Sifat Wara'
Sifat Wara'
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah
orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah"
Sesungguhnya orang yang
mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan
larangan dan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap
hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah I di dunia maupun di akhirat.
Maka wara' di
sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal
yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar
tidak merugikan agamanya.
Di antara tanda
yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar
biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju
kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu,
Rasulullah r bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ
الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ
كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ
لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
"Sesungguhnya
yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal
syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga
diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan
kehormatannya."[i]
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang
diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih
berat:
"Dan sesungguhnya orang yang
bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan)."[ii]
Maka wara' yang
sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah:
yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap
diri sendiri di setiap kedipan mata.[iii]
Perjalanan kejatuhan
berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya
menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya.
Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini
dengan katanya: 'Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu
yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia
menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya
dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia
menuju kepada yang makruh.'[iv] Ibnu Hajar rahimahullah
memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: 'Sesungguhnya yang halal,
sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada
yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang
halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan
diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa.
Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada
waktu untuk beribadah, pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman
dan disaksikan dengan pandangan mata.[v]
Ciri mendasar pada
seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang
hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh
al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka
sifat wara' adalah menjauhinya.'[vi] Imam al-Bukhari rahimahullah
mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu
yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang
meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu."[vii] Sebagaimana diriwayatkan
dari Rasulullah r, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ
النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ
النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
"Kebaikan
adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya,
sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak
merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar
kepadamu."[viii]
Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah
secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
"Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."[ix]
Orang-orang yang
memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka
sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada
sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ
مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
"Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa
sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang
dilarang."[x]
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ
الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
"Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan
yang haram …"[xi]
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya
bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam
berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini
menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat
dalam keselamatan."[xii]
Sebagaimana wara'
meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka sesungguhnya ia
juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera
memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah
membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara') dari
menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.' Ishaq bin
Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama
daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia
berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak…[xiii]
Di antara renungan
Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah r, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah r mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ
تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
"Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia
meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya."[xiv]
Dan di antara
hasil yang nampak bagi sikap wara' bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus
(dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang
melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara',
maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk
terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[xv] Dan dalam hadits ifki
(berita bohong), 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang Zainab radhiyallahu
'anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus
dalam perkara yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah I menjaganya dengan sifat wara'[xvi]
Sebagaimana orang yang
wara' memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ
اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat,
niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ..."[xvii]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini
menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam
usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat
celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara
agama dan menjaga sikap muru`ah.'[xviii]
Maka apabila wara'
merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ
النَّاسِ
"Jadilah
orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah."[xix]
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara':
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara'"[xx]
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak
tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga
diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak
mengetahui.
Maka sesungguhnya
banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu
Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa
takut mereka dari sifat nifaq tidak
berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan
sikap wara' dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu 'anhum
jami'an.
Seperti inilah
sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan
menimbang amal perbuatan kita sendiri.
Kesimpulan:
1.
Wara' adalah sikap takut yang mendorong
seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehati-hatian.
2.
Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah:
a.
Sangat berhati-hati dari yang haram dan
syubhat.
b.
Membuat pembatas di antaranya dan yang
dilarang.
c.
Menjauhi semua yang diragukan.
d.
Tidak berlebihan dalam persoalan yang
boleh.
e.
Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan
ilmu.
f.
Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
3.
Di antara buah wara' adalah:
a.
Menjaga diri dari istidraj.
b.
Menjaga agama dan kehormatan.
4.
Di antara sikap wara' para sahabat bahwa
mereka sangat khawatir terhadap diri
mereka dari sifat nifaq.
[i] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan
Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107.
[ii] Sunan Abu Daud, kitab buyu' (jual beli), bab
ke-3 no. 3329.
[iii] Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 290.
[iv] Fath al-Bari 1/127, saat menjelaskan hadits
no. 52. dari kitab al-Iman, bab ke-39.
[v] Fath al-Bari 1/127.
[vi] Fath al-Bari 4/293, dari syarah bab ke-3, dari
kitab Buyu'.
[vii] Shahih al-Bukhari, dari judul bab ke-3, dari
kitab al-Iman.
[viii] Shahih al-Jami' no. 2881 (Shahih).
[ix] Shahih al-Jami' no. 5564 (Shahih)
[x] HR. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hasan.
[xi] Shahih al-Jami' no. 152 (Shahih).
[xii] Tahdzib Madarijus salikin hal. 292.
[xiii] Tahdzib Madarijus salikin hal. 290.
[xiv] HR. at-Tirmidzi no. 2318 (Hasan).
[xv] Fath al-Bari 1/127-128, saat menerangkan bab
ke-39 dari kitab al-Iman.
[xvi] Shahih al-Bukhari, kitab Maghazi, bab
ke-34, hadits no. 4141.
[xvii] Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, bab ke-39,
hadits no. 52.
[xviii] Fath al-Bari 1/127.
[xix] Shahih al-Jami' no. 4580 (Shahih).
[xx] Shahih al-Jami' no. 3308.
Post a Comment