merasa cukup dengan mendapatkan “hanya” Rukun Islam dan Rukun Iman sebagai pendefinisi agama. Sayangnya, pendefinisi lain Islam, yang menurut saya justru paling puncak, yakni Ihsan, banyak dilupakan kaum Muslim sendiri. Setidaknya tak cukup mendapat perhatian dibandingkan dengan kedua pendefinisi lain. Padahal, seperti difirmankan Tuhan sendiri, “(Dia) menciptakan mati dan hidup dengan tujuan menguji siapa di antara kalian yang paling indah/sempurna (ihsan) amal-amalnya.” Ya, padahal justru dalam Rukun Ihsan itulah termuat aspek utama semua agama sebagai spiritualitas dan moralitas.
Seperti akan kita lihat, pada inti spiritualitas itulah terletak unsur cinta yang merupakan raison d’etre agama. Bahwa tanpa spiritualitas yang mendalam serta moralitas yang luhur, agama justru bisa jadi sumber bala bencana, sumber datangnya kiamat kemanusiaan. Tanpa cinta, agama bisa jadi sumber sikap radikal dan agresif. Sebagaimana kita lihat dalam beberapa tahun belakangan ini, agama telah disalahpahami dan disalahpraktikkan sehingga jadi pemicu kekerasan dan peperangan.
Memang ihsan -yakni melakukan amal yang paling indah, paling sempurna, berdasar hubungan (yang penuh keintiman) dengan Tuhan Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang, dan penuh solidaritas kepada sesama makhluk-Nya- adalah inti atau puncak agama. Al Quran sendiri menegaskan bahwa seseorang bisa saja berislam tanpa keimanan (49:14) dan beriman tanpa akhlak yang luhur. Mengenai yang disebut terakhir ini, Nabi Muhammad dicatat pernah bersabda secara kategoris, “Pangkal agama adalah pengenalan hakiki (makrifat) akan Tuhan”, sedangkan “makrifat itu adalah akhlak yang baik”, sementara “akhlak yang baik itu adalah silaturahim: memasukkan rasa bahagia ke dalam hati sesama.”
Dalam Hadis Jibril itu dikatakan bahwa ihsan adalah “beriba- dat kepada Allah dalam keadaan kamu melihat Allah” (dalam teks disebut “seolah-olah”, karena Tuhan tak bisa dilihat dengan mata kepala). Dalam penelitian lebih jauh ke dalam kosakata Al Quran, sesungguhnya kata ibadat, yakni ibadat dalam tingkatannya yang tertinggi, selalu bermakna hubungan antara makhluk dan Tuhan yang berdasarkan cinta. Di sisi lain, tambahan penjelasan bahwa ibadat seharusnya dilakukan dalam kehadiran Allah kiranya mengindikasikan Allah sudah tak lagi semata-mata berjarak, tetapi telah jadi intim dengan pelaku. Dan pengikat keintiman itu tentu tak lain adalah cinta. “Orang-orang beriman amatlah mendalam kecintaannya pada Allah” (Al Quran 2:194). Sedemikian sehingga Nabi sendiri menyatakan bahwa “cinta adalah asasku”.
Kiranya hanya dengan ihsan yang berbasis cinta seperti inilah ibadat dapat benar-benar jadi sumber spiritualitas yang memancurkan berkah melimpah bagi sesama, sementara keulamaan jadi sumber barometer moralitas luhur dan reformasi kemasyarakatan. Dengan demikian, agama kembali kepada perannya sebagai oase spiritualitas dan moralitas di tengah kemanusiaan yang berada dalam ancaman belakangan ini dan bukannya justru menuang bensin kepada kobaran api kekacauan kemanusiaan itu. Sudah waktunya Rukun Islam dan Rukun Iman dikembalikan kepada puncaknya: Rukun Ihsan, pilar cinta agama.
Post a Comment