Tawadhu
Tawadhu'
(Rendah Hati)
'Tidak ada seseorang
yang merendahkan diri karena Allah I melainkan Allah I akan mengangkat derajatnya.'
Allah I Maha Mulia dan menghendaki agar hamba-hamba-Nya menjadi
orang-orang yang mulia, bahwa luasnya kemuliaan mereka tidak merasa lebih
tinggi di atas saudara-saudara mereka. Maka saat itu ia merasa bangga terhadap
diri sendiri, merasa di atas yang lain, dan merendahkan kedudukan mereka.
Dan Allah I memberi karunia kepada hamba-hamba-Nya dengan memberi petunjuk
untuk beriman. Maka jika mereka enggan dan memilih kesesatan, maka Dia I Maha Kuasa mengganti mereka dengan satu kaum yang mulia dengan
iman mereka dan merendahkan diri terhadap saudara-saudara mereka:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن
يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ
Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang
mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela…. (QS.
al-Ma`idah:54)
Maka inilah sifat lemah-lembut terhadap orang-orang beriman yang
merupakan sifat orang-orang terpilih untuk membawa agama ini –saat murtadnya
orang-orang yang murtad darinya-.
Dan dalam tafsir
ayat: أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
:maksudnya santun kepada orang-orang beriman, kasih sayang dan lemah lembut
terhadap mereka… dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan memusuhi
mereka. Ibnu Abbas t berkata: 'Sikap mereka terhadap orang-orang beriman seperti
seorang ayah terhadap anak dan majikan terhadap budak, dan sikap mereka
terhadap orang-orang kafir seperti binatang buas terhadap mangsanya. Firman
Allah I:
أَشِدَّآءُ
عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
(Mereka)
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka... (QS. al-Fath:29)[1]
Dan dalam penggunaan huruf jar dalam firman Allah I: أَذِلَّةٍ
عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ ada dua penafsiran:
Menurut satu pendapat (ia mengandung pengertian kasih sayang dan santun,
seakan-akan Dia I berfirman: Bersifat santunlah kepada orang-orang beriman dengan
cara merendahkan diri dan tawadhu'. Dan menurut pendapat yang lain sesungguhnya
('Ala/di atas) menunjukkan tingginya kedudukan mereka, dan sekalipun
mereka mulia dan tinggi kedudukannya, mereka tetap tawadhu' terhadap orang yang
lebih rendah kedudukannya.[2]
Mulia adalah sifat
yang terpuji, sedangkan sombong terhadap orang lain dan membanggakan diri
('ujub) adalah sifat tercela. Dan sesungguhnya Allah I merendahkan nilai dunia dalam pandangan orang yang beriman dan
menyatakan hinanya terhadap Allah I,
agar semua manusia menyadari bahwa sesungguhnya:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ
فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi
Allah kemuliaan itu semuanya…. (QS. Fathir:10)
Dan sesungguhnya Allah I
memuliakan wali-wali-Nya dengannya, sekalipun mereka berada di puncak cobaan
(musibah,bala):
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu'min,
tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (QS. al-Munafiqun:8)
Bersama semua kemuliaan ini, yang dituntut dari seorang mukmin
adalah sikap keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang bersama
orang-orang beriman. Ibnu Quddamah rahimahullah mengatakan dalam
pembahasannya tentang tawadhu': 'Ketahuilah, sesungguhnya makhluk ini sama
seperti makhluk lainnya, mempunyai dua sisi dan
pertengahan: maka sisinya yang cenderung berlebihan dinamakan sombong, dan
sisi lainnya yang cenderung kepada kekurangan dan kerendahan disebut kehinaan,
dan pertengahan dinamakan tawadhu' –dan itulah yang terpuji- yaitu merendahkan
diri tanpa menghinakan diri…'[3]
Sesungguhnya di antara
pendidikan adab yang diajarkan Rasulullah r kepada orang-orang beriman terhadap makhluk, sesungguhnya
Rasulullah r berdo'a:
اَللّهُمَّ
أَحْيِنِي مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِي مِسْكِيْنًا وَاحْشُرْنِي فِى زُمْرَةِ
الْمَسَاكِيْنِ
"Ya Allah,
hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan
giringlah aku (di hari kiamat) dalam golongan orang-orang miskin."[4]
Ibnu al-Atsir rahimahullah berkata: maksud beliau adalah
tawadhu' dan merendahkan diri, dan agar beliau tidak termasuk orang-orang
sombong yang congkak.[5] Khalifah Umar t mendidik para penjabatnya agar bersifat rendah hati terhadap
rakyat dan melarang mereka menghinakan manusia, sebagaimana dia t mengajarkan kepada manusia tentang hak mereka agar mereka hidup
secara mulia. Dan di antara khotbahnya: 'Ketahuilah, sesungguhnya aku, demi
Allah, tidak mengutus para penjabatku untuk memukul kulitmu dan tidak pula
untuk mengambil hartamu, akan tetapi aku mengutus mereka kepadamu untuk
mengajarkan kepadamu agama dan sunnahmu. Maka barangsiapa yang diperlakukan
selain yang demikian itu, maka hendaklah ia melaporkannya kepadaku. Maka demi
Allah I yang diriku berada di tangan-Nya, tentu aku akan mengqishashnya
darinya…ketahuilah, janganlah kamu memukul kaum muslimin, maka kamu merendahkan
mereka…'[6] Dan Umar t berpesan kepada para penjabatnya terhadap daerah terlarang
dengan ucapannya: 'Rendahkanlah dirimu terhadap kaum muslimin, hati-hatilah
terhadap doa kaum muslimin, maka sesungguhnya doa orang-orang yang dianiaya
dikabulkan.'[7]
Mengakui kesalahan membutuhkan keberanian tinggi dan jiwa
besar serta sifat tawadhu’ yang mantap. Sekalipun nafsu membisiki bahwa
pengakuan engkau bisa menjatuhkan martabat engkau. Maka bersungguh-sungguhlah
untuk berada di atas kebenaran, sebagaimana menerima permohonan maaf juga
merupakan sifat tawadhu’ dan kemuliaan yang tinggi. Maka jiwa yang kotor
mengharapkan kesalahan orang lain, agar merasa puas dengan memberi kritik,
intropeksi dan ketenaran. Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengungkapkan hal
ini dengan katanya: ‘Barangsiapa yang berbuat jahat kepadamu, kemudian ia
datang meminta maaf terhadap kesalahannya. Maka sesungguhnya sifat rendah diri
mengharuskan engkau menerima permohonan maafnya –apakah permohonan maafnya itu
benar atau hanya berpura-pura- dan menyerahkan kebenarannya kepada Allah I. Dan tanda pemurah dan tawadhu adalah sesungguhnya
apabila engkau melihat kekurangan dalam permintaan maafnya, janganlah engkau
menghentikannya dan memperdebatkannya...[8]Maka
menjauhlah dari perasaan berat, baliklah lembaran hidup, dan mulailah dari yang
baru, temanmu akan merasa segan terhadapmu karena engkau menerima permohonan
maafnya dan tidak terlalu mempersoalkan permohonan maafnya.
Dan apabila engkau bersikeras
meletakkan temanmu pada posisi merendahkannya dan menghitungnya dalam
perhitungan ragu-ragu, berarti engkau telah berani memerangi Allah I, dan engkau tidak pernah mampu melakukannya, seperti disebutkan
dalam hadits qudsi:
مَنْ أَذَلّ َلِي وَلِيّاً فَقَدْ اسْتَحَلَّ مُحَارَبَتِي
“Barangsiapa
yang memerangi waliku, berarti ia menyatakan perang terhadapku.” [9]
Allah I adalah wali setiap orang yang beriman.
Sesunguhnya orang yang maju ke depan untuk
memimpin manusia, mengarahkan mereka, menarik hati mereka maka ia harus
memiliki rasa rendah diri yang tinggi. Karena itulah Allah I menyuruh Nabi-Nya dengan firman-Nya:
وَاخْفِضْ
جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang
mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (QS. asy-Syu'ara :215)
Maka bagaimana keadaan
umat sesudah beliau r–sedang mereka lebih rendah kedudukan dan akhlak- tidak
merendahkan diri mereka? Dan disebutkan dalam hikmah: Barangsiapa yang selalu
rendah diri niscaya banyak temannya. Maka bila engkau ingin mencari para
pendukung terhadap dakwahmu, engkau harus rendah diri. Jauhilah sikap ujub dan
sombong, dan yang paling berbahaya adalah perasaan ujub dalam ibadah yang
membuat engkau menganggap remeh orang lain karena ibadahmu. Karena itulah
diriwayatkan dari al-Mutharrif rahimahullah,
ia berkata: ‘Sungguh aku tidur di malam hari dan menyesal di pagi hari, lebih
kusukai dari pada shalat di malam hari dan di pagi hari merasa bangga (ujub).[10]
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
mendefinisikan tawadhu’ dengan katanya: yaitu merendahkan diri terhadap
kebenaran, tunduk kepadanya, dan menerimanya dari orang yang mengatakannya.’[11]
Tunduk terhadap kebenaran adalah kemuliaan yang sebenarnya, karena ia adalah
taat kepada Allah I, kembali kepada kebenaran, dan membiasakan diri agar
tidak terus-menerus di atas kebatilan. Karena itulah Nabi r bersabda:
ومَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ
إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidak ada
seseorang yang merendahkan diri karena Allah I kecuali Allah I meninggikan derajatnya.”[12]
Barangsiapa yang
tujuannya adalah mencari ridha Allah I, tunduk terhadap kebenaran terasa mudah baginya, seperti yang diriwayatkan
dari Ubaidullah bin al-Hasan al-Anbari rahimahullah, sesungguhnya ia
ditanya tentang meminta, lalu ia keliru padanya. Maka tatkala ia diingatkan
terhadap kekeliruannya, ia menundukkan kepalanya sesaat lalu berkata: ‘Kalau
begitu saya kembali, dan saya seorang yang hina. Sungguh aku berdosa dalam
kebenaran lebih kusukai dari pada aku menjadi pimpinan dalam kebatilan.’[13]
Seperti inilah orang yang berilmu, ia rendah diri karena Allah I dan tunduk terhadap kebenaran, karena itulah tujuannya,
sekalipun di antara dia dan orang yang kebenaran ada pada lisannya itu ada
permusuhan dan perselisihan.
Tidak tunduk terhadap kebenaran adalah
kesombongan yang sebenarnya dan kezaliman, karena itulah Rasulullah r mendefinikan takabur dengan sabdanya:
الْكِبْرُ بَطْرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah
menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”[14]
Dengan ini kita melihat bahwa tawadhu, di
samping sebagai akhlak yang terpuji, ia merupakan penjaga agar tidak terjerumus
dalam perbuatan zalim, dan memelihara dari sifat sombong dan berbangga diri
terhadap saudara-saudara seagama. Disebutkan dalam hadits:
إِنَّ
اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ: أَنْ تَوَاضَعُوْ حَتَّى لاَيَفْخَرُ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
وَلاَ يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah
I mewahyukan kepadaku: bersifat tawadhu’lah, sehingga seseorang
tidak merasa bangga terhadap orang lain dan seseorang tidak berbuat aniaya
terhadap orang lain.”[15]
Kendati
kedudukan Rasulullah r sangat tinggi, sesungguhnya ketika beliau melihat seseorang
gemetar karena takut terhadap beliau, karena ia mengira beliau sama seperti
raja-raja di muka bumi, beliau bersabda kepadanya:
هَوِّنْ
عَلَيْكَ فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ, إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ
تَأْكُلُ الْقَدِيْدَ
“Tenanglah,
sesungguhnya aku bukanlah seorang raja. Aku hanyalah seorang anak dari seorang
perempuan suku Quraisy yang memakan daging dendeng".[16]
Di antara kesempurnaan tawadhu’nya Rasulullah r bahwa beliau r membantu keluarganya –sedangkan beliau mampu meminta bantuan
pembantu- dan memberi salam kepada anak-anak yang beliau temui di tengah jalan
–sedangkan beliau adalah yang ditakuti para raja. Sehingga saat beliau berada
di puncak kekuatan dan kemenangannya, beliau tidak bersikap keras di muka bumi.
Maka tatkala di hari memerangi Bani Quraizhah, beliau berada di atas keledai
yang dikekang dengan tali dari sabut. Dan saat beliau memasuki kota Makkah sebagai
pemenang, beliau menundukkan kepalanya karena tawadhu’ kepada Allah I karena khawatir terhadap penyusupan rasa takabur ke dalam jiwa
pemenang, yang dibisikan oleh hawa nafsunya bahwa dialah yang membuat
kemenangan dan melupakan karunia dan taufik Allah I. Syaikhul Islam rahimahullah menggambarkan keadaan
Rasulullah r dengan katanya: ‘Sesungguhnya beliau memilih sifat hamba
–penghambaan- sekalipun beliau dan para pengikutnya adalah yang tertinggi, dan
beliau tidak menghendaki yang tertinggi, sekalipun telah memperolehnya.[17]
Dan
cukuplah bagi orang-orang yang sombong agar kembali ke jalan yang lurus bahwa
mereka menyadari bahwa Allah I tidak menyukai mereka, memalingkan mereka dari ayat-ayat-Nya,
mengunci hati mereka, dan mengancam akan memusnahkan mereka, dan barangsiapa
yang di hatinya mengandung sifat sombong, walaupun hanya seberat biji sawi,
niscaya Allah I akan menjerumuskannya ke dalam neraka.[18]
Hukuman balasan seperti ini karena ada kandungan sifat sombong seberat biji
sawi. Maka seseorang sangat membutuhkan pelatihan untuk menjaga hatinya dari
perasaan sombong, ‘ujub, dan terperdaya.
Dan
tidaklah mendorong seseorang bersikap sombong kecuali perasaan ingin berbeda
dengan lain, atau keinginan tidak tunduk terhadap seseorang, atau berusaha
menutupi kekurangan pribadinya, dan semua itu membinasakan seseorang:
...فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ: فَشُحٌّ مُطَاعٌ
وَهَوًى مُتَّبَعًا وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“…Maka yang
membinasakan, yaitu sifat pelit yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, dan
perasaan ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.”[19]
Sebagaimana orang yang tawadhu’ cukup dengan menyadari bahwa
Allah I meninggikan derajatnya dan sesungguhnya hamba-hamba Allah I menyukainya, sesungguhnya Rasulullah r adalah suri tauladannya, dan sesungguhnya ia lebih mengetahui
kebesaran Rabb-Nya dan kekurangan dirinya. Maka berhati-hatilah dari terperosok
bersama waswas syetan dan hawa nafsu, semoga engkau termasuk orang-orang yang
dicintai Allah I dan mereka mencintai-Nya:
أَذِلَّةٍ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
…yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang
mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, . (QS. al-Ma`idah:54)
Kesimpulan:
1. Orang-orang yang dicintai Allah I dan mereka mencintainya adalah orang-orang yang tawadhu.
2. Tidak ada kontradiksi di antara sikap
keras terhadap orang-orang kafir dan sikap lembut terhadap orang-orang yang
beriman.
3. Khalifah Umar t mendidik para penjabatnya agar bersifat rendah diri terhadap
rakyat mereka.
4. Termasuk sifat tawadhu adalah mengakui
kesalahan dan menerima permohonan maaf dari orang lain.
5. Merendahkan diri termasuk sifat orang
yang maju untuk memimpin manusia.
6. Termasuk tawadhu adalah tunduk terhadap
kebenaran dan mematuhinya.
7. Termasuk yang membantu sifat tawadhu
adalah mengingat asal kejadian manusia.
8. Sifat tawadhu yang paling agung adalah
saat berada di puncak kekuatan dan kemenangan.
9. Termasuk yang membantu bersifat tawadhu
adalah mengingat pahala tawadhu dan ancaman dosa terhadap orang-orang yang
sombong.
10. Cukuplah sebagai kemuliaan orang yang
tawadhu adalah kecintaan hamba-hamba Allah I kepadanya dan Allah I
meninggikan derajatnya.
[1] Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 6/220
[2] Tafsir al-Bahrul Muhith, karya Abu Hayyan
al-Andalusi 3/512.
[3] Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 254.
[4] Shahih Sunan at-Tirmidzi 2/275, kitab zuhud,
bab ke-23, no. 1917/2471 (Shahih).
[5] Dari hasyiyah Shahih al-Jami' 1/271, komentar
terhadap hadits no. 1261.
[6] Musnad Ahmad 1/41. Syaikh Ahmad Syakir
rahimahullah berkata: Isnadnya hasan. (286).
[7] Shahih al-Bukhari, kitab al-Jihad, bab ke-180,
no. 3059.
[8] Tahdzib Madarijus
Salikin, hal. 433.
[9] Musnad Ahmad 6/256.
[10] Minhajul qashidin hal. 254.
[11] Madarijus salikin
[12] HR. Muslim dan at-TIrmidzi (Jami al-Ushul 6/455, no. 4660).
[13] Tahdzib tahdzib, 7/7 (12)
[14] Shahih Muslim, kitab iman, bab ke-39, no. 147
[15] Shahih Muslim, kitab al-Jannah, bab ke-16, no. 64.
[16] Shahih SUnan Ibnu Majah 2/232, no.2677/3312 (Shahih).
[17] Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah 11/131
[18] Musnad Ahmad 2/250, dan
semua perawinya adalah perawi kitab shahih.
[19] Shahih al-Jami’, no. 3045
(Hasan).
Post a Comment