ADAB MEMBERIKAN HADIAH
ADAB MEMBERIKAN HADIAH
·
Hadiah, Pemberian,
Shadaqah adalah aqad memberikan kepemilikan suatu barang kepada seseorang tanpa
ganti.
·
Terdapat perintah untuk
menerima hadiah apabila tidak terdapat padanya sesuatu yang syubhat dan haram.
Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:
أِجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ
تَرُدُّوْاالْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا اْلمُسْلِمِيْنَ
“Penuhilah
panggilan orang yang mengundangmu, janganlah engkau menolak hadiah dan jangan
pula memukul orang Islam”.[1]
Rasulullah SAW
bersabda:
مـَنْ أَتَاهُ اللهُ شَيْئًا مِنْ هذَا الْمَالِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَسْأَلَهُ فَلْيَقْـبََْلْ فَإِنَّمَا هُـوَ رِزْقٌ سَاَقـَهُ اللهُ
إِلَيْهِ
“Barangsiapa
yang diberikan oleh Allah harta tanpa mengemisnya dari orang lain maka
hendaklah dia menerimanya sebab hal itu adalah rizki yang diberikan oleh Allah
kepadanya”.[2]
·
Dan di antara kemuliaan
akhlaq Nabi Muahmmad SAW bahwa pada saat hadiah datang kepada Nabi maka beliau
mengikutkan orang lain menikmati hadiah tersebut, ketika Nabi diberikan
semangkuk susu maka beliau memanggil ahlus suhffah dan mengikut sertakan mereka
menikmati hadiah tersebut bersama beliau.[3]
·
Apabila dihadiahkan
kepada beliau sekeranjang buah-buahan, maka beliau membaginya kepada orang tua
yang shaleh dan kepada anak-anak yang hadir bersama beliau. Dari Abi Hurairah
radhiallahu anhu bahwa diberikan kepada Nabi buah panenan pertama (untuk awal
musim buah-buahan) lalu beliau berdo’a:
·
اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فَِي مَدِيْنََتِنَا وَفيِ
مُدِّنَا وَفِي صَاعِنَا وَفِي ثِمَارِنَا بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ
"Ya Allah berikanlah keberkahan bagi kami pada kota kami, pada
ukuran mud kami, sha’ kami dan pada buah-buahan kami, curhakanlah keberkahan
bersama keberkahan.”,
Kemudian beliau
memberikan anak yang paling kecil yang ikut hadir bersama beliau.[4]
·
Rasulullah SAW
menjinakkan hati suatu kaum dengan hadiah yang beliau berikan, terkadang
seseorang baru masuk Islam atau di dalam hatinya ada ganjalan terhadap Islam
atau umatnya, maka Nabi tetap memberikannya sampai orang tersebut rela.
·
Rasulullah SAW
selalu mengirim hadiah kepada keluarganya, beliau selalu setia terhadap
istrinya, Khadijah radhiallahu anha dan menjadikan hadiah sebagai sarananya,
ketika beliau menyembelih seekor kambing, beliau berkata: “Kirimlah daging ini
kepada teman-teman Khadijah”.[5]
·
Nabi Muhammad SAW
selalu membalas hadiah, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi menerima
hadiah dan memberikan balasan atasnya”.[6]
·
Memberikan hadiah kepada
orang yang memberikan hadiah adalah bentuk rasa berterima kasih kepada manusia,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Tidak bersyukur kepada Allah orang
yang tidak berterima kasih kepada manusia”.[7]
·
Barangsiapa yang tidak
mempunyai sesuatu untuk membalas hadiah maka hendaklah berdo’a atas hadiah
tersbut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَقَالَ لِفَاعِلِهِ:
جَـزَاكَ اللهُ خَيْرًا فَقَـدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ
“Barangsiapa yang berbuat
kebaikan kepada seseorang, kemudian dia berkata kepada orang yang berbuat
tersebut: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرً
(semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik) maka sungguh dia telah
cukup memadai dalam memuji”.[8]
·
Memberikan hadiah kepada
tetangganya yang terdekat, seperti yang jelaskan dalam hadits ’Aisyah
radhiallahu anha, dia berkata: Wahai Rasulullah! Saya mempunyai dua orang
tetangga kepada siapakah aku memberikan hadiah?, “Kepada orang yang pintunya
paling dekat denganmu”.[9] Jawab beliau.
·
Memberikan hadiah
menjadi suatu keharusan pada saat manusia membutuhkannya, seperti yang terjadi
pada peristiwa khandak.
·
Di antara hadiah yang
mesti tidak boleh ditolak adalah hadiah yang tidak terlalu mahal dan tidak pula
membebankan, sebab Nabi tidak pernah menolak yang baik, dan beliau bersabda:
مَـنْ عَـرَضَ
عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَـرُدُّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ اْلمَحْمَلِ طَيِّبُ
الرَّائِحَةِ
“Barangsiapa
yang diberikan kepadanya raihan (semacam tumbu-tumbuhan yang berbau harum) maka
janganlah dia menolaknya, sebab raihan tersebut sangat ringan dan harum
baunya”.[10]
·
Apabila hadiah tersebut
berupa barang yang haram wajib menolaknya, dan jika barang tersebut berasal
dari barang yang syubhat maka dianjurkan menolaknya.
·
Apabila hadiah tersebut
berasal dari seorang yang jahat, fasiq atau kafir agar hadiahnya tetap ada
padamu maka janganlah kau menerimanya.
·
Seseorang dianjurkan
untuk menerima hadiah seklaipun hadiah tersebut tidak berkesan di dalam
dirinya, sebagaimana Ummu Hafid, bibi Ibnu Abbas radhiallahu anha memberikan
hadiah kepada Nabi muhammad SAW berupa
keju, samin dan daging biawak, maka Nabi memakan samin dan keju serta
meninggalkan daging biawak.[11]
·
Apabila seseorang ingin
memberikan hadiah maka hendaklah berusaha untuk memilih waktu yang paling baik,
bahkan para shahabat apabila ingin memberikan hadiah kepada Nabi, mereka
menunggu hari giliran setelah Aisyah.
·
Jika seseorang menolak
suatu hadiah maka hendaklah dia menjelaskan sebab penolakan tersebut.
·
Apabila orang yang akan
diberikan hadiah telah meninggal dunia sebelum hadiahnya sampai, maka kepada
siapakah diserahkan? Imam Ahmad berkata: Jika yang membawa hadiah tersebut
adalah utusan pemberi hadiah maka hadiah tersebut kembali kepada pemiliknya, dan
jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan orang yang diberikan hadiah
maka hadiah tersebut untuk ahli warisnya.
·
Memberikan hadiah kepada
kedua orang tua adalah hadiah yang paling besar nilainya.
·
Orang tua boleh
memberikan hadiah kepada anak-anaknya sambil menjaga sikap adil yang
diwajibkan.
·
Di antara hadiah yang
terbesar adalah hadiah ilmu dan nasehat, seperti yang dijelaskan dalam sebuah
hadits yang shahih dari Abdullah bin Isa bahwa dia mendengar Abdurrahman bin
Abi Laila berkata: Ka’ab bin Ajroh menemuiku, lalu dia berkata kepadaku: Tidakkah
aku memberikan kepadamu sebuah hadiah yang aku dengar dari Rasulullah SAW?.
Maka aku mejawabnya: “Ya, berikanlah hadiah tersebut kepadaku”, lalu dia
berkata: Kami bertanya kepada Rasulullah, Ya Rasulullah bagaimanakah cara
bershalawat kepadamu dan kepada keluargamu sebab Allah telah mengajarkan kami
cara mengucapkan salam kepadamu? Beliau menjawab:
Bacalah:
اَلّلهُمَّ صَلِّ
عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ ...حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya
Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engaku
telah memberi rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya…sesungguhnya Engaku Tuhan
Yang Maha Terpuji dan Mulia”.
·
Hadiah seorang peminang
dikembalikan kepada orang yang meminang selama bukan bagian dari mahar.
·
Tidak memberikan hadiah
dengan tujuan mendapat balasan.
·
Adapun hadiah untuk
memenuhi hajat tertentu, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya,
sebagian mereka mengatakan halal dikerjakan, dan sebagian yang lain mengatakan
makruh dilakukan, seperti yang dikatakan oleh imam Ahmad rahimahullah kecuali jika
orang tersebut memberikan balasan yang setimpal.
·
Hadiah karena telah
memberikan syafa’at[12] (pertolongan dan bantuan) tidak diperbolehkan,
berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
مَنْ شَفَّعَ
ِلأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأُهْدِيَ لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا مِنْهُ
فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا
“Barangsiapa
yang memberikan sebuah pertolongan bagi saudaranya lalu saudaranya tersebut
memberikan hadiah bagi jasanya lalu menerimanya, maka sungguh dia telah membuka
satu pintu dari pintu-pintu riba”.[13]
Dan Syaikhul Islam rahimahullah ta’ala menegaskan
kebolehan menerima hadiah tersebut, dan keharaman yang dimaksudkan adalah
meminta pertolonganmu dalam kezaliman lalu dia memberikan hadiah kepadamu.
·
Seorang hakim tidak
diperbolehkan sama sekali menerima hadiah; sebab Umar bin Abdul
Aziz-rahimhullah-berkata: Pada zaman Nabi Muhammad SAW hadiah adalah
hadiah, sementara pada zaman kita hadiah adalah bentuk sogokan.
·
Bagi pegawai negeri
tidak diperbolehkan menerima hadiah, sebab hadiah bagi pegawai adalah
pengkhianatan jika pemberian hadiah untuk mendapat jabatan.
·
Hadiah dari orang-orang
musyrik, imam Bukhari rahimahullah berkata dalam kitabnya yang shahih (Bab
Qobulul Hadiah Minal Musyrikin/Bab kebolehan menerima hadiah dari orang-orang
musyrik). Kemudian dia menyebutkan setelah menulis bab di atas beberapa hadits
yang membolehkannya.
Al-Hafiz Ibnu Hajar-rahimhullah dalam syarahnya
mengatakan: Dalam bab ini (dalam pembahsan ini) terdapat hadits Iyadh Ibnu
Himar, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dari Iyadh, dia berkata: Aku
telah memberikan bagi Nabi seekor onta, maka beliau bertanya: Apakah engkau
telah masuk Islam? Aku menjawab: “Tidak” lalu beliau melanjutkan: Aku dilarang
menerima hadiah dan pemberian orang-orang musyrik,[14]…kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip perkataan
sebagian ulama tentang cara mengkompromikan antara hadits yang melarang dan
kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik, yaitu larangan tersebut berlaku
bagi orang musyrik yang ingin menggadaikan loyalitas seorang muslim kepadanya
dengan hadiah yang diberikannya (seperti simpati kepadanya), dan kebolehan
menerima hadiah (dari non muslim) berlaku bagi orang musyrik yang diharapkan
bisa dijinakkan hatinya untuk Islam.
[1] Shahihul Adab: 117.
[2] HR. Bukahri dan Muslim, Silsilatus Shahihahno: 1187.
[3] Shahihu t Targib no: 3303.
[4] HR. Muslim no: 1373, 474. Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 1/315.
[5] Shahihul Jami’ no: 3331
[6] Shahihul Jami’ no: 4999.
[7] Al-Silsilatus Shahihah no:416
[8] Shahihul Jami’ no: 6368
[9] Shahihul Adab: 79.
[10] Shahihul Jami’ no:2392
[11] Shahihun Nasa’I no: 4029.
[12] Seperti membantu seseorang agar urusannya dipermudah dalam sebuah
instansi atau lembaga. Pen.
[13] Al-Silasilatus Shahihah: 3465.
[14] Shahih Abu Dawud no: 2630
Post a Comment