Amanah
Amanah
Ketika fitrah
tetap lurus dan selamat dari mengikuti hawa nafsu, hal itu tergambar pada
pemiliknya dengan sifat amanah. Dan dalam firman Allah I:
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. Al-Ahzab:72)
Al-Qurthubi berkata: amanah meliputi semua tugas agama menurut
pendapat yang paling kuat.[1] Sebagaimana ia berkata
dalam firman-Nya r:
وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ
وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya, (QS. Al-Mu'minun:8)
Amanah dan janji menggabungkan semua yang dipikul manusia berupa
perkara agama dan dunia, ucapan dan perbuatan. Dan hal ini meliputi pergaulan
dengan manusia, janji-janji, dan selain yang demikian itu. Dan kesudahan yang
demikian itu adalah menjaga dan melaksanakannya.[2]
Ketika amanah
meliputi segala hal, yang diberi amanah harus menunaikan amanahnya, sama saja
ia diberi amanah terhadap harta yang banyak atau hanya satu dinar. Karena Allah
I memerintahkan menunaikan amanah kepada pemiliknya, dan melarang
berkhianat kepada Allah I dan Rasul-Nya, serta melarang mengkhianati semua amanah mereka.
Dan Dia I menjadikan di antara sifat orang-orang yang beruntung adalah
bahwa sesungguhnya mereka menjaga janji dan amanah mereka. Dan jiwa manusia
dengan fitrahnya cenderung kepada pemberi nasehat yang dipercaya (al-Amin) dan
berpegang kepada orang yang kuat lagi dipercaya, sehingga non muslim
mengutamakan orang yang amanah. Diriwayatkan dalam cerita penduduk Najran,
tatkala mereka setuju membayar jizyah, sesungguhnya mereka berkata:
'Sesungguhnya kami memberikan kepadamu apa-apa yang engkau minta kepada kami,
utuslah bersama kami seorang laki-laki yang amin (dipercaya), dan janganlah
engkau mengutus bersama kami kecuali orang yang amanah.' Maka beliau r bersabda:
َلأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً
أَمِيْنًا حَقَّ أَمِيْنٍ
'Sungguh aku akan mengutus seorang laki-laki yang amanah
bersamamu, orang yang benar-benar amanah.'[3]
Dan beliau mengirim Abu Ubaidah t.
Sesungguhnya di antara
rizqi tiada taranya yang diberikan Allah I kepada hamba dan tidak disimpan sesudahnya atas harta benda
dunia apapun, adalah yang disebutkan dalam hadits:
أَرْبَعٌ إِذاَ
كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: صِدْقُ الْحَدِيْثِ
وَحِفْظُ اْلأَمَانَةِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَعِفَّةُ مَطْعَمِ.
"Empat
perkara, apabila ada padamu, maka tidak mengapa engkau kehilangan dunia: benar
ucapan, menjaga amanah, akhlak yang baik, dan menjaga makanan (dari yang tidak
baik)."[4]
Amanah merupakan salah satu rukun akhlak yang empat perkara,
yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Bahkan bisa menjadi sebab datangnya
dunia kepada hamba, karena manusia mendapatkannya padanya.
Amanah adalah
sifat istimewa bagi para pemangku risalah (para nabi), sungguhnya setiap orang
dari mereka berkata kepada kaumnya:
إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ
Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan
(yang diutus) kepadamu, (QS. Asy-Syu'ara:107,125,143, 162, 178))
Amanah tersebut merupakan persaksian musuh-musuh mereka (para
nabi) kepada mereka, seperti dalam dialog Heraclius (raja Romawi) dengan Abu
Sufyan t, ketika Heraclius berkata: 'Aku bertanya kepadamu, apa yang
diperintahkannya kepadamu? Maka engkau menjelaskan bahwa ia memerintahkan
shalat, jujur, menahan dari yang haram, melaksanakan janji, menunaikan amanah-
ia berkata: dan ini adalah sifat seorang nabi.'[5] Dan di tempat yang lain
dalam Shahih '…Dan aku bertanya kepadamu: apakah ia menipu? Maka engkau
menjelaskan bahwa ia tidak pernah menipu. Demikian pula para rasul, mereka
tidak pernah menipu…'[6]
Sungguh, jika ini merupakan
sifat para penyeru risalah, maka sesungguhnya para pengikut mereka juga
memiliki karasteristik seperti itu. Karena itulah beliau menyertakan definisi
seorang mukmin dengan perilakunya yang istimewa, di mana beliau bersabda:
وَالْمُؤْمِنُ
مَنْ أمنهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
"Dan seorang mukmin
adalah orang yang manusia memberikan amanah kepadanya terhadap darah dan harta
mereka."[7]
Apabila sifat amanah sudah menyatu dengan pemiliknya, ia bergaul
dengan sifat itu bersama yang dekat dan jauh, muslim dan non muslim. Ibnu Hajar
rahimahullah berkata: 'Menipu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama,
sama saja terhadap muslim atau kafir zimmi.'[8] Demikian pula keadaan
orang yang beriman, sehingga bersama orang yang terkenal sebagai pengkhianat
dan masyhur sebagai penipu, sebagaimana dalam hadits:
أَدِّ
اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَتَخُنْ مَنْ خَانَكَ
"Tunaikanlah
amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah engkau
berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu."[9]
Yang demikian itu karena bahaya terjatuh dalam pengkhianatan dan
rusaknya fitrah dengan membatalkan janji lebih berat dari pada membalas kepada pengkhianat
dengan balasan serupa, dan karena sesungguhnya terjatuh sekali bisa disukai
nafsu dan terus berada dalam kenistaan pengkhianatan.
Penipuan
orang-orang besar, para pemuka, dan pengkhianatan orang-orang yang berkedudukan
lebih keji dan lebih jahat dari pada tergelincirnya kalangan awam, karena
kesalahan orang-orang besar merupakan kerusakan besar.
Al-Qurthubi
menjelaskan masalah ini dalam pembicaraannya
tentang penipuan para pemimpin, ia berkata: 'Para ulama kita berkata:
sesungguhnya penipuan yang dilakukan pemimpin lebih besar dan lebih keji darinya
pada selainnya, karena mengandung kerusakan dalam hal itu. Maka sesungguhnya
apabila mereka menipu dan diketahui hal tersebut dari mereka, tidak menepati
janji secaya merata, musuh tidak merasa aman atas perjanjian dan tidak pula
atas perdamaian dengan mereka. Maka bertambahlah kekerasannya dan besarlah
bahayanya, dan hal itu membuat orang berlari dari agama dan menyebabkan celaan
terhadap para pemimpin kaum muslimin. Dan para ulama berbeda pendapat, apakah
boleh berjihad bersama pemimpin yang menipu?[10]
Apabila berkhianat
dari kalangan awam merupakan sifat tercela, maka sesungguhnya dari orang yang
terpandang lebih tercela lagi, dan sampailah kehinaan seseorang saat rusaknya
fitrahnya, yang Rasulullah r menghitungnya termasuk dari mereka:
...وَاْلخَائِنُ الَّذِي لاَيَخْفَى عَلَيْهِ
طَمْعٌ وَإِنْ دَقَّ إِلاَّ خَانَهُ, وَرَجُلٌ لاَ يُصْبِحُ وَلاَيُمْسِي وَهُوَ
يُخَادِعُكَ عَلَى أَهْلِكَ وَمَالِكَ
"… dan pengkhianat yang tidak samar sifat tamak atasnya,
sekalipun sangat kecil, kecuali ia berkhianat, dan laki-laki yang tidak berlalu
pagi dan sore kecuali ia menipu engkau terhadap keluarga dan hartamu…"[11]
Sudah terlalu sering hati kita seakan pecah saat kita melihat
golongan-golongan ini berada di antara kaum muslimin. Maka mereka bersegera
kepada setiap keinginan yang nampak, mereka berkhianat di setiap janji yang
suci dan setiap benda yang dipelihara.
Tidak bersifat
amanah bukan hanya mendapatkan kehinaan dan kenistaan di dunia, sesungguhnya ia
akan mendapatkannya tergambar baginya di hari kiamat saat berada di titian,
agar ia tersungkur karenanya dari atas titian, menuju dasar neraka jahanam,
sebagai akibat menyia-nyiakan amanah dan melewati batas dalam melanggarnya,
sebagaimana dalam hadits:
وَتُرْسَلُ
اْلأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَتَقُوْمَانِ جَنْبَيِ الصِّرَاطِ يَمِيْنًا
وَشَمَالاً...
"Dan
dikirimlah amanah dan silaturrahim, maka keduanya berdiri di kedua sisi titian,
sebelah kanan dan kiri…"[12]
Selamat bagi orang yang melaksanakan amanah dengan sebenarnya,
maka ia berlari di atas titian (pada hari kiamat) tanpa rasa takut dan
khawatir, tanpa rasa rugi dan penyesalan. Di mana tidak berguna lagi rasa rugi
dan penyesalan atas orang yang meremehkan lalu berkhianat, dan terjatuh lalu
menipu, karena nafsu syahwat atau rasa dendam yang buta…
Di antara gambaran
amaliyah terhadap amanah: bahwa engkau memberi nasehat kepada orang yang
meminta pendapatmu dan jujur kepada orang yang percaya terhadap pendapatmu.
Disebutkan dalam hadits:
اَلْمُسْتَشَارُ
مُؤْتَمَنٌ
"Yang diminta
pendapat adalah yang dipercaya."[13]
...وَمَنْ أَشَارَ عَلَى أَخِيْهِ بِأَمْرٍ
يَعْلَمُ أَنَّ الرُّشْدَ فِى غَيْرِهِ فَقَدْ خَانَهُ
"Dan
barangsiapa yang memberi isyarat kepada saudaranya dengan perkara yang ia
mengetahui bahwa petunjuk pada yang lainnya, berarti ia telah berkhianat
kepadanya."[14]
Kebaikan apakah yang masih tersisa pada orang yang memberi saran
yang tidak berguna kepada saudaranya, bahkan kemungkinan membahayakannya?
Mujahid (pejuang)
di medan perang diperintahkan bersikap amanah, dilarang menipu, berkhianat dan ghulul
(mengambil harta ghanimah sebelum dibagi):
لاَتَغْدِرُوْا
وَلاَتَغُلُّوْا وَلاَتُمَثِّلُوْا
"Janganlah kamu
menipu, janganlah berbuat ghulul, dan janganlah mencincang musuh…"[15]
Dan orang yang diberi amanah menjaga keluarga mujahid (pejuang)
adalah sebaik-baik yang melaksanakan amanah. Jika ia lalai atau berkhianat,
niscaya mujahid itu berdiri di hari kiamat, mengambil dari kebaikannya apa-apa
yang dikehendakinya:
وَمَا مِنْ رَجُلٍ مِنَ
الْقَاعِدِيْنَ يَخْلُفُ رَجُلاً مِنَ الْمُجَاهِدِيْنَ فِى أَهْلِهِ فَيَخُوْنُهُ
فِيْهِمْ إِلاَّ وَقَفَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, فَيَأْخُذُ مِنْ عَمَلِهِ
مَاشَاءَ... فَمَا ظَنَُّكُمْ
"Dan tidak ada seorang laki-laki yang tidak ikut
berperang, menggantikan laki-laki dari para mujahidin (dalam mengurus)
keluarganya, lalu ia berkhianat pada mereka melainkan ia berdiri baginya di
hari kiamat, maka ia mengambil dari amal ibadahnya apa-apa yang dikehendakinya…
maka apakah dugaanmu?[16] Maksudnya, apakah kamu
mengira bahwa masih tersisa sedikit lagi dari kebaikannya?
Di antara amanah
yang terpenting adalah memelihara rahasia manusia, menutup aurat (kehormatan)
mereka, dan menyembunyikan pembicaraan majelis mereka. Disebutkan dalam hadits:
اَلْمَحَالِسُ
بِاْلأَمَانَةِ
"Majelis-mejelis
itu dengan amanah."[17]
Sekalipun yang bercerita tidak berpesan untuk menyembunyikan
pembicaraan khususnya kepadamu, engkau tidak boleh menyebarkan kecuali dengan
ijin dan sepengetahuannya, berdasarkan sabda Nabi r:
إِذَا
حَدَّثَ رَجُلٌ رَجُلاً بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهُوَ لَهُ أَمَانَةٌ
"Apabila
seseorang berbicara kepada orang lain dengan satu pembicaraan, kemudian ia
menoleh, maka ia adalah amanah."[18]
Dan sekurang-kurang yang ada dalam amanah ini adalah bahwa yang
mengutip pembicaraan –saat mengutipnya- dengan apa adanya, dan janganlah
menambah yang bukan termasuk darinya dengan menyamarkan atau menyimpangkan.
Di antara amanah
dalam bekerja adalah baik dalam bekerja dan menyembunyikan rahasianya. Karena
itulah Imam al-Bukhari memberikan satu judul dalam kitab Ahkam: 'Bab: Dianjurkan
bagi penulis bahwa ia seorang yang amanah serta berakal', mengisyaratkan
kepada ucapan Abu Bakar t kepada Zaid bin Tsabit t, saat ia akan menugaskannya: 'Sesungguhnya engkau adalah
seorang pemuda yang berakal, kami tidak menuduh engkau'.[19]
Dan di antara
bahaya akhir zaman adalah kacaunya timbangan dan rusaknya nilai-nilai luhur sampai
kepada tingkatan yang digambarkan oleh Rasulullah r:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ
خداعَاتٌ, يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذِّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ, وَيُؤْتَمَنُ
فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا اْلأَمِيْنُ, وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ
فِى أَمْرِ الْعَامَّةِ. قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ:الرَّجُلُ التَّافِهُ.
"Akan tiba kepada manusia tahun-tahun yang sangat menipu,
dibenarkan orang yang bohong dan didustakan orang yang benar, orang yang
khianat diberi kepercayaan, orang yang amanah dianggap pengkhianat, dan
ruwaibidhah berbicara dalam perkara besar.' Ada yang bertanya, 'Apakah
ruwaibidhah itu?' Beliau r
menjawab, 'Orang yang hina.'[20]
Dan Rasulullah r merasa khawatir tersebarnya pengkhianatan setelah abad-abad
kebaikan, beliau bersabda:
...إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُوْنُوْنَ
وَلاَ يُؤْتَمَنُوْنَ
"…Sesungguhnya
setelah kamu ada satu kaum yang berkhianat dan tidak bisa diberi amanah…"[21]
Sejak masa itu,
rangkaian kejatuhan terus berlanjut, hingga jadilah kita melihat perkara
diserahkan kepada selain ahlinya, pengkhianat diberi amanah, yang amanah
dianggap pengkhianat, dan jadilah orang yang amanah benar-benar menjadi langka,
yang diisyaratkan kepada mereka, seperti dalam hadits:
فَيُصْبِحُ
النَّاسُ يَتَبَايَعُوْنَ, فَلاَ يَكُوْنُ أَحَدُهُمْ يُؤَدِّي اْلأَمَانَةَ,
فَيُقَالُ: إِنَّ فِى بَنِي فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِيْنا...
"Jadilah
manusia berjual beli, maka hampirlah salah seorang dari mereka tidak ada yang
menunaikan amanah. Maka dikatakan: sesungguhnya pada bani fulan ada seorang
laki-laki yang amanah…"[22]
Padahal sudah sangat langkanya orang-orang yang amanah, mereka
dijauhkan dan diberikan jabatan kepada selain mereka, dan hal itu menjadi
penyebab tersia-sianya amanah, itulah salah satu tanda hari kiamat. Rasulullah r bersabda:
إِذَا
ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ :كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ.
"Apabila
amanah sudah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat.' Abu Hurairah t bertanya, 'Bagaimanakah menyia-nyiakannya?' Beliau menjawab,
'Apakah perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat."[23]
Dan di dalam Fath al-Bari, ‘Ibnu Baththal berkata,
‘Maksud (Apabila perkara diserahkan kepada bukan ahlinya): Sesungguhnya para
pemimpin telah diberi amanah oleh Allah r terhadap hamba-hamba-Nya, mewajibkan atas mereka (para pemimpin) untuk
mereka (hamba-hamba-Nya), maka mereka harus mengangkat pemimpin yang
berpengetahuan agama. Maka apabila mereka mengangkat pemimpin yang tidak
berpengatahuan agama, berarti mereka telah menyia-nyiakan amanah yang
dibebankan Allah I kepada mereka.[24]
Di antara isyarat fiqhiyah bagi pemberian judul bab dalam
Shahih al-Bukhari, bahwa ia membuat dalil dengan hadits:
فَإِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah
disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat (kehancurannya)” [25]
dalam kitab ilmu, Ibnu Hajar rahimahullah
menyebutkan alasan al-Bukhari memasukkannya dalam kitab ilmu, ia berkata:
‘Korelasi matan (isi hadits) ini bagi kitab ilmu, karena menyerahkan perkara
kepada bukan ahlinya sesungguhnya terjadi saat meratanya kebodohan dan
terangkatnya ilmu, dan hal itu termasuk tanda-tanda hari kiamat.[26]
Melaksanakan
hak-hak amanah termasuk sifat orang-orang yang beriman, dan kekurangan sebagian
darinya termasuk bagian dari sifat orang munafik. Karena itulah disebutkan
sifat orang yang munafik:
وَإِذَا أْتُمِنَ خَانَ
“Apabila
diberi amanah ia berkhianat.”[27]
Dan beliau r bersabda:
لاَ إيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَدِيْنَ لِمَنْ
لاَعَهْدَ لَهُ
“Tidak ada iman (yang sempurna) bagi orang yang tidak
ada amanah padanya, dan tidak ada agama (yang sempurna) bagi orang yang tidak
menepati janji.” [28]
Orang yang
mempunyai sifat amanah sangat tekun melaksanakan kewajibannya, jauh dari sifat
menipu, tipu daya dan khianat, menjaga perjanjian dan menepati janji.
Risalah
agung seperti risalah kita, tidak bisa memikulnya dan berlalu dengannya kecuali orang-orang
yang amanah, apakah kita mencalonkan diri kita untuk hal itu?
Kesimpulan dan poin-poin utama:
- Imam al-Qurthubin rahimahullah
menjelaskan bahwa amanah meliputi semua aspek agama.
- Non muslim pun cenderung kepada orang
yang amanah.
- Sifat amanah tidak ada bandingannya di
dunia.
- Amanah adalah sifat para rasul.
- Musuh-musuh Rasulullah r mengakui sifat amanah pada diri beliau.
- Pengkhianatan yang paling keji adalah
yang dilakukan para pemimpin dan pembesar.
- Di antara gambaran amanah:
- Amanah dalam musyawarah.
- Amanah dalam jihad, tanpa menipu dan
khianat.
- Amanah yang tidak ikut perang dalam
menjaga harta para pejuang.
- Amanah menjaga rahasia mejelis.
- Amanah dalam bekerja.
- Di antara tanda-tanda hari kiamat;
- Menganggap khianat orang yang amanah
dan diberikan amanah kepada orang suka berkhianat.
- Menyerahkan urusan kepada bukan
ahlinya.
- Langkanya orang-orang yang amanah.
- Tidak ada yang berhak memikul dakwah
ini kecuali orang-orang yang amanah.
[1] Fath al-Qadir 4/308, mengutip dari
al-Qurthubi.
[2] Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 12/73
[3] Shahih al-Bukhari, kitab al-Maghazi, bab
ke-72, hadits no. 4380.
[4] Shahih al-Jami' no. 873 (Shahih).
[5] Shahih al-Bukhari, kitab Syahadat, bab
ke-28, no. 2681.
[6] Shahih al-Bukhari, kitab Jihad, bab ke-102,
no. 2941.
[7] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab Iman,
bab ke-12, no.2118/2775 (Hasan shahih).
[8] Fath al-Bari, syarah hadits no. 3178.
[9] Shahih Sunan Abu Daud, kitab al-Buyu'
bab ke-45, no. 3019/3535 (Hasan Shahih).
[10] Al-Jami li Ahkamil Qur`an 8/33 saat
mentafsirkan ayat 58 dari surah
al-Anfal.
[11] Musnad Ahmad 4/162 dan muslim juga
meriwayatkannya.
[12] Shahih Muslim, kitab iman no.329
[13] Shahih al-Jami' no. 6700 (Shahih).
[14] Shahih al-Jami' no. 6068 (Hasan).
[15] Musnad Imam Ahmad 1/300, dan ia ada dalam
riwayat Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Muwaththa'.
[16] Musnad Imam Ahmad 5/352, dan ia ada
dalam riwayat Muslim no. 1897, dalam kitab Imarah.
[17] Shahih al-Jami' no. 6678.
[18] Shahih al-Jami' no. 486 (Hasan).
[19] Shahih al-Bukhari, kitab al-Ahkam, bab
ke-37 no. 7191.
[20] Shahih Sunan Ibnu Majah, kitab
al-Fitan, bab ke-24 no. 3261/4036 (Shahih).
[21] Shahih al-Bukhari, kitab asy-Syahadah, bab
ke-9, no. 2651
[22] Shahih ar-Bukhari, kitab ar-Riqaq, bab
diangkat amanah, no. 6487.
[23] Referensi yang sama, no. 6496
[24] Fath al-Bari saat menjelaskan bab diangksatnya amanah dari kitab
ar-Riqaq.
[25] Shahih al-Bukhari, kitab ilmu, bab ke-2 hadits ke-59.
[26] Fath al-Bari saat
menjelaskan hadits tentang bab barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, sedangkan
dia sibuk... dari kitab ilmu.
[27] Shahih al-Bukhari, kitab
iman, bab ke-24, hadits ke34.
[28] Musnad Ahmad 3/154 dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.7179.
Post a Comment