MEMELIHARA LISAN
Memelihara Lisan
Terjadinya kekacauan, pecahnya golongan dan
waktu terbuang sia-sia. Dan ketika menyelidi sumber utamanya, engkau menemukan
kecahatan pertama berawal dari kata-kata kotor, atau tuduhan kemarahan, atau
informasi yang keliru… ini adalah sebagian dari hasil penggunaan lisan yang
salah, saat masih berada di dunia.
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
mengatakan: memelihara lisan adalah menahan diri dari ucapan yang tidak
diperbolehkan secara syara', yang tidak dibutuhkan oleh pembicara.[1] Dan an-Nawawi menjelaskan
cara memelihara lisan, ia berkata: 'Sepantasnya bagi orang yang ingin berbicara
satu kata atau satu kalimat, agar dia lebih dulu merenungkannya dalam dirinya
sebelum menuturkannya, jika jelas manfaatnya, ia berbicara, dan jika tidak, ia
menahan diri dari berbicara.'[2] Dan catatan mendasar untuk
memelihara lisan adalah: tidak terburu-buru dalam berbicara, berpikir sebelum
mengeluarkan kata-kata, menimbang kata-kata dalam timbangan syara', dan
mengharapkan manfaat dalam Islam. Dan jika tidak demikian, hendaklah orang yang
berbicara menahan keinginannya dan tidak berbicara. Maka sesungguhnya hal itu
merupakan keselamatan, dan ia lebih baik baginya. Dan karena itulah terdapat
dalam hadits:
فَكُفَّ
لِسَانَكَ إِلاَّ مِنَ الْخَيْرِ
'Maka tahanlah lisanmu kecuali dari
kebaikan.'[3]
Yang memberi pengertian bahwa sesungguhnya pada dasarnya adalah
diam dan menahan diri dari berbicara.
Dan tatkala Uqbah bin 'Amir t bertanya kepada Rasulullah r: 'Ya Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab:
أَمْسِكْ
عَلَيْكَ لِسَانَكَ, وَلَيَسَعْكَ بَيْتُكَ, وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ
"Tahanlah lisanmu, hendaklah rumahmu
meluaskanmu, dan tangisilah kesalahanmu."[4]
Dan di dalam al-Bukhari:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barangsiapa yang beriman kepada
Allah I dan hari akhir, maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau
diam."[5]
Hal itu disebabkan sebagian besar omongan
seseorang, terkadang pada yagn sia-sia atau yang haram. Seperti yang dijelaskan
dalam hadits:
كُلُّ
كَلاَمِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لاَ لَهُ, إِلاَّ أَمْرٌ بِاْلمَعْرُوْفِ أَوْ
نَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ ذِكْرُ الله
"Setiap pembicaraan manusia
membahayakannya, tidak bermanfaat baginya, kecuali yang menyuruh perbuatan
ma'ruf atau menahan dari yang mungkar, atau zikir kepada Allah I."[6]
Mu`adz bin Jabal t menceritakan tentang perjalanannya bersama Rasulullah r, ia bertanya kepada beliau, 'Ya Nabiyullah, ceritakanlah
kepadaku amalan yang memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari
neraka.' Maka Rasulullah r menyebutkan pintu-pintu kebaikan. Setelah itu beliau bersabda:
"Maukah engkau aku beritahukan kendali semua itu?' Maka aku
berkata,'Tentu, wahai Rasulullah.' Lalu beliau memegang lisannya seraya
berkata, 'Tahanlah ini.' Aku bertanya, 'Ya Rasulullah, Apakah kami dihukum
karena ucapan kami?' Beliau berkata, 'Ibumu kehilangan engkau, wahai Mu'adz.
Dan tidaklah menjerumuskan manusia di dalam neraka selain hasil panen lisan
mereka.'[7] Dan at-Thabrani menambah
dalam riwayatnya: 'Kemudian, sesungguhnya engkau tetap selamat selama engkau
diam. Maka apabila engkau berbicara, niscaya ditulis atasmu atau untukmu."[8]
Dan di antara yang menuntut lebih
berhati-hati dari dampat ucapan lisan, sesungguhnya seseorang terkadang keliru
dalam berbicara karena kelalaian darinya, maka menjerumuskan dalam neraka:
...وَإِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا
بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ.
"…Dan sesungguhnya hamba berbicara
dengan ucapan yang menyebabkan kemurkaan Allah I, yang tidak diperdulikannya, yang menjerumuskannya ke dalam
neraka."[9]
Ibnu Hajar berkata: 'Yang tidak
diperdulikannya' maksudnya: ia tidak memikirkan bahaya dan akibatnya, dan
ia tidak menyangka bahwa kata-kata itu memberikan dampak negatif. Maka sebelum
kata-kata keluar dari mulutmu, berikanlah dirimu untuk berpikir, apakah yang
akan engkau katakan menyebabkan ridha Allah I atau murkanya? Apakah ia termasuk kata-kata yang baik atau
kotor? Apakah kesudahannya baik atau buruk? Dan selama belum keluar dari
mulutmu, maka engkau memilikinya. Maka apabila telah keluar, niscaya menjadi
tawanannya.
Sebagaimana ucapan yang baik memasukkan
pelakunya di dalam iman, maka banyak sekali ucapan yang memberikan dampak
terhadap keimanan pelakunya, ia menjadi munafik atau keluar dari agama. Di
dalam hadits Hudzaifah t: 'Sesungguhnya seorang laki-laki berbicara dengan satu kata di
masa Rasulullah r, maka ia menjadi munafik karena ucapan itu. Dan sesungguhnya
aku mendengarnya dari seseorang dari kamu sepuluh kali di dalam majelis.'[10] Dan di dalam hadits
shahih: seseorang berkata kepada Ibnu Umar t: 'Sesungguhnya kami berkunjung kepada para pemimpin, lalu kami
mengucapkan kata-kata. Apabila kami keluar, kami mengatakan yang lain.' Ibnu
Umar t menjawab: 'Di masa Rasulullah r, kami menganggap hal itu termasuk sifat munafik.'[11]
Melatih diri adalah dengan membiasakan
lisan untuk mengucapkan yang baik dan menjaganya dari yang buruk. Diriwayatkan
bahwa Isa bin Maryam u bertemu babi di tengah jalan. Maka ia berkata kepadanya:
'Lewatlah dengan selamat' Maka beliau ditanya: 'Engkau mengatakan hal ini
kepada babi?' Isa u menjawab: 'Sesungguhnya aku khawatir membiasakan diriku
mengucapkan yang buruk.'[12] Maka ucapan yang baik
adalah dengan latihan dan kebiasaan, dan ucapan yang buruk juga seperti itu.
Dan bagi setiap orang bersama lisannya menurut kebiasaannya. Maka dengan
sedikit kesungguhan terjagalah lisan, dan dalam kelalaian sejenak menjadi
terumus.
Para sahabat Rasulullah r berhati-hati dari ucapan yang mubah (dibolehkan) karena
khawatir terjerumus dalam ucapan yang haram, karena bersungguh-sungguh dalam
memelihara lisan dan menjaga agama. Maka barangsiapa yang ingin keselamatan,
hendaklah ia menjauhi majelis-majelis ghibah (mengupat) dan menjaga lisannya
dari tergelincir, tidak mengatakan kecuali yang baik. Dan hendaklah ia dan
teman-temannya saling memberi nasehat menjaga lisan, dan meminta pertolongan
kepada Allah I. Rasulullah r mengajarkan para sahabatnya berlindung kepada Allah I dari kejahatan lisan.
قُلْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ
سَمْعِيْ وَشَرِّ بَصَرِي وَشَرِّ لِسَانِي وَشَرِّ قَلْبِي وَشَرِّ مَنِيِّي.
"Bacalah: aku berlindung kepada-Mu
dari kejahatan pendengaranku, kejahatan penglihatanku, kejahatan lisanku,
kejahatan hatiku, kejahatan air maniku."[13]
Berlindung kepada Allah I dari kejahatan lisannya terhadap kaum muslimin dan manis
ucapannya bersama selain mereka.
Dan Rasulullah r pernah ditanya: 'Islam apakah yang paling utama?' Beliau
menjawab:
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ
لِسَانِهِ وَيَدِهِ
'Orang
yang selamat kaum muslimin dari (kejahatan) lisan dan tangannya."[14]
Di antara memelihara lisan adalah
menjaganya dari pembicaraan yang tidak berguna dan tidak penting, maka
sesungguhnya Rasulullah r mengarahkan kepada setiap muslim agar mengambil keuntungan
dalam segala hal yang penting:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ اْلمَرْءِ
تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
"Di
antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan yang tidak berguna."[15]
Ibnu Majah
menyebutkan hadits dalam bab menahan lisan dalam fitnah (suasana kacau), karena
begitu termasuk keburukan lisan adalah penggunaannya yang tidak terkendali
dalam penyebaran berita dan menyalakan api fitnah. Dan dalam riwayat lain yang
diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya:
إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ
الْمَرْءِ قِلَّةُ الْكَلاَمِ فِيْمَا لاَ يَعْنِيْهِ
"Sesungguhnya
di antara kebaikan islam seseorang adalah sedikit pembicaraan dalam perkara
yang tidak berguna."[16]
Penggunaan lisan yang
terbaik adalah amar ma'ruf (menyuruh kepada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang
dari perbuatan mungkar), dan berdakwah kepada Allah I, hal itu merupakan kedudukan yang tertinggi. Dan yang paling
rendah adalah menahan lisan, selalu diam, menahan diri dari kehormatan orang
lain, dan menjaga dari segala keburukan.
[1] Fath al-Bari 11/308
[2] Syarh Shahih Muslim 18/328
[3] Musnad Ahmad 4/299.
[4] HR. at-Tirmidzi dan ia menghasankannya, dan
disetujui oleh al-Arna`uth (Jami' al-Ushul 11/698)
[5] Shahih al-Bukhari no. 6475
[6] HR. at-Tirmidzi no.2414 dan dinyatakan
hasan oleh al-Arna`uth.
[7] Musnad Ahmad 5/231, dan disyahihkan
oleh al-Arna`uth karena banyaknya jalurnya (jami' al-ushul 9/535).
[8] Fath al-Bari 11/309
[9] HR. al-Bukhari no.6478
[10] Musnad Ahmad 5/386, dari ucapan Hudzaifah t.
[11] Shahih Sunan Ibnu Majah 2/359.
[12] Muwaththa` Imam Malik 2/985.
[13] Shahih Sunan an-Nasa`i 3/1108.
[14] Shahih al-Bukhari no. 11.
[15] Shahih Sunan Abi Daud 2/360, hadits no
3211/3976 dari kitab Fitan bab 12
[16] Musnad Ahmad 1/201
Post a Comment