4.5 HUBUNGAN ANTARA UMMAT ISLAM DENGAN GHAIRUL ISLAM

4.5  HUBUNGAN ANTARA UMMAT ISLAM DENGAN GHAIRUL ISLAM

KALAU kita hendak menyimpulkan ajaran-ajaran Islam dalam masalah hubungan dengan golongan ghairul Islam --tentang soal halal dan haram-- cukup kiranya kita berpangkal kepada dua ayat al-Quran yang tepat untuk dijadikan konstitusi (dustur) yang menyeluruh dalam permasalahan ini. Kedua ayat itu ialah:

    “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari kampung-kampungmu sebab Allah senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya melarang kamu bersahabat dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir kamu; barangsiapa bersahabat dengan mereka, maka mereka itu adalah orang-orang zalim.” (al-Mumtahinah: 8-9)

    Ayat pertama tidak sekadar senang keadilan dan kejujuran terhadap golongan ghairul Islam yang tidak memerangi ummat Islam dan tidak mengusir mereka, yakni orang-orang yang tidak menaruh peperangan dan permusuhan terhadap Islam, bahkan ayat tersebut senang ummat Islam berbuat baik kepada mereka.

    Kata-kata birr (berbuat baik) suatu kata yang mempunyai: pengertian sangat luas, meliputi semua nilai kebaikan dan pergaulan secara luas, melebihi arti adil biasa.

    Kata ini juga yang dipakai oleh kaum muslimin dalam hubungannya dengan masalah kewajiban hak-hak kemanusiaan, misalnya birr ul walidain.

    Kami katakan demikian, kerana ayat tersebut mengatakan “sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang berlaku adil,” sedang orang mu'min senantiasa berusaha untuk merealisasi apa yang dicintai Allah.

    Perkataan: "Allah tidak melarang kamu," ini dimaksudkan untuk menghilangkan perasaan, bahawa orang yang berlainan agama tidak berhak mendapat penghargaan, keadilan, kasih-sayang dan pergaulan yang baik.

    Justru itu Allah menjelaskan kepada orang-orang mu'min, bahawa ia tidak melarang untuk mengadakan hubungan yang baik dengan orang-orang yang berlainan agama, bahkan dengan orang-orang yang memerangi dan mengganggunya sekalipun.

    Ungkapan ini mirip dengan firman Allah yang berkenaan dengan masalah Shafa dan Marwah, ketika sementara orang berkeberatan melakukan sa'i antara kedua gunung tersebut, kerana ada suatu penyerupaan dengan orang-orang jahiliah yang juga melakukan demikian. Untuk itu maka Allah mengatakan:

    “Barangsiapa haji ke Baitullah atau umrah, maka tidak berdosa atasnya melakukan tawaf pada keduanya.” (al-Baqarah: 158)

    Dengan dihapusnya dosa, berarti hilanglah perasaan-perasaan yang tidak baik itu, kendati pada hakikatnya tawaf pada keduanya itu sendiri hukumnya wajib kerana termasuk manasik haji.



4.5.1  Tinjauan Khusus untuk Ahli Kitab

Kalau Islam tidak melarang mengadakan hubungan baik dan keadilan dengan golongan ghairul Islam dari agama manapun, kendati dengan penyembah berhala (watsaniyyin), seperti musyrikin Makkah yang secara khusus Allah telah menurunkan dua ayat perihal status mereka, maka Islam mempunyai pandangan khusus terhadap ahli kitab, iaitu: Yahudi dan Nasrani, baik mereka itu berada di bawah kekuasaan Islam atau di luar kekuasaan Islam.

    Al-Quran tidak memanggil mereka melainkan dengan menggunakan panggilan hai ahli kitab dan hai orang-orang yang telah diberi kitab. Ini memberi gambaran, bahawa mereka itu pada mulanya adalah pemeluk agama samawi. Oleh kerana itu di antara mereka dengan kaum muslimin terdapat saling berhubungan dan berkerabat, sebagai satu manifestasi dari satu agama yang dibawa oleh seluruh Nabi. Firman Allah:

    “Allah telah menerangkan kepadamu dari (urusan) agama apa yang telah diwajibkan kepada Nuh, dan yang telah kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah kami wajibkan kepada lbrahim, Musa dan Isa, iaitu hendaknya kamu menegakkan agama dan jangan bercerai-berai tentang urusan agama.” (as-Syura: 13)

    Kaum muslimin dituntut untuk mempercayai semua kitab Allah dan segenap RasulNya. Sedang iman mereka hanya dapat dibuktikan dengan kepercayaan ini. Maka berfirmanlah Allah:

    “Katakanlah! Kami beriman kepada Allah, dan apa-apa yang diturunkan kepada kami, dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'qub dan anak-cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, dan apa yang diberikan kepada para Nabi dari Tuhan mereka; kami tidak akan membeza-bezakan di antara seorang pun dari mereka dan kami tetap menyerah kepadaNya.” (al-Baqarah: 136)

    Ahli kitab kalau mahu membaca al-Quran, mereka akan menjumpai beberapa pujian terhadap kitab mereka, rasul mereka dan nabi-nabi mereka.

    Oleh kerana itu, kalau ummat Islam mengadakan perdebatan dengan ahli kitab, hendaknya selalu dihindari sikap berlebihan yang kadang-kadang dapat memanaskan hati dan membangkitkan permusuhan. Firman Allah:

    “Dan jangan kamu mengadakan perdebatan dengan ahli kitab melainkan dengan perdebatan yang kiranya lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim dari antara mereka, (Namun begitu) katakanlah: kami beriman kepada kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Esa, dan kepadaNya kami menyerah.” (al-Ankabut: 46)

    Kita semua sudah tahu, betapa Islam membenarkan makan makanan dan sembelihan ahli kitab. Dan begitu juga dibolehkan kita mengadakan hubungan perkawinan denyan perempuan-perempuan mereka, padahal perkawinan itu sendiri intinya demi ketenteraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih-sayang (rahmah), Firman Allah:

    “Makanan orang-orang yang diberi kitab (ahli kitab), halal buat kamu dan makananmu halal buat mereka, dan begitu juga perempuan mu'min yang terpelihara dan perempuan-perempuan yang terpelihara dari orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu.” (al-Maidah: 5)

    Ini, dalam hubungannya dengan ahli kitab secara umum. Adapun khusus terhadap orang-orang Nasrani, al-Quran telah meletakkan mereka pada suatu tempat yang berdekatan sekali dengan orang-orang Islam. iaitu seperti diterangkan Allah:

    “Sungguh kamu akan menjumpai orang yang paling dekat cintanya kepada orang-orang mu'min, ialah orang-orang yang mengatakan: kami ini adalah nashara; yang demikian itu disebabkan di antara mereka ada pendeta-pendeta dan pastor-pastor, dan sesungguhnya mereka itu tidak sombong.” (al-Maidah: 82)



4.5.2  Ahludz Dzimmah (Orang Kafir yang Berada di Wilayah Pemerintahan Islam)

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas meliputi seluruh ahli kitab di mana saja mereka berada. Tetapi untuk mereka yang berada di bawah naungan pemerintahan Islam ada satu tempat khusus. Mereka ini dalam istilah yang dipakai ummat Islam dinamakan Ahludz Dzimmah. Dzimmah itu sendiri artinya: perjanjian.

    Kata-kata ini memberikan suatu isyarat, bahawa mereka itu mendapat perjanjian Allah, Nabi dan jama'atul muslimin untuk hidup di bawah naungan Islam dengan aman dan tenteram.

    Mereka ini dalam istilah sekarang disebut Warga Negara dalam suatu negara Islam.

    Seluruh ummat Islam dari dahulu sampai sekarang sudah sepakat, bahawa apa yang bermanfaat buat mereka bermanfaat juga bagi ummat Islam dan apa yang membahayakan mereka, berbahaya juga bagi ummat Islam. Kecuali masalah keyakinan dan urusan agama, maka Islam berlepas diri dari mereka berikut cara-cara persembahannya.

    Rasulullah s.a.w. memperkeras wasiatnya tentang masalah ahli kitab ini, dengan suatu ancaman siapa yang menentangnya akan mendapat murka dan siksaan Allah.

    Seperti tersebut dalam salah satu hadisnya yang berbunyi sebagai berikut: "Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka sungguh ia mengganggu saya, dan barangsiapa mengganggu saya, maka sungguh ia mengganggu Allah." (Riwayat Thabarani)

    "Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka saya adalah musuhnya, dan barangsiapa memusuhi saya, maka akan saya musuhinya nanti di hari kiamat." (Riwayat al-Khatib)

    "Barangsiapa berlaku zalim kepada seorang kafir 'ahdi, atau mengurangi haknya, atau memberi beban melebihi kemampuannya, atau mengambil sesuatu daripadanya dengan niat yang tidak baik, maka saya adalah pembelanya nanti di hari kiamat." (Riwayat Abu Daud)

    Para khalifah Nabi telah melaksanakan perlindungan hak dan kehormatan ini terhadap warga negara yang bukan beragama Islam. Dan diperkuat pula oleh para ahli fiqih dalam berbagai madzhab.

    Seorang ahli fiqih Maliki Syihabuddin al-Qarafi mengatakan: "Perjanjian perlindungan adalah menentukan hak yang harus kita patuhinya kerana sesungguhnya mereka itu berada di samping kita, dalam perlindungan kita, dalam perjanjian kita, dalam perjanjian Allah, dalam perjanjian Rasulullah dan dalam perjanjian Islam. Oleh kerana itu barangsiapa mengganggu mereka kendati dengan sepatah kata yang tidak baik, atau dengan mengumpat yang menodai kehormatan mereka, atau macam gangguan apapun atau membantu perbuatan tersebut, maka sungguh ia telah mengenyampingkan perjanjian Allah, perjanjian Rasulullah dan perjanjian Agama Islam."
[36]

    Ibnu Hazm, salah seorang ahli fiqih Dhahiri mengatakan: "Kalau ada kafir harbi datang ke negeri kita untuk mengganggu ahludz-dzimmi, maka kita wajib keluar untuk melawannya dengan memanggul senjata dan bersedia mati demi melindungi orang yang berada dalam lindungan Allah dan RasulNya. Sebab menyerahkan mereka ini berarti mengabaikan perjanjian perlindungan."[37]

4.5.3  Bersahabat dengan Golongan Ghairul Islam dan Penganutnya

Barangkali ada perasaan ingin bertanya dan menjadi tutur-kata oleh sementara orang: bagaimana mungkin dapat diwujudkan suatu kebaikan, kasih-sayang dan pergaulan yang harmonis dengan golongan ghairul Islam, padahal al-Quran sendiri dengan tegas melarang berkasih-sayang dan bersahabat dengan orang-orang kafir, sebagaimana dinyatakan:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai ketua, sebahagian terhadap sebahagiannya. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai ketua, maka dia itu tergolong mereka, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim. Maka kamu melihat orang-orang yang dalam hatinya itu ada penyakit, cepat-cepat pergi kepada mereka.” (al-Maidah: 51-52)

    Jawabnya: bahawa ayat-ayat ini tidak mutlak, tidak mengenai setiap Yahudi dan Nasrani atau kafir. Kalau difahami demikian, niscaya akan terdapat kontradiksi antara ayat-ayat tersebut dengan nas-nas lainnya yang mengundang supaya dijalin saling pengertian dengan baik dengan seluruh pemeluk agama. Ditambah lagi dengan suatu perkenan kawin dengan ahli kitab dengan penegasan ayat-ayat alQuran yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

    “Allah menjadikan di antara kamu (suami-isteri) cinta dan kasih-sayang.” (ar-Rum: 21)

    Dan khusus tentang Nasrani Allah mengatakan: “Sungguh kamu akan menjumpai dari antara orang kafir yang lebih dekat cintanya kepada orang-orang mu'min, iaitu orang-orang yang mengatakan: kami adalah orang-orang Nasrani.” (al-Maidah: 83)

    Dengan demikian, maka ayat-ayat al-Maidah: 51-52 di atas ditujukan untuk orang-orang yang menentang Islam dan yang memerangi kaum muslimin. Oleh kerana itu tidak halal seorang muslim memberi bantuan dan saling bantu-membantu dengan mereka.

    Inilah yang dimaksud dengan muwalat (bersahabat, mengangkat orang kafir sebagai ketua).

    Dan dilarangnya pula kaum muslimin menjadikan mereka ini sebagai sahabat karib sehingga dengan mullah mereka dapat mengetahui rahasia-rahasia kita. Dan menjadikan mereka sebagai kawan yang bertugas sebagai infiltran yang dibiayai oleh golongan dan agamanya. Terhadap mereka ini al-Quran dengan tegas menyatakan:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu menjadikan sahabat karib orang-orang selain golonganmu, mereka itu tidak mahu menolong kamu dari kecelakaan, mereka itu senang kalau kamu susah; sungguh telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, sedang apa yang tersembunyi dalam hati mereka lebih besar. Sungguh kami telah menerangkan kepadamu ayat-ayat kami kalau kamu mahu berfikir. Kamu ini adalah orang-orang yang kasih kepada mereka, tetapi mereka tidak mahu kasih kepadamu.” (ali-Imran: 118-119)

    Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang sifat-sifat mereka kepada kita, bahawa mereka itu menyembunyikan permusuhan dan kebenciannya kepada kaum muslimin dan telah dinyatakan dalam lidah mereka. Dan firmanNya pula:

    “Engkau tidak dapati orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu menunjukkan kecintaannya kepada orang-orang yang menentang Allah dan RasuINya, sekalipun mereka itu ayah-ayahnya sendiri, anak-anaknya sendiri, saudara-saudaranya sendiri dan keluarganya sendiri.” (al-Mujadalah: 22)

    Orang yang menentang Allah dan Rasul tidak sekadar kerana kufur tetapi justru kerana mereka memusuhi Islam dan kaum muslimin. Dan firman Allah:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu jadikan musuhku dan musuhmu sebagai ketua, kamu tampakkan kepada mereka rasa cinta, padahal mereka telah kufur terhadap kebenaran yang datang kepadamu, mereka akan mengusir Rasul dan kamu juga, lantaran kamu beriman kepada Allah sebagai Tuhanmu.” (al-Mumtahinah: 1)

    Ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah persahabatan dengan orang-orang musyrik Makkah yang pada waktu itu mereka memerangi Allah dan Rasul, dan mengusir orang-orang Islam dari Makkah justru kerana mereka mengatakan kami beriman kepada Allah. Orang-orang seperti ini tidak boleh kita ajak bersahabat.

    Kendatipun demikian, al-Quran tidak memutus harapan kejernihan mereka, dan tidak pula mengatakan sikap pesimis. Bahkan al-Quran memberikan suatu harapan kiranya dapat merombak sikap mereka itu dan menjernihkan hati mereka. Untuk itu dalam surah itu juga al-Quran mengatakan:

    “Barangkali Allah akan menjadikan antara kamu dan antara orang-orang yang kamu musuhi itu perasaan cinta, sedang Allah Maha Kuasa, dan Allah pun Maha Pengampun dan Belas-kasih.” (al-Mumtahinah: 7)

    Peringatan al-Quran ini kiranya cukup dapat melunakkan ketajaman pertentangan dan berkobarnya api permusuhan. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis yang berbunyi sebagai berikut: "Bencilah kamu kepada musuhmu itu sekadarnya saja, agar satu saat dia akan mencintaimu." (Riwayat Tarmizi dan Baihaqi) [38]

    Lebih keras lagi haramnya berkawan dengan musuh, apabila mereka itu orang-orang kuat, optimis dan menakutkan, sehingga kerananya orang-orang munafik dan yang sakit hati berusaha untuk berkawan dengan mereka dan mengangkatnya sebagai kawan pelindung untuk memperkuat barisannya, dengan suatu harapan akan sangat berguna di hari esok, untuk itulah, maka Allah berfirman:

    “Maka kamu akan melihat orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, pergi dengan cepat-cepat kepada mereka sambil berkata: kami takut akan mendapat kecelakaan, tetapi mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu urusan dari sisiNya, sehingga dengan demikian mereka akan menyesali apa-apa yang mereka rahasia akan dalam hati-hati mereka itu.” (al-Maidah: 52)

    “Beritahulah orang-orang munafik itu, bahawa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, iaitu orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai ketua, bukan kepada orang-orang mu'min. Apakah mereka mengharapkan kejayaan dari sisi mereka? Sesungguhnya kejayaan adalah milik Allah seluruhnya.” (an-Nisa': 138-139)



4.5.4  Orang Islam Minta Batuan Kepada Ghairul Islam

Tidak ada salahnya kaum muslimin --baik sebagai pemerintah mahupun sebagai rakyat biasa-- minta bantuan kepada golongan ghairul Islam dalam bidang pengetahuan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan agama (tidak merugikan agama - peny.), misalnya ilmu kedokteran, perindustrian, pertanian dan lain-lain. Sekalipun sebaiknya ummat Islam dapat berdiri sendiri dalam hal-hal tersebut.

    Dalam sirah nabawiyah (sejarah perjalanan nabi), bagaimana beliau boleh menggaji Abdullah bin Uraiqith --padahal dia seorang musyrik-- untuk menjadi pemandu dalam hijrahnya.

    Justru itu para ulama berpendapat: kerana kufurnya seseorang tidak berarti samasekali tidak boleh dipercaya dalam setiap hal. Sebab sedikitpun tidak ada bahayanya orang kafir menunjukkan jalan. Apalagi seperti jalan hijrah ke Madinah.

    Kebanyakan para ulama membenarkan kepala negara Islam minta bantuan kepada ghairul muslimin --khususnya ahli kitab-- dalam bidang kemiliteran, dan mereka pun harus diberi ghanimah seperti tentera Islam juga.

    Az-Zuhri meriwayatkan, bahawa Rasulullah s.a.w. pernah minta bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam bidang militer dan memberinya ghanimah. Dan Shafwan bin Umaiyah pernah berperang bersama Nabi dalam peperangan Hunain, dan tetapi ia menjadi tentara sekutu Nabi. (Riwayat Said dalam sunannya).

    Namun disyaratkan, orang yang diminta bantuan itu haruslah orang yang beri'tikad baik terhadap kaum muslimin. Kalau tidak, sudah barang tentu tidak boleh minta bantuannya. Sebab kalau kita sudah tidak boleh minta bantuan kepada orang Islam yang tidak dapat dipercaya, misalnya orang yang meninggalkan perang dan suka menyiarkan berita-berita bohong, apalagi minta bantuan kepada orang kafir yang bersifat demikian?! (al-Mughni 8: 41).

    Orang Islam dibenarkan juga memberi hadiah kepada ghairul Islam dan begitu juga menerima hadiah dari mereka. Sebab Rasulullah s.a.w. sendiri pernah menerima hadiah dari raja kafir [39]. Bahkan ahli-ahli hadis mengatakan: hadis-hadis yang menerangkan Nabi pernah menerima hadiah dari orang kafir itu sangat banyak. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, bahawa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda kepadanya:

    "Sungguh saya pernah memberi hadiah kepada raja Najasyi sebuah baju dan beberapa uqiyah dari sutera ..." (Riwayat Ahmad dan Thabarani)
Islam selalu menghargai manusia dari segi kemanusiaannya, bagaimana pula kalau dia itu ahli kitab atau kafir dzimmi?

    Pernah ada suatu jenazah diusung di hadapan Nabi, kemudian Nabi berdiri. Salah seorang sahabat ada yang bertanya: Ya Rasulullah! Itu adalah jenazah Yahudi! Jawab Nabi: Bukankah dia manusia juga?! [40]. Benar! kerana setiap manusia dalam Islam mendapat tempat dan penghormatan.



4.5.5  Islam Membawa Rahmat Kepada Umum Sampai Kepada Binatang Sekalipun

Bagaimana mungkin Islam membenarkan ummatnya untuk berbuat jahat dan menyakiti golongan ghairul Islam, sedang Islam itu sendiri sudah berwasiat kepada ummatnya untuk menaruh belas-kasih kepada setiap yang bernyawa, dan melarang berlaku kasar terhadap binatang.

    Islam telah mendahului mengadakan gerakan kasih kepada binatang 13 abad yang lalu, sehingga dimasukkan dalam bahagian iman dan berlaku kasar kepada binatang sebagai penyebab masuk neraka.

    Rasulullah s.a.w. pernah menceriterakan kepada para sahabatnya tentang seorang laki-laki yang menjumpai seekor anjing melolong kerana kehausan, kemudian dia melepas kasutnya dipenuhi air untuk memberi minum anjing tersebut sehingga merasa puas. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda:

    "Maka Allah berterimakasih kepada orang itu (kerana pertolongannya) serta mengampuninya. Lantas para sahabat bertanya: Apakah ada pahalanya lantaran binatang ya Rasulullah? Jawab Nabi: Dalam tiap hati yang masih basah ada pahalanya." (Riwayat Bukhari)

    Di balik lukisan cemerlang yang menyebabkan diperolehnya keampunan Allah ini, maka Rasulullah melukiskan bentuk lain pula yang menyebabkan murka dan siksaan Allah. Maka bersabdalah Nabi: "Seorang perempuan akan masuk neraka sebab kucing yang ditahannya, tidak diberinya makan dan tidak dilepaskannya untuk mencari makan dari serangga darat." (Riwayat Bukhari)

    Begitu kerasnya masalah kehormatan binatang, sampai-sampai pernah suatu ketika Rasulullah s.a.w. melihat seekor keledai yang dicap (dicos dengan besi yang membara) mukanya, kemudian Nabi memarahinya sambil ia bersabda: "Demi Allah saya tidak memberi tanda, kecuali pada tempat yang jauh dari mukanya." (Riwayat Muslim)

    Dalam hadis lain diceriterakan, bahawa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah melalui seekor keledai yang diberi tanda di mukanya. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apakah belum sampai kepadamu, bahawa saya melaknat orang yang memberi tanda (dengan key) pada binatang di mukanya, atau memukul binatang di mukanya?!" (Riwayat Abu Daud)

    Sebelum ini sudah pernah juga kita tuturkan, bahawa Ibnu Umar pernah menyaksikan beberapa orang yang menjadikan ayam sebagai sasaran latihan memanah, kemudian ia berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran (memanah)." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Abdullah bin Abbas juga berkata: "Rasulullah s.a.w. melaknat mengadu binatang." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)

    Sedang yang dimaksud dengan tahrisy (mengadu), iaitu binatang-binatang itu diadu sampai mati atau hampir mati.

    Dan Ibnu Abbas juga berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s a w. melarang keras mengkebiri binatang." (Riwayat Bazzar dengan sanad sahih)

    Begitu juga al-Quran mengecam perbuatan jahiliah yang membelah telinga binatang. Dinilainya perbuatan tersebut sebagai bisikan syaitan. (Lihat surah an-Nisa': 119),

    Kita sudah mengetahui dalam perbincangan tentang masalah penyembelihan, betapa tekanan Islam agar penyembelihan itu dilakukan dengan memberikan keringanan pada binatang dengan cara yang semudah-mudahnya, misalnya dengan menajamkan pisau dan dilakukan pada urat-urat nadi binatang itu. Dan dilarangnya menyembelih binatang di hadapan binatang lainnya.

    Waktu itu dunia belum mengenal kasih-sayang kepada binatang sejauh ini. Masih di luar khayal.

Tidak ada komentar