ADAB JENAZAH DAN TA'ZIAH
ADAB JANAZAH
DAN TA’ZIAH
·
Ingatlah mati, di dalam
Al-Qur’an terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang mati, yaitu firman Allah
SWT:
اَللهُ
يَتـَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَـوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِـهَا
فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا اْلمَـوْتَ وَيـُرْسِلُ اْلأُخْـرَى إِلَى
أَجَـلٍ مُسَمَّى إِنَّ فِي ذلِكَ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْن
“Allah memegang
jiwa (orang) ketika matiَnya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu
tidurnya; maka dia tahanlah jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan
Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir”.[1]
قُلْ
يَتَوَفّكُمْ مَلَكُ اْلمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ
تُرْجَعُوْن
“Katakanlah:
“Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawaَ) mu akan mematikan kamu kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu
akan dikembalikan”.[2]
حَتَّى
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ اْلمَوْتُ تَوَفـَّتْهُ رُسُلُنَا وَهـُمْ لاَ
يُفـَرِّطـُوْن
“Sehingga apabila datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kamiَ, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak
melalaikan kewajibannya”.[3]
Pada ayat di atas Allah Ta’ala menjelaskan bahwa yang mematikan adalah
Allah SWT pada suatu saat, dan pada saat lain adalah para malaikat dan para
utusan (berupa malaikat juga). Maka para ulama mengkompromikan tiga ayat di
atas dengan mengatakan bahwa Allah SWT memerintahkan, dan para malaikatlah yang
merealisasikan perintah tersebut secara langsung, lalu diserahkan kepada para
malaikat lain yang membawanya menuju langit, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits yang panjang. Malaikat tersebut memberikan kabar tentang orang yang
paling dicintai Nya dan orang-orang yang paling dibenci Nya.
·
Ibnul Arabi
mengatakan: Dari berbagai hadits dapat disimpulkan bahwa mengumumkan orang yang
telah mati terbagi dalam tiga kategori:
Pertama:
Memberitahukan keluarga, teman dan orang-orang yang shaleh, perbuatan ini
sunnah.
Kedua: Mengundang
orang berpesta untuk berbangga-bangga, perbuatan ini makruh.
Ketiga: Mengumumkan
kematian dengan meratapi orang yang telah meninggal, perbuatan ini diharamkan.[4]
·
Segera dalam
menyelenggarkan janazah dan pemakamannya untuk meringankan beban keluarga dan
sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka, berdasarkan hadits riwayat Abu
Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أَسْـرِعُوْا
بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً
فًخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَإِنْ تَكُ سِوَى ذلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ
عَنْ رِقَابِكُمْ
“Segerakanlah
jenazah tersebut, sebab jika dia shaleh maka kalian telah mensegerakannya
kepada kebaikan, namun jika selain itu, maka kalian telah melepaskan beban
keburukan dari diri kalian”.[5]
·
Disebutkan oleh
Ibnul Qoyyim rahimahullah bahwa termasuk petunjuk Nabi Muhammad SAW
tidak menguburkan mayit saat terbit dan terbenamnya matahari, dan tidak pula
saat matahari berada di tengah langit, beliau menegaskan bahwa menguburkan
mayit pada waktu malam tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan darurat atau demi
kemaslahatan yang lebih kuat, hal ini didasarkan pada kesimpulan para ulama
setelah mengumpulkan beberapa hadits.[6]
·
Ibnul Qoyyim
menyebutkan bahwa diantara tuntunan Rasulullah SAW dalam mengikuti
jenazah adalah:
a.
Jika seseorang
berjalan, maka hendaklah berada di depan jenazah.
b.
Jika
berkendaraan, maka hendaklah berada di belakang jenazah.
c.
Mempercepat
jalan dan tidak diperkenankan berjalan dengan pelan.
d.
Tidak
mendahului duduk sampai jenazah tersebut diletakkan di atas tanah. [7]
·
Dibolehkan
mendahulukan shalat jenazah jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat
fardhu.[8]
·
Di antara
petunjuk Nabi muhammad SAW tentang sifat kubur adalah membuat liang
lahad dan memperdalamnya serta memperluas kuburan dari sisi kepala dan kedua
kaki mayit.[9]
·
Tidak menangisi
mayit dengan suara yang tinggi, meratapinya, menyesali
kematiannya, meratapi jasa-jasanya dan merobek-robek kantong baju, berdasarkan
sabda Nabi SAW:
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَطَـمَ اْلخُـدُوْدَ وَشَـقَّ الْجُـيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى
الجَاهِلِيَّةِ
“Bukan
dari golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek kantong dan
menyeru dengan seruan-seruan jahilyah”.[10]
·
Kesabaran yang
bisa mendatangkan pahala (saat ditimpa musibah) adalah kesabaran pada saat
pertama kali musibah menimpa, berdasarkan hadits Nabi SAW:
إِنََّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ
الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى
“Hanya
sanya kesabaran tersebut saat pukulan pertama (saat musibah menimpa)”.[11]
·
Menangis di sisi
kuburan adalah sikap yang tidak mencerminkan kesabaran, berdasarkan hadits yang
menceritakan tentang seorang wanita yang manangis pada sebuah kuburan lalu
Rasulullah SAW menegurnya: “Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah”.[12]
·
Dianjurkan
mengantarkan janazah sampai jenazah tersebut dikuburkan, berdasarkan sabda
Rasulullah SAW:
مَنْ
شَهِدَ اْلجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلىَّ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهاَ
حَتَّى تُدْفَنَ فَلََهُ قِيْرَاطَانِ قِيْلَ وَمَا اْلقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ مِثْلُ
اْلجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَينِ
“Barangsiapa
yang menghadiri penyelenggaraan jenazah sampai dishalatkan maka dia akan
mendapatkan pahala sebesar satu qiroth, dan barangsiapa yang menghadirinya
sampai dimakamkan maka dia mendapat dua qiroth, beliau ditanya: Berapakah dua
qiroth tersebut? Rasulullah SAW
menjawab: Seperti dua buah gunung yang besar”.[13]
·
Memuji
mayit dengan menyebut-nyebut perbuatan dan sifat baiknya dan tidak menyebut
keburukannya, berdasarkan sabda Nabi:
لاَ
تَسُـبُّوْا اْلأَمْوَاتَ فَإِنَّـهُمْ قَـدْ أَُفْضُوْا إِلَى مَا قَـدَّمُوْا
“Janganlah
engkau mencaci orang yang telah meninggal sebab mereka telah digiring kepada
apa yang telah mereka perbuat”.[14]
·
Memintakan
ampun bagi orang yang telah meninggal setelah dikuburkan. Dari Ibnu Umar RA
menceritakan bahwa apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan janazah,
maka beliau berdiri di atas kuburnya kemudian bersabda:
اِسْـتَغْفِـرُوْا ِلأَخِيْكُمْ
وَسَلُوْا لَهُ التّثْـبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ
“Mintakanlah
ampun bagi saudaramu dan berdo’alah baginya agar diteguhkan sebab dia sekarang
sedang ditanya”.[15]
·
Takziah tidak
memiliki hari dan waktu yang khusus, namun disyari’atkan dari sejak kematian
seseorang, baik sebelum shalat atau sesudahnya, sebalum dikuburkan atau
setelahnya, dan mensegerakannya lebih baik, pada saat musibah tersebut terasa
berat. Dan dibolehkan juga setelah tiga hari dari kematian si mayit karena
tidak ada dalil yang membatasinya dengan waktu tertentu.
·
Dianjurkan
meringankan beban keluarga orang yang telah meninggal dan membuatkan makanan
bagi mereka, berdasarkan sabda Nabi :
اِصـْنَعُوْا
ِلآلِ جَعْفَـرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَـدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُـمْ
“Buatlah
makanan bagi kelurga Ja’far sebab telah datang kepada mereka perkara yang
menyibukkan mereka”.[16]
·
Dianjurkan
menghibur orang yang tertimpa musibah dan menasehati mereka agar tetap
bersabar, seperti mengucapkan perkataan:
إِنَّ
ِللهِ مِا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَئْ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى
فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ
“Sesungguhnya
hanya bagi Allahlah apa yang diambil -Nya dan bagi -Nya pula apa-apa yang
diberikan, dan segala sesuatu di sisi -Nya pada batas yang telah ditentukan
maka bersabarlah dan berharaplah pahala dari -Nya”.[17]
Dan kalimat ini adalah kalimat yang paling baik untuk
bertakziah, dan lebih baik dari kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian
orang:
أَعْظَمَ اللهُ أًَجْـرَكَ
وَأَحْسَـنَ عَزَاءَكَ وَغَـفَرَ لِمَيِّـتِكَ
“Semoga
Allah memberikan ganjaran yang besar kepadamu dan menghiburmu dengan kebaikan
bagimu serta mengampuni dosa-dosa mayitmu”. Kalimat ini adalah pilihan para
ulama dan apa yang dipilih oleh Rasulullah SAW lebih baik dan utama.[18]
Dan sebagian
ulama pernah menghibur seorang bapak karena anaknya yang kecil telah meninggal
dunia dan berkata kepadanya: “Sebagian dirimu telah masuk surga maka
berusahalah agar sisa yang lain dari dirimu tidak tertinggal (masuk surga).”[19]
Dan kaum
muslimin telah sepakat bahwa tidak ada kata-kata takziah yang mereka
dengar lebih mengena dan singkat dari
kata-kata takziah yang diucapkan oleh Syubaib bin Syaibah kepada Al-Mahdi
pada saat kematian anaknya
(Yaqutah), dia berkata: Wahai Amirul Mu’minin! Apa yang didapatkan (oleh
anakmu) di sisi Allah lebih baik baginya dari dirimu, dan pahala dari Allah
lebih baik bagimu dari dirinya, aku berdo’a kepada Allah semoga Dia tidak menjadikanmu
sedih dan tidak pula mendatangkan fitnah bagimu, dan Allah memberikan ganjaran
karena musibah yang telah menimpamu, menganugrahkan kesabaran bagimu, tidak
membuat susah dengan ujian, tidak mencabut nikmat yang telah diberikannya
kepadamu, dan (ujian yang) sangat membutuhkan kesabaran adalah kesabaran atas
sesuatu yang (diambil) dan tidak ada jalan untuk mengembalikannya.[20]
·
Ibnul Qoyyim
rohimhullah menjelaskan bahwa tidak termasuk petunjuk Nabi melaksanakan sholat
gaib bagi setiap mayit, beliau menguatkan pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimhullah yang merinci pendapatnya
(dalam masalah ini) dengan mengatakan: Jika mayit tersebut telah dishalatkan
pada tempat dia meninggal dunia, maka tidak dishalatkan kembali dengan shalat
gaib, namun jika tidak maka dia harus dishalatkan dengan shalat gaib”.[21]
·
Bahwa Nabi
Muhammad SAW jika dihadapkan dengan seorang yang meninggal dunia untuk
meminpin shalat baginya maka beliau bertanya: Apakah dia mempunyai hutang atau
tidak?, jika mayit tersebut tidak mempunyai hutang maka beliau shalat untuk
mayit tersebut, namun jika mayit tersebut mempunyai hutang maka beliau tidak
menshalatkannya dan mengizinkan para shahabatnya untuk menshalatkannya.
·
Ibnul Qoyyim
juga menyebutkan perbedaan beberapa riwayat tentang berdiri atau duduknya Nabi
untuk suatu jenazah saat jenazah tersebut lewat, dan perbedaan ulama dalam
masalah ini. Dan beliau memilih pendapat yang mengatakan bahwa mengerjakannya
adalah sunnah dan boleh meninggalkannya.[22]
·
Bersedaqah
untuk mayit adalah perbuatan yang disyari’atkan, baik sedeqah tersebut berupa
harta atau do’a berdasarkan sabda Nabi:
إِذَا
مَاتَ بْنُ آدَمَ انْقَطَـعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَـلاَثٍ: صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَـفَعُ بِهِ أَوْ َولَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apabila
anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akan kedua
orang tua nya”.[23]
·
Disyari’atkan berziarah kubur untuk
mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, serta berdo’a saat berziarah kubur
dengan do’a yang sudah ada dari Rasulullah SAW:
اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَإِنَّا
إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
(Kesejahteraan bagimu penghuni kubur dari orang-orang mu’minin dan
muslimin, dan kami dengan kehendak Allah pasti menyusul kalian, saya mohon
kepada Allah bagi kami dan kalian keselamatan”.[24]
Dan diperbolehkan mengangkat tangan untuk berdo’a dengan
tidak menghadap kubur akan tetapi menghadap ka’bah, sebagaimana dianjurkan
mengucapkan salam kepada penghuni kubur baik bagi orang yang lewat atau orang
yang masuk.
·
Tidak berjalan
di antara kubur orang-orang muslimin dengan memakai sandal. Dari Uqbah bin Amir RA berkata: Rasulullah SAW
bersabda:
ِلأَنْ
أَمْشِيَ عَلىَ جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أوْ أخَصِْفَ نَعْليِ بِرِجْليِ أَحَبُّ
إِلَيَّ مِنْ أَمْشِي عَلىَ قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا أُبَاليِ أَوَسْـطَ
اْلقُـبُوْرِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْـطَ السُّـوْقِ
“Dan aku berjalan di atas bara api, pedang atau menjahit sandal saya dengan kaki saya lebih
aku cintai daripada melewati kubur seorang muslim dan aku tidak menghiraukan
apakah aku memenuhi kebutuhanku di tengah kubur atau di tengah pasar”.[25]
[1] QS. Al-Zumar: 42.
[2] QS. Al-Sajdah:11
[3] QS. Al-An’am: 61.
[4] Fathul Bari, Ibnu Hajar 3/112
[5] HR. Abu Dawud no: 2724.
[6] Zadul Ma’ad 1/145, 3/16-17, Tahzibus Sunan 4/308-309.
[7] Zadul Ma’ad 1/144, Bad’iul Fawa’id 4/98, Tahzibus Sunan 4/311,
4/315-316, 4/337
[8]Fatawa Lajnah Da’imah.
[9]Zadul Ma’ad 1/145-146, Tahzibus Sunan 4/335, 338
[10] Shahihul Jami’ no: 5441.
[11] HR. Bukhari no: 1283, Muslim no: 926.
[12] Ibid.
[13] Shahihut Targib no:3498.
[14] Shahihul Jami’no: 7311
[15] HR. Abu Dawud no: 2758.
[16] Shahihul Jami’ no: 1015.
[17] HR. Al-Nasa’I: 1762.
[18] Syarah riadhus Shalihin, syekh Shaleh Al-Utsaimin jilid 1/hal.154.
[19] Badaiul Fawaid 3/157
[20] Al-Kamil Fil Tarikh: 5/73
[21] Zadul Ma’ad 1/144-145.
[22] Tahzibus Sunan: 4/312-314, Zadul Ma’ad 1/145.
[23] Jika mayit tersebut berwasiat untuk disembelihkan maka disemblihkan
baginya (sebagai shadaqah), namun jika dia tidak berwasiat demikian maka
berdo’a baginya lebih utama. Al-Babul Maftuh, Ibnu Utsaimin rahimhullah 52/50. Adapun Thawaf
untuk salah seorang kelaurga yang meninggal, Syekh bin Bazz mengatakan: lebih
utama meninggalkan perbautan tersebut karena tidak ada dalil yang menjelaskan
perbuatan tersebut, namun sebagian ulama membolehkannya jika diqiyaskan dengan
shadaqah dan do’a tetapi lebih baik meninggalkannya.
[24] HR. Muslim, Al-Kalimut Thayyib: 151.
[25] HR. Ibnu Majah no: 1567.
Post a Comment