Bahaya Ikhtilat Antara Laki dan Perempuan
Pembicaraan seputar ikhtilath atau
bercampur baur antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa hijab (tabir
penghalang) sudah pernah kita singgung. Namun karena banyaknya penyimpangan
kaum muslimin dalam perkara ini dan adanya sisi-sisi permasalahan yang belum
tersentuh maka tak ada salahnya kita bicarakan dan kita ingatkan kembali.
Bukankah
Rabbul Izzah telah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى
تَنْفَعُ
الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.' (Adz-Dzariyat: 55)
Dan
juga dalam rangka menasihati diri pribadi dan orang lain, karena agama ini
adalah nasihat, seperti kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
hadits yang shahih:
الدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ
Agama itu adalah nasihat.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh1 rahimahullahu menyatakan dalam Fatawa dan
Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan ada
tiga keadaan:
'Pertama:
Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini
jelas dibolehkan.
Kedua:
Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang
rusak, maka hal ini jelas keharamannya.
Ketiga:
Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran
ilmu, di toko, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath
yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di
antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya
ikhtilath semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil
pelarangannya.'
Dalil
secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan laki-laki
dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula
sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath
tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan.
Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat
membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan
mungkar.
Dalil
secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan
hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan
keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan
pernikahan yang syar'i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah
yang akan kita bawakan di bawah ini.
1.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي
بَيْتِهَا عَنْ
نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ
مَعَاذَ اللَّهِ
إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ
الظَّالِمُونَ
'Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf
untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata,
'Marilah ke sini.' Yusuf berkata, 'Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku
telah memperlakukan aku dengan baik.' Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan
beruntung. (Yusuf: 23)
Ketika
terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf 'alaihissalam dengan istri Al-Aziz,
pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya
disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah
Subhanahu wa Ta'ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga
dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ
عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
'Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia
menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.' (Yusuf: 34)
Demikian
pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masingnya
tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya,
dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
2.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk menundukkan
pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya
seperti termaktub dalam firman-Nya:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ
إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
'Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: 'Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka,
yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat.' Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: 'Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka''.'
(An-Nur: 30-31)
Dalam
ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada kaum mukminin dan
kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu dari kaidah yang
ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Berarti
menundukkan pandangan dari melihat yang haram itu hukumnya wajib. Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa hal itu lebih bersih dan lebih suci
bagi mereka. Penetap syariat tidak membolehkan lelaki memandang wanita yang
bukan mahramnya terkecuali pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan
tanpa sengaja itu, tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin
Abdillah radhiyallahu 'anahu berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم عَنْ نَظْرِ
الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
'Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau
memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.' (HR. Muslim no. 5609)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, 'Makna نَظْرِ الْفُجَاءَةِ ِ adalah
pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja. Maka tidak ada
dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib baginya memalingkan
pandangannya pada saat itu. Jika segera dipalingkannya, maka tidak ada dosa
baginya. Namun bila ia terus memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan
hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Jarir
untuk memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ
'Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: 'Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata''.' (An-Nur: 30) [Al-Minhaj, 14/364]
Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari lawan jenis,
karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah zina. Sebagaimana
diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anahu dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ
كَتَبَ عَلَى
ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة،
فَزِنَا
الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ
تَمَنَّى
وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
'Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya
dari zina2, dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata
dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara
jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan
semua itu atau mendustakannya.' (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)
Dalam
lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ
مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ
ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ،
وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ،
وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
'Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan
diperoleh hal itu, tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya
dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan
mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang
diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina
dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu
berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu
atau mendustakannya.' (HR. Muslim no. 2657)
Memandang
wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki merasakan kenikmatan
tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan menumbuhkan sebuah 'rasa' di
hati si lelaki, sehingga hatinya pun terpaut dan pada akhirnya mendorongnya
untuk melakukan perbuatan keji dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya
saling pandang antara lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara
lawan jenis. Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.
3.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا
تُخْفِي الصُّدُورُ
'Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam
dada.' (Ghafir: 19)
Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anahuma berkata, 'Ayat ini terkait dengan seorang lelaki
yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang wanita. Ia pun mencuri
pandang kepada si wanita.' Ibnu Abbas berkata pula, 'Lelaki itu mencuri pandang
kepada si wanita. Namun bila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan
pandangannya. Bila ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun
memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya
lagi, ia kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita.'
(Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, 15/198)
Allah
Subhanahu wa Ta'ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada wanita yang
tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu bagaimana lagi
dengan ikhtilath' Bila memandang saja dicap berkhianat sebagai suatu cap yang
jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan dengan wanita ajnabiyah.
4.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ
الْأُولَى
'Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan
janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.'
(Al-Ahzab: 33)
Dalam
ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada istri-istri
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang suci lagi menjaga kehormatan diri
untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini berlaku umum untuk semua wanita
yang beriman, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya
untuk para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap
tinggal di dalam rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah.
Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai
perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak keluar
dari rumahnya'
Adapun
dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di
antaranya:
1.
Ummu Humaid radhiyallahu 'anaha istri Abu Humaid As-Sa'idi Al-Anshari
radhiyallahu 'anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
berkata, 'Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat berjamaah bersamamu.'
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ
تُحِبِّيْنَ
الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ
فِي حُجْرَتِكِ،
وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ،
وَصَلاَتُكِ فِي
دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ
فِي مَسْجِدِ
قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي
'Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah
bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu
di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu.
Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan
shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada shalatmu di masjidku.'
(HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, 'Rijal hadits ini rijal shahih kecuali
Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban.' Demikian pula yang
dikatakan Al-Hafizh dalam At-Ta'jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad,
18/424, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)
Asy-Syaikh
Ibnu 'Utsaimin rahimahullahu menyatakan, 'Hadits seperti ini memberi pengertian
bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata,
'Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.' Maka aku katakan, 'Sesungguhnya
shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.' Hal itu karena seorang wanita
akan terjauh dari ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan
menjauhkannya dari fitnah.' (Majmu'ah Durus Fatawa, 2/274)
Beliau
rahimahullahu juga mengatakan, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita tahu shalat di Masjid
Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang
wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah (godaan)
maka hal itu lebih utama dan lebih baik.' (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27,
sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma'rifati ma Yuhammimul Mushallin,
hal. 570)
2.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anahu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا
وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
'Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal
dan sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf
wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang
paling awal.' (HR. Muslim no. 440)
Al-Imam
Nawawi rahimahullahu berkata, 'Adapun shaf-shaf lelaki maka secara umum
selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling
jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam
hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila
mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan
lelaki, maka shaf mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf
yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang
dimaksud shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit
pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar'i. Sedangkan
maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita
yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki keutamaan karena wanita
yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan lelaki
dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari berhubungan dengan kaum
lelaki dan memikirkan mereka ketika melihat gerakan mereka, mendengar
ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena
alasan yang sebaliknya dari yang telah disebutkan.' (Syarh Shahih Muslim,
4/159-160)
Al-Imam
Ash-Shan'ani rahimahullahu menyatakan, 'Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya
wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini menunjukkan sama saja
baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau bersama wanita lainnya. Alasan
baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari
kaum lelaki, jauh dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini
tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka
shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki,
yang paling utama adalah shaf yang awal.' (Subulus Salam, 2/49)
Apabila
penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan keterpautan antara lelaki
dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal dalam shalat jelas terpisah
antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan umumnya mereka yang datang memang
ingin menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, jauh dari keinginan untuk
berbuat jelek, maka tentunya di tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama
lagi pelarangannya.
3.
Zainab radhiyallahu 'anaha istri Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anahu
berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami:
إِذَا شَهِدَتْ
إِحْدَاكُنَّ
الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا
'Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat
berjamaah di masjid maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.' (HR.
Muslim no. 996)
Abu
Hurairah radhiyallahu 'anahu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
'Janganlah
kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi masjid- masjid
Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam keadaan tidak memakai
wangi-wangian.' (HR. Abu Dawud no. 565. Kata Al-Imam Al Albani rahimahullahu, 'Hadits
ini hasan shahih.')
Ibnu
Daqiqil Id rahimahullahu berkata, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai wangi-wangian atau
dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki dengan aroma semerbak
mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat lelaki. Tentunya pelarangan
memakai wangi-wangian bagi wanita selain keluar menuju ke masjid lebih utama
lagi (keluar ke pasar, misalnya, pent.).'
Beliau
mengatakan pula, 'Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah menampakkan perhiasan,
pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan perhiasan.' (Al-Ikmal, 2/355)
Keluar
rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur
dengan lelaki ajnabi.
4.
Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ
أَضَرُّ عَلَى
الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
'Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku
yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.' (HR. Al-Bukhari no.
5096 dan Muslim no. 6880)
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan wanita sebagai
fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan kita bila yang menjadi
fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu tempat'
5.
Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ
وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا
فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ،
فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ
'Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh
Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat
bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan
hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari
wanitanya.' (HR. Muslim no. 6883)
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk berhati-hati dari
wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat terealisir bila ikhtilath
dianggap boleh' Bila demikian keadaannya maka jelaslah keharaman ikhtilath.
Post a Comment