Perbedaan antara wali-wali Allah dan wali-wali syaithon
Perbedaan antara wali-wali Allah dan wali-wali syaithon
Anggapan yang telah menyebar di kaum muslimin pada
umumnya, terutama yang ada di Indonesia
bahwasanya yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan
yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang
ajaib yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang
memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki
kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang
sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah U dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah
ditetapkan oleh Allah U, namun dia mampu menunjukan keajaiban-keajaiban (yang
dianggap karomah) maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah U.
Hal ini disebabkan karena kaum muslimin (terutama yang
di Indonesia )
sejak kecil telah ditanamkan pemahaman yang rusak ini. Apalagi ditunjang dengan
sarana-sarana elektronik seperti adanya film-film para sunan yang menggambarkan
kesaktian para wali. Tentunya hal ini adalah sangat berbahaya yang bisa
menimbulkan rusaknya aqidah kaum muslimin.
Ketahuilah Allah U telah menjelaskan dalam kitab-Nya dan sunnah
Rosul-Nya bahwasanya Allah U memiliki wali-wali dari golongan manusia dan demikian
pula syaithon juga memiliki wali-wali dari golongan manusia. Maka Allah U membedakan antara para wali Allah dan para wali
syaithon.[1]
Sebagaimana firman Allah U :
اللهُ ولي
الذين آمنوا يخرجهم من الظلمات إلى النّور و الذين كفروا أولياؤهم الطاغوت
يخرجونهم من النور إلى الظلمات ألئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Allah adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman. Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada
cahaya. Dan orang-orang kafir penolong-penolong mereka adalah thogut
yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan-kegelapan. (Al-Baqoroh : 256)
فإذا قرأت
القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم. إنه ليس له سلطان على الذين آمنوا وعلى
ربهم يتوكلون. إنما سلطانه على الذين يتولونه و الذين هم به مشركون
Jika
engkau membaca Al-Qur’an maka berlidunglah kepada Allah dari (godaan) syaithon
yang terkutuk. Sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya terhadap orang-orang
yang beriman dan mereka bertawakal kepada Rob mereka. Hanyalah kekuatannya
terhadap orang-orang yang berwala’ kepadanya dan mereka yang dengannya berbuat
syirik. (An-Nahl :98-100)
ومن يتخذ
الشيطان وليا من دون الله فقد خسر خسرانا مبينا
Dan
barangsiapa yang menjadikan syaithon sebagai wali selain Allah maka dia telah
merugi dengan kerugian yang nyata
(An-Nisa’ : 119)
الذين آمنوا
يقاتلون في سبيل الله و الذين كفروا يقاتلون في سبيل الطاغوت فقاتلوا أولياء
الشيطان إن كيد الشيطان كان ضعيفا
Orang-orang
yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan
thogut. Maka perangilah para wali-wali syaithon sesungguhnya tipuan
syaithon itu lemah. (An-Nisa’ :
76)[2]
Mak
wajib bagi kita untuk membedakan manakah yang merupakan wali-wali Allah dan
manakah yang merupakan wali-wali syaithon, sebagaimana Allah dan Rosulullah
membedakannya.[3]
Definisi wali
Wali diambil dari lafal al-walayah
yang merupakan lawan kata dari al-‘adawah. Adapun arti dari al-walayah
adalah al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan).
Sedangkan arti al-‘adawah adalah al-bugdlu (kebencian) dan al-bu’du
(kejauhan). Sedangkan wali artinya yang dekat.[4]
Siapakah yang disebut wali Allah ?
Yang disebut wali Allah adalah orang yang dia
mencintai Allah U dan dekat dengan Allah U. Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat
berikut :
1. Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi r, menjalankan perintah Nabi r dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan
firman Allah U:
قل إن كنتم
تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله
Katakanlah
:”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai
kalian”
(Ali Imron :31)
Ayat
ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku
mencintai Allah U (termasuk di dalamnya orang
yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi r maka
kecintaannya kepada Allah U adalah
benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.
2. Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan
keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan
celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah U:
يا أيها الذين
آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم
يحبهم ويحبونه, أذلة على المؤمنين أعزة
على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لائم
Wahai orang-orang yang beriman barang siapa dari
kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah yang bersifat lemah
lembut kepada orang-orang mukmin, yang bersifat keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela.(Al-Maidah : 54)
3. Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan
hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah U:
ألا أن أولياء
الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون الذين آمنوا وكانوا يتقون
Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan
mereka selalu bertaqwa. (Yunus :
62,63)
Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun
tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta.[5]
Namun perlu diperhatikan bukanlah syarat seorang wali
dia harus ma’sum (tidak pernah berbuat salah), dan tidak pula dia harus menguasai
seluruh ilmu syari’at. Bahkan boleh baginya tidak mengetahui sebagian syari’at
atau masih samar baginya sebagian perkara agama. Oleh karena itu tidak wajib
bagi manusia untuk mengimani seluruh apa yang dikatakan oleh seorang wali Allah
sehingga dia tidak menjadi seorang Nabi r, tetapi seluruh yang dikatakannya dikembalikan kepada
ajaran Muhammad r. Jika sesuai, maka perkataannya diterima dan jika
tidak, maka ditolak. Dan jika tidak diketahui apakah sesuai atau tidak dengan
ajaran Nabi r maka tawaquf.[6] Dan
inilah sikap yang benar kepada wali Allah. Adapun sikap yang salah kepada wali
Allah yaitu membenarkan semua apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, atau
sebaliknya jika melihat dia mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyelisihi
syari’at maka langsung mengeluarkan dia dari kewaliannya.[7]
Umar
bin khottob t adalah contoh seorang wali Allah,
yang Rosulullah r bersabda tentangnya :
قد كان فيما
قبلكم من الأمم ناس محدثون فإن يكن من أمتي أحد فإنه عمر
Pada
umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan
berita ghoib atau sejenis ilham dari Allah). Kalaupun ada di kalangan umatku
satu orang, maka dia adalah Umar.[8]
إن الله ضرب
الحق على لسان عمر و قلبه
لو كان نبي
بعدي لكان عمر
Kalaulah ada nabi setelahku maka dia
adalah Umar.[10]
Hadits-hadits ini jelas menunjukan
bahwasanya Umar t adalah seorang wali Allah,
bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Namun hal ini tidak menunjukan
bahwa Umar t harus ma’sum (terjaga dari
kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya [11]:
a.
Yaitu Nabi r berumroh
pada tahun ke enam Hijroh bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu yang
berbai’at di bawah pohon- dan Nabi r telah
mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan
dengan kaum musrikin tersebut untuk kembali ke Madinah pada tahun ini dan
berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi r memberi beberapa syarat
terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum
muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin,
sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di
balik itu. Dan Umar t termasuk orang yang tidak
setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi r :”Wahai Rosulullah, bukankah
kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?”, maka Nabi r menjawab
:”Benar”, lalu Umar t berkata lagi :”Bukankah
orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang
yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi r menjawab
:”Benar”. Umar t berkata :”Kenapa kita
merendahkan agama kita?”, Nabi berkata :”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah
penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar t berkata :”Bukankah
engkau berkata kepada kami bahwa kita kita akan mendatangi baitulloh dan
berthowaf ?”, Nabi berkata :”Benar”. Nabi r berkata
lagi:”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya
pada tahun ini?”, Umar t berkata
:”Tidak”, Nabi r berkata
:”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthowaf.”
Umar pun
mendatangi Abu Bakar t dan berkata
kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar t pun
menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah r, padahal
dia tidak mendengar jawaban Rosulullah r. Dan Abu
Bakar t adalah orang yang lebih
sering sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar t, dan Umar t mengakui
kesalahannya dan berkata :”Aku benar-benar akan mengamalkannya”[12]
b.
Ketika Nabi r wafat, Umar
mengingkari kematian Nabi r. Namun
tatkala Abu Bakar t berkata :”Sesungguhnya dia
telah wafat”, maka Umar t pun
menerimanya.[13]
c.
Ketika Abu Bakar t memerangi orang-orang yang
enggan membayar zakat, maka Umar t berkata
kepada Abu Bakar t :”bagaimana bisa kita
memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda :”Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah. Apabila mereka mengakui hal
ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan
haknya””, maka Abu Bakar t berkata
:”Bukanlah Rosulullah bersabda “kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat
termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat
kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah maka aku akan memerangi
mereka karena ketidakmauan mereka”. Berkata Umar t :”Demi
Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar
untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui
bahwasanya dia adalah benar”[14]
Faidah
yang bisa diambil dari kisah ini adalah [15]:
a.
Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali.
b.
Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari
Allah U.
c.
Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali
Allah yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar t jelas lebih
mulia daripada Umar t, namun dia tidak mendapatkan
ilham dari Allah U.
d.
Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan
oleh Allah U dan Rosul-Nya dan menjauhi
larangan-larangan Allah U dan
Rosul-Nya. Sebagaimana Umar t yang tetap
melaksanakan perintah Allah U.
e.
Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan
Al-Kitab dan Sunnah Nabi r yang
ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar t
dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar t dengan
Sunnah Nabi. Berkata Yunus bin Abdil A’la As-Shodafi : Saya berkata kepada Imam
Syafi’i : “Sesungguhnya sahabat kami –yaitu Al-Laits- mengatakan :”Apabila
engkau melihat sesorang bisa berjalan di atas (Permukaan) air, maka janganlah
engkau anggap dia sebelum engkau teliti keadaan (amalan-amalan) orang tersebut,
apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”, lalu Imam Syafi’i berkata
:”Al-Laits masih kurang, bahkan kalau engkau melihat sesseorang bisa berjalan
di atas air atau bisa terbang di udara, maka janganlah engkau anggap ia sebelum
engkau memeriksa keadaan (amalan-amalan) orang trsebut apakah sesuai dengan
Al-Kitab dan As-Sunnah”.[16]
Sehingga tidaklah
benar anggapan bahwa Aresto adalah wali Allah karena Aresto adalah mentrinya
Iskandar yang kafir (karena tidak ada wali Allah dari orang kafir), yang
sebagian orang (diantaranya Ibnu Sina) menyangka bahwa Iskandar adalah
Dzulqornain.[17]
f.
Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya
menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak
menentangnya. Sebagaimana Umar t, beliau
tidak membantah Abu Bakar t dengan
berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus
menerima perkataan saya”
g.
Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad r. Para Nabi saja kalau hidup
sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad r apalagi para wali. Karena
jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi. Ibnu Mas’ud
t berkata :”Tidaklah
Allah mengutus seorang nabipun kecuali Allah mengambil perjanjiannya, jika
Muhammad r telah
diutus dan nabi tersebut masih hidup maka nabi tersebut harus benar-benar
beriman kepadanya dan menolongnya. Dan Allah memerintah Nabi tersebut untuk
mengambil perjanjian kepada umatnya kalau Muhammad r telah
diutus dan mereka (umat nabi tersebut masih) hidup maka mereka akan benar-benar
beriman kepadanya dan menolongnya.”[18]
h.
Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia
adalah wali, sebagaimana yang dilakukan
oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah.
Sebagaimana firman Allah :
فلا تزكوا أنفسكم هو أعلم بمن اتقى
Dan
janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih
mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (An-Najm : 32 )
Orang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah
berbuat maksiat kepada Allah U karena telah melanggar larangan Allah U ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut
wali Allah.[19]
Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah
yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan
yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para
wali-Nya.[20] Dan
wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah
yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain.[21]
Pakainnya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama.
Contoh-contoh karomah para wali Allah [22]:
1. Amir bin Fahiroh mati syahid, maka
mereka mencari jasadnya namun tidak bisa menemukannya. Ternyata ketika dia
terbunuh dia diangkat dan hal ini dilihat oleh Amir bin Thufail. Berkata
Urwah:”Mereka melihat malaikat mengangkatnya”[23]
2. Kholid bin Walid ketika mengepung
musuh di dalam benteng yang kokoh, maka para musuhpun berkata :”Kami tidak akan
menyerah sampai engkau meminum racun”, lalu diapun meminum racun namun tidak
mengapa.[24]
3. Sa’ad bin Abi Waqqos adalah orang
yang selalu dikabulkan do’anya. Dan dengan do’anya itulah dia berhasil
mengalahkan pasukan Kisro dan menguasai Iroq.[25]
4. Umar bin Khottob, pernah mengutus
pasukan dan beliau mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk
memimpin pasukan tersebut. Dan ketika Umar sedang berkhutbah di atas mimbar,
beliau berteriak :”Wahai Sariyah, gunung !, wahai Sariyah, gunung !”. Lalu
utusan pasukan tersebut menemui Umar dan berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, kami
bertemu musuh, tiba-tiba ada suara teriakan :”Wahai Sariyah, gunung!”, lalu
kami menyandarkan punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenagkan
kami”.[26]
5. Abu Muslim Al-Khoulani, dia pernah
dicari oleh Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Lalu Al-Aswad
bertanya kepada beliau :”Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rosul
Allah?”, lalu dia berkata :”Saya tidak dengar”, lalu dia bertanya lagi :”Apakah
engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosul Allah?”, beliau menjawab :”Ya”.
Lalu disiapkan api dan beliau dilemparkan ke api. Namun mereka mendapatinya
sedang sholat di dalam kobaran api itu, api itu menjadi dingin dan keselamatan
untuknya.[27]
6. Sa’id Ibnul Musayyib, di waktu
hari-hari yang panas, beliau mendengar adzan dari kuburan Nabi ketika tiba
waktu-waktu sholat, dan mesjid dalam keadaan kosong (karena panasnya hari
–pent), tidak ada seorangpun kecuali dia.[28]
7. Uwais Al-Qorni ketika wafat mereka
menemukan di bajunya ada beberapa kain kafan yang sebelumnya tidak ada, dan
mereka juga menemukan lubang yang digali di padang pasir yang sudah ada lahadnya. Lalu
mereka mengafaninya dengan kefan-kafan teresbut dan menguburkannya di lubang
tersebut.[29]
8. Asid Bin Hudlair membaca surat Al-Kahfi lalu
turunlah bayangan dari langit yang ada semacam lentera dan itu adalah para
malaikat yang turun karena bacaannya.[30]
Dan malaikat pernah menyalami Imron bin Husain t[31]. Salman t dan Abu Darda’ t makan di piring lalu piring mereka bertasbih atau
makanan yang ada pada piring tersebut bertasbih.[32]
Ubbad bin Busyr t dan Asid bin Hudlair t kembali dari Rosulullah pada malam yang gelap gulita.
Maka Allah menjadikan cahaya bagi mereka berdua, dan tatkala mereka berpisah
maka terpisah juga cahaya tersebut.[33]
9. Muthorrif bin Abdillah jika memasuki
rumahnya maka tempayan-tempayannya bertasbih bersamanya.[34]
Dia bersama seorang sahabatnya berjalan di malam hari, lalu Allah menjadikan
cayaha untuk mereka berdua.[35]
10. Ahnaf bin Qois. Ketika dia wafat,
tutup kepala milik seseorang terjatuh di kuburannya. Lalu orang tersebut
mengambil topinya, dan dia melihat kuburannya telah menjadi seluas mata
memandang.[36]
11. Utbah Al-gulam, dia meminta kepada
Allah tiga perkara, yaitu suara yang indah, air mata yang banyak, dan makanan
yang diperoleh tanpa usaha. Dan jika dia membaca Al-Qur’an maka dia menangis
dengan air mata yang banyak. Dan jika dia bernaung di rumahnya dia mendapatkan
makanan dan dia tidak tahu dari manakah makanan tersebut.[37]
Siapakah wali-wali syaithon ?
Allah U berfirman :
ومن يعش عن ذكر
الرحمان نقيض له شيطانا فهو له قرين
Dan barang
siapa yang berpaling dari pengajaran Ar-Rohman, kami adakan baginya syaithon
yang menyesatkan, maka syaithon itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya. (Az-Zukhruf : 36)
هل أنبئكم من
تنزل الشيطان, تنزل على كل أفاك أثيم, يلقون السمع وأكثرهم كاذبون
Apakah
akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah syaithon-syaithon itu turun ?,
mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menghadapkan
pendengaran (kepada syaithon) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta. (As-Syu’aro’ : 221,223)
Contoh-contoh tipuan syaithon
a.Abdullah bin Soyyad. Nabi r pernah menguji Ibnu Soyyad (seorang dukun yang hidup
di zaman Nabi yang dia adalah seorang Yahudi). Nabi r berkata kepadanya :”(Cobalah tebak) aku
menyembunyikan sesuatu (di hatiku)”. Ibnu Soyyad berkata
:”Ad-Dukh…Ad-Dukh..”. Padahal
sesungguhnya Nabi r sedang menyembunyikan surat Ad-Dukhon. Lalu Nabi berkata kepadanya
:”Cih, engkau tidak mampu melampaui kemampuanmu”[38].
Ibnu Soyyad hampir betul menebak apa yang ada di hati Nabi, dan ini adalah
suatu keajaiban, namun dengan bantuan syaithon. Karena seorang yang normal maka
dia tidak akan bisa mengetahui isi hati manusia, bahkan Nabi pun tidak
mengetahui isi hati manusia kecuali yang diberitahu oleh Allah U. Para sahabat pun
(kecuali Hudzifah, karena dia telah diberitahu oleh Nabi r) tidak mengetahui siapa-siapa saja orang munafik yang
ada bersama mereka. [39]
b.Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku
sebagai nabi. Dia dibantu para syaithon yang memberitahukan kepadanya tentang
perkara-perkara ghoib. Dan tatkala kaum muslimin memeranginya mereka kawatir
para syaithonnya akan mengabarkan kepadanya apa yang mereka bicarakan tentang
dirinya (yaitu bahwasanya dia akan dibunuh –pent). Namun istrinya sadar akan
kekafiran suaminya maka diapun menolong kaum muslimin.[40]
c.Musailamah Al-Kadzdzab yang
juga mengaku sebagai nabi, memiliki syaithon-syaithon yang memberitahukan
perkara-perkara gho’ib kepadanya dan membantunya melakukan hal-hal yang ajaib[41].
Diantaranya dia pernah meludah di sumur sehingga air sumur tersebut menjadi
melimpah.[42]
c.Al-Harits Ad-Dimasyqi, seorang
pembohong besar yang muncul dan mengaku sebagi nabi di Syam pada zaman khalifah
Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 86 H). Al-Harits memiliki kemampuan ajaib. Para syaithonnya melepaskan kedua kakinya dari belenggu,
dan membuatnya kebal senjata, dan batu pualam bisa bertasbih jika dia sentuh
dengan tangannya. Dan dia telah melihat orang-orang dalam keadaaan berjalan dan
naik kuda terbang di udara, dia berkata : “Mereka adalah malaikat”, padahal
mereka adalah jin. Dan tatkala kaum muslimin menangkapnya untuk dibunuh, maka
ada orang yang menombaknya di tubuhnya, namun tidak mempan. Maka Abdul Malik
berkata kepadanya :”Engkau tidak menyebut nama Allah”. Lalu orang itu menyebut
nama Allah dan berhasil membunuh Al-harits.[43]
d. Lia ‘Aminuddin, yang mengaku
sebagai Imam Mahdi dan mengaku telah didatangi oleh Jibril. Keajaiban yang ada
padanya yaitu dia mampu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan dia mengaku
adalah seseorang yang memberantas bid’ah dan kesyririkan.
Syubhat-syubhat
Syubhat pertama
Sesungguhnya
Rosulullah diutus kepada manusia pada umumnya namun tidak pada manusia-manusia
yang khusus yaitu para wali, dan para wali tersebut tidak butuh kepada Nabi,
mereka memiliki cara tersendiri untuk mencapai Allah U.
Sebagaimana Nabi Musa tidaklah diutus kepada Nabi Khidir sehingga Nabi Khidir
tidak wajib mengikuti syari’at Musa.[44]
Jawab [45]:
Perkataan
ini sebagaimana perkataan kebanyakan para ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani)
bahwasanya Rosulullah diutus kepada orang-orang yang tuna aksara bukan kepada
mereka. Dan pendalilan dengan kisah antara Khidir dan Musa adalah tidak tepat,
sebab :
a.
Bahwasanya Musa tidaklah diutus kepada Khidir (tetapi hanya diutus untuk bani
Isroil), sehingga Khidir tidaklah wajib mengikuti Nabi. Adapun Muhammad r risalahnya
umum untuk seluruh jin dan manusia. Bahkan jika ada orang yang lebih mulia dari
Khidir (seperti Ibrohim, Musa, dan Isa)[46]
bertemu dengan Nabi, maka dia wajib mengikuti Nabi. Apalagi Khidir, tentu lebih
wajib lagi.
Oleh karena
itu Khidir berkata kepada Musa : “Aku diatas ilmu yang diajarkan Allah
kepadaku yang tidak kau ketahui dan engkau di atas ilmu yang Allah mengajari
engkau yang aku tidak mengetahuinya”[47].
Dan tidak boleh bagi seorangpun yang sampai kepadanya risalah Muhammad r untuk
berkata sebagaimana perkataan Khidir ini.
b.
Apa yang telah dilakukan oleh Khidir[48]
tidaklah menyelisihi syari’at Musa. Musa tidaklah mengetahui sebab yang
membolehkan hal-hal itu. Dan ketika Khidir menjelaskan sebab-sebab tersebut
Musa menyetujuinya. Sehingga berkata Ibnu Abbas kepada Najdah Al-Harwari ketika
dia bertanya kepada Ibnu Abbas t tentang
membunuh anak-anak kecil: “Jika kamu mengetahui anak-anak tersebut
sebagaimana yang diketahui oleh Khidir tentang anak kecil (yang dibunuhnya)
maka bunuhlah mereka, dan jika tidak maka jangan.”[49]
Syubhat
kedua
Mereka (para
wali syaithon) menganggap bahwa mereka mendapat wahyu langsung dari Allah -sebagaimana yang diserukan oleh Ibnu
Arobi-, dan bahwasanya mereka lebih baik dari para nabi yang mengambil ilmu
dari Allah melalui perantara. Mereka berkata :”Kenabian telah berakhir dengan
wafatnya Rosulullah r, sedangkan
kewalian belum berakhir. Dan yang paling terakhir adalah yang lebih baik dari
yang sebelumnya”.
Jawab
:
Ini adalah
pemikiran sesat Ibnu Arobi yang sama sekali tidak bersandar kepada dalil.
Ketika dia mengetahui bahwa syari’at ini sudah tidak bisa dirubah lagi hingga
hari kiamat, (dan dia ingin keluar dari syari’at) maka dia berkata :”Kenabian
telah tertutup, tetapi kewalian belum”, dan dia menganggap bahwa kewalian lebih
tinggi derajatnya dari pada kerosulan dan kenabian, sebagaimana dia berkata :
مقام النبوة في برزخ فويق الرسول و دون الولي
Kedudukan kenabian
berada di alam barzakh, sedikit di atas (kedudukan) Rosul dan dibawah
(kedudukan) Wali
Hal
ini tentunya pemutarbalikan syari’at. Seharusnya kenabian lebih khusus dari
kewalian dan kerosulan lebih khusus daripada kenabian. Sehingga kedudukannya
adalah kerosulan lebih tingi daripada kenabian dan kenabian lebih tinggi
daripada kewalian.[50]
Berkata Imam Abul ‘Izz Al-Hanafi :”Maka siapakah yang lebih kafir dari
memisalkan dirinya dengan sebuah bata emas dan memisalkan Nabi dengan bata
perak, lalu dia menjadikan dirinya lebih tinggi daripada Nabi,…….bagaimana bisa
samar kekufuran dari perkataannya (Ibnu Arobi) ini ?…..dan kekufuran Ibnu
“Arobi lebih parah dari kekufuran orang-orang yang berkata : “Tidaklah kami
beriman hingga kami diberikan apa yang diberikan kepada Rosulullah” (Al-An’am :
124)”[51]
Syubhat ketiga
Kami
tidak usah menjalankan syari’at karena Allah U telah bersatu dengan kami para hambanya yang sholih.
Bukankah Allah U berkata dalam hadits qudsi :
و ما يزال عبدي
يتقرب ألي بالنوافل حتى أحبه, فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به و بصره الذي يبصر
يه ويده التي يبشط بها ورجله التي يمشي بها, ولئن سألني لأعطينه ولئن استعاذني
لأعيذنه
Dam
hamba-Ku senantiasa bertaqorrub (mendekatkan dirinya) kepada-Ku dengan amalan-amalan
nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku
adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang dia
melihat dengannya, dan tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang
dia berjalan dengannya, dan jika dia meminta kepada-Ku maka akan aku berikan,
dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka aku akan melindunginya.[52]
Jawab
: Dzohir hadits ini adalah bukanlah Allah U menjadi pendengarannya, penglihatannya,
tangannya, dan kakinya, tetapi dzohirnya
adalah Allah U meluruskan (memberi petunjuk) kepada penglihatan, pendengaran, tangan
dan kakinya, sehingga apa yang dilakukan oleh hamba tersebut selalu dibimbing
oleh Allah U. Adapun makna yang batil di atas adalah tidaklah mungkin, sebab :
- Ini merupakan aqidah wihdatul wujud
(manunggaling kawulo gusti) yang sesat karena bertentangan dengan ayat-ayat
Al-Qur’an yang muhkam (jelas) yang tidak bisa lagi dipalingkan lagi maknanya.
- Barang siapa yang memperhatikan hadits
ini dengan baik maka dia akan faham tentang batilnya aqidah wihdatul wujud ini.
Dalam hadits ini Allah U menetapkan adanya hamba (yang beribadah) dan ma’bud
(yang diibadahi), yang mendekat (bertaqorrub) dan yang didekati (ditaqorrubi),
yang dicintai dan yang mencintai, yang meminta dan yang memberi, yang meminta
perlindungan dan yang memberi perlindungan. Maka hadits ini menunjukan adanya
dua dzat yang berbeda, yang satu bukan yang lainnya. Dan bukan pula yang satu
merupakan sifat atau bagian dari yang lainnya.
- Sesungguhnya pendengaran, penglihatan,
tangan, dan kaki si wali semuanya adalah sifat-sifat atau bagian-bagian pada
makhluk yang baru tercipta yang sebelumnya belum ada (belum tercipta). Maka
tidak mungkin bagi siapa saja yang berakal untuk memahami bahwa pencipta yang
awal (yaitu Allah) yang tidak ada sebelum Dia sesuatupun, akan menjadi
pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki makhluk. Bahkan hal seperti inipun
sulit untuk dibayangkan kalaupun kita anggap benar.[53]
Perbedaan antara karomah wali Allah dan tipuan wali syaithon
1.
Bahwa karomah para wali tersebut disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan.
Sedangkan keajaiban dan keluarbiasaan lain yang merupakan bantuan syaithon
disebabkan oleh hal-hal yang merupakan larangan Allah U dan
Rosulullah[54].
Jadi apabila di dalamnya mengandung unsur-unsur yang disenangi oleh syaithon,
baik itu kemusyrikan, kedzoliman, atau kebid’ahan, maka jelas yang terjadi
pasti bukan karomah.
2.
Karomah tidak bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan apa saja dan tidak bisa
dilawan. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa lain yang merupakan bantuan
syaithon bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat Allah seperti ayat
kursi dan lain-lain
3.
Karomah tidak bisa dipelajari sehingga menjadi suatu ilmu kedigdayaan yang baku . Sedangkan
kejadian-kejadian luar bisa yang berasal dari syaithon bisa dipelajari.[55]
Sebagaimana karomah-karomah yang telah dimiliki oleh para salaf, tidak ada satu
atsarpun yang menunjukan bahwa mereka pernah mengajarkan karomah mereka kepada
orang lain. Sebagaimana Umar t, beliau tidak
pernah mengajarkan karomahnya kepada orang lain, kerena memang tidak bisa
diajarkan.
4.
Karomah pada umumnya tidak bisa dilakukan terus menerus, tetapi terjadi sesuai
kehendak Allah bukan berdasarkan kehendak Wali yang mendapatkan karomah
tersebut.
Pengetahuan tambahan :
1.
Seluruh orang yang beriman adalah wali-wali Allah. Dan wali-wali yang paling
mulia adalah para Nabi. Dan para Nabi yang paling mulia adalah para Rosul. Dan
para Rosul yang paling mulia adalah para Rosul yang lima (Ulul ‘Azmi), dan diantara Ulul ‘Azmi
yang paling mulia adalah Nabi Muhammad.[56]
2.
Persamaan dan perbedaan antara Mu’jizat dan karomah.
Persamaannya
: Mu’jizat dan karomah sama-sama merupakan hal yang ajaib yang luar biasa (yang
tidak bisa dilkukan olah orang biasa) yang Allah berikan kepada para hambanya.
Perbedaannya
[57]:
- Mu’jizat
hanya berlaku pada para Nabi dan Rosul, adapun karomah pada para wali.
- Mu’jizat
diperoleh dengan kenabian, adapun karomah diperoleh dengan ketaqwaan.
- Karomah
kedudukannya lebih rendah daripada mu’jizat.
- Akibat
dari mu’jizat adalah baik, adapun efek samping dari karomah belum tentu.[58]
-
Pemilik mu’jizat (yaitu para Nabi dan Rosul) menantang orang-orang yang
menyelisihinya, adapun pemilik karomah tidak demikian.
3.
Kita harus mengakui adanya karomah, tidak sebagaimana mu’tazilah yang
mengingkari karomah dan berkata :”Kalau kita mengakui karomah, maka akan sama
wali dengan Nabi”, oleh karena itu kami mengingkari karomah dan juga
mengingkari hakikat sihir. Namun ini tidaklah benar sebab orang yang memiliki
karomah tidaklah mengaku bahwa dia adalah seorang Nabi.[59]
4.
Dalam beribadah hendaknya kita berniat karena Allah bukan karena untuk mencari
karomah. Kita meminta kepada Allah agar bisa istiqomah dalam hidup kita bukan
mencari karomah. Berkata Abu Ali Al-Jauzaja’i : “Jadilah engkau orang
yang mencari keistiqomahan, jangan menjadi pencari karomah. Sesungguhnya jiwamu
bergerak (berusaha) dalam mencari karomah padahal Rob engkau mencari
keistiqomahanmu”. Berkata Syaikh As-Sahrwardi :”Ucapan ini adalah prinsip
yang agung dalam perkara ini, karena sesungguhnya banyak mujtahid dan ahli
ibadah mendengar salaf yang sholih, telah diberi karomat-karomat dan hal-hal
yang luar biasa sehingga jiwa-jiwa mereka (para ahli ibadah itu) senantiasa
mencari sesuatu dari hal itu (karomah tersebut), dan mereka ingin diberikan
sedikit dari hal itu, dan mungkin diantara mereka ada yang hatinya prustasi
dalam keadaan menuduh dirinya bahwa amal ibadahnya tidak sah karena tidak
mendapatkan karomah. Kalau mereka mengetahui rahasia hal itu (yaitu Allah tidak
menuntut para hambanya untuk memperoleh karomah, tetapi yang Allah inginkan
para hambanya beristiqomah –pent) tentu perkara ini (mencari karomah) adalah
perkara yang rendah bagi mereka. [60]
5.
Hukum tenaga dalam, jika diatasnamakan Islam (biasanya dicampur dengan
dzikir-dzikir asma Allah) maka harom. Kalau mereka menyatakan bahwa apa yang
mereka lakukan adalah untuk beribadah kepada Allah, maka kita katakan bahwa ini
adalah bid’ah sebab kenapa harus menggunakan tata cara dan gerakan-gerakan
khusus yang tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Nabi. Dan tidak ada dalil
sama sekali bahwa dengan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan khusus yang mereka
lakukan bisa mengahasilkan tenaga dalam. Kalau mereka mengatakan tujuan mereka
untuk beribadah dan untuk mempeoleh kekuatan, maka kita katakan bahwa mereka
telah melakukan kesyirikan sebab niat ibadah mereka selain untuk Allah juga
untuk hal yang lain.[61]
Selain itu
perkatek-praktek tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at diantaranya :
-
Latihannya harus menggunakan emosi, padahal Rosulullah r telah
melarang seseorang untuk emosi, beliau bersabda :
لا
تغضب فردد مرارا لا تغضب
“Janganlah engkau marah”, Rosulullah mengulanginya beberapa kali
“Janganlah engkau marah”
Rahasia
mereka (yang latihan tenaga dalam) harus marah sebab dengan marah tersebut
syaithon bisa masuk dalam tubuh mereka sehingga bisa memberi kekuatan untuk
tenaga dalam mereka. Sebagaimana sabda Rosulullah :
إن الشيطان
يجري من بني آدم مجرى الدم
Sesungguhnya syaithon mengalir dalam tubuh manusia
sebagaimana aliran darah. (Riwayat
Bukhori)
-
Ketika latihan, mereka sering tidak sadar, terutama ketika sedang memprkatekkan
jurus mereka. Hal ini sama saja dengan sengaja membuat diri menjadi tidak sadar
(alias mabuk), dan hal ini tidak boleh dalam Islam, sebab Islam menganjurkan
kita untuk senantiasa menjaga akal kita sehingga bisa senantiasa berdzikir
kepada Allah.
-
Kadang disertai dengan puasa mutih (tidak boleh makan kecuali yang
putih-putih), yang ini tidak ada syari’atnya dalam Islam. Atau untuk menjaga
ilmunya dia harus menghindari pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal
itu dihalalkan baginya sebelum dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini
berarti mengha“Janganlah engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah
U.
والله أعلم بالصواب
Maroji :
v Al-Furqon
baina auliyaurrohman wa auliyaussyaithon, karya Ibnu taimiyah, tahqiq
Fawwaz Ahmad Zamarli, terbitan Darul Kutub Al-‘Arobi
v Syarah
Al-Ushul As-Sittah, karya Syaikh Utsaimin
v Al-Qowa’id
Al-Mutsla, karya Syaikh Utsaimin, tahqiq Abu Muhammad Asyrof bin
Abdil Maqsud, terbitan Adlwa’ As-Salaf.
v Syarah
Al-Aqidah At-Thohawiyah, karya Abul ‘Izz Al-Hanafi, tahqiq Syaikh Al-Albani,
terbitan Al-Maktab Al-Islami
v Majalah
As-Sunnah 03/III/1418
v Al-Jadawil
Al-Jami’ah
[1]
Al-Furqon hal 25
[2] Lihat
pula surat-surat Al-Maidah :51-56, Al-Kahfi : 44, Al-Kahfi : 50, Ali Imron :
173-175
[3] Al-Ushul
As-sittah hal 173
[4]
Al-Furqon hal 31
[5] Al-Ushul
As-Sittah hal 171,172
[6]
Al-Furqon hal 71, Al-Ushul As-Sittah hal 175
[7]
Al-Furqon hal 82
[8] Riwayat
Bukhori no 3469 dan Muslim no 2398
[9] Riwayat Abu Dawud no 2962 dengan sanad yang hasan
[10] Riwayat At-Thirmidzi no 3686, dengan sanad yang hasan
[11]
Al-Furqon hal 86,87
[12] Riwayat
Bukhori no 2732, 2732
[13] Riwayat
Bukhori no 1241, 1242
[14] Riwayat
Bukhori no 1399-1400
[15]
Disimpulkan dari Al-Furqon hal 85-88
[16] Syarah
Aqidah At-Tohawiyah
[17]
Al-Furqon hal 42
[18] Lihat
tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Al-Furqon hal 92
[19] Syarah
Al-Ushul As-Sittah hal 170
[20] Majalah
As-Sunnah 03/III/1418 hal 25
[21]
Al-Furqon hal 69
[22]
Diringkas dari Al-Furqon hal 154-157
[23]
As-Siyar 2/224
[24]
Al-Furqon hal 154
[25] Riwayat
At-Thirmidzi no 3751 dan Ibnu Hibban no 2215
[26] Riwayat
Bukhori no 3198, dan Muslim no 1610
[27]
As-Siyar 4/8,9
[28] Riwayat
Al-Lalikai dalam Al-Karomat hal 165-166
[29]
Al-Furqon hal 157
[30] Riwayat
Bukhori no 5018
[31] Riwayat
Muslim no 1226
[32]
As-Siyar 2/348
[33] Riwayat
Bukhori no 3805
[34]
As-Siyar 4/195
[35]
As-Siyar 4/86
[36]
As-Siyar 5/60
[37]
As-Siyar 9/7
[38] Riwayat
Bukhori no 1354, Al-Furqon hal 158
[39] Hal ini
sesuai dengan hadits tentang Usamah bin Zaid yang membunuh seorang kafir yang
ketika pedang Usamah telah di depan matanya tiba-tiba si kafir tersebut
mengucapka la ilaha illallah, namun Usamah tetap membunuhnya. Dan hal ini
dilaporkan kepada Rosulullah. r,
lalu Rosulullah r
berkata kepada Usamah :”Apakah dia (yang terbunuh itu) telah berkata la ilaha
illallah dan kau membunuhnya ?”, Usamah menjawab :”Ya, Rosulullah, dia
mengatakani itu hanya karena takut akan senjataku”. Nabi r
berkata :”Apakah sudah kau belah dadanya sehingga kau tahu ia
berkata itu karena takut atau tidak ?”. Maka Rosulullah r terus mengulang-ulang
perkataannya hingga Usamah berangan-angan seandainya dia baru masuk Islam pada
hari itu. (Riwayat Bukhori). Hadits ini menunjukan bahwa Usamah yang telah
berjihad tidak mengetahui isi hati manusia. Dan ada isyarat dari Rosulullah r
agar para sahabat menilai seseorang dengan amalan dzohirnya bukan amalan batin.
Kalau para sahabat mengetahui isi hati manusia tentu Rosulullah r
tidak akan memrintahkan mereka untuk menilai secar dzohir saja.
Abdullah
bin ‘Utbah bin Mas’ud berkata :”Saya telah mendengar Umar bin Khottob berkata
:”Dahulu di masa Rosulullah , orang-orang diterima (dihukumi) menurut
keterangan wahyu, dan kini wahyu telah terputus. Maka kami akan bertindak
(menghukumi) kalian dengan perbuatan-perbuatan kalian yang dzohir (nampak) bagi
kami. Maka barang siapa yang menampakkan kebaikan kepada kami maka kami percaya
dan kami hargai, dan sama sekali bukan urusan kami mengenai batinnya . Allah
yang akan menghisabnya . Dan barang siapa yang menampakkan keburukan kepada
kami, maka kami tidak akan mempercayainya dan tidak kami benarkan, walaupun dia
berkata sesungguhnya batinnya adalah baik.”” (Riwayat Bukhori)
[40]
Al-Furqon hal 159
[41]
Al-Furqon hal 159
[42] Majalah
As-Sunnah 03/III/1418
[43]
Al-Furqon hal 159
[44]
Al-Furqon hal 36
[45] lihat
jawaban ini dalam Al-Furqon hal 141-142
[46]
Sebagaimana firman Allah U dalam surat Ali Imron :
81 :”Dan (ingatlah) tatkala Allah mengambil perjanjian dari para nabi:”Sungguh
apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian
datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa yang ada pada kalian,
niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepada Rosul tersebut dan
sungguh-sungguh akan menolongnya”. Allah berfirman :”Apakah kalian mengakui dan
menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?”, mereka menjawab :”Kami
mengakui”. Allah berfirman :”Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku
menjadi saksi (pula) bersama kalian.”
[47] Riwayat
Bukhori, no 74
[48] Yaitu
membocorkan kapal, membunuh seorang anak kecil dan memperbaiki tembok yang akan
runtuh, sebagaimana dikisahkan dalam surat
Al-Kahfi : 70-82
[49] Riwayat
Muslim no 1812
[50] Ibnu Arobi juga berkata (dalam kitabnya “Fususul
hukm”) :”Tatkala Nabi telah memisalkan kenabian dengan sebuah dinding (yang
tesusun) dari bata dan Nabi melihat bahwa dinding tersebut telah sempurna
kecuali tinggal satu bata lagi, dan dialah sebagai bata yang terakhir (yang
menutupi bata-bata (nabi-nabi) sebelumnya –pent) (hanya saja Nabi tidak melihat
tempat bata tersebut, sebagaimana Nabi berkata :” Satu tempat bata”). Adapun
penutup para wali maka mereka bisa melihat tempat bata ini, dia melihat dinding
yang dimisalkan oleh Nabi dan dia melihat dirinya di dinding yaitu di tempat
dua bata, dirinya telah tercetak di tempat dua bata tersebut, sehingga
sempurnalah tembok itu. Yang menyebabkan dia melihat dinding itu ada dua tempat
bata (padahal Nabi melihatnya hanya ada
satu tempat bata –pent) adalah karena dinding terdiri dari bata perak dan bata
emas. Bata perak adalah dzohirnya dan hukum-hukum yang diikuti, sebagaimana
Nabi mengambil syari’at yang dzohir dari Allah yang diikuti, karena Nabi
melihat perkaranya sebagaimana adanya sehingga demikianlah dia melihatnya.
Padahal bagian dalam tempat bata itu adalah tempat bata emas, yang dia (penutup
para wali tersebut) mengambil dari sumber tambang
yang malaikat yang diutus kepada Nabi mengambil dari sumber tambang itu. Jika engkau memahami apa yang kami
isyaratkan maka engkau telah mendapatkan ilmu yang bermanfaat.” (Syarah
Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 493)
[51] Syarah
Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 493-494, Al-Furqon hal 110
[52] Riwayat
Bukhori no 6502, dari hadits Abu Huroiroh.
[53]
Al-Qowa’id Al-Mutsla hal 125
[54]
Al-Furqon hal 161
[55] Majalah
As-Sunnah 03/III 1418 H
[56]
Al-Jadawil hal 19
[57] Al-Jadawil
hal 20
[58] Keadaan
orang-orang yang memiliki karomah :
- Bertambah derajatnya
karena apa yang dilakukannya merupakan ketaatan dan yukur kepada Allah
- Semakin
rendah derjatnya karena dia menggunakan karomahnya untuk bermaksiat kepada
Allah. (Misalnya dia sombong dengan karomah yang pernah dia alami, atau dia
merasa telah bertaqwa dan yakin masuk surga dengan karomahnya itu).
- Tidak bertambah dan tidak
pula berkurang kebaikan-kebaikannya. Jadilah karomahnya seperti perkara yang
mubah. (Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 495)
[59]
Al-Jadawil hal 21 dan Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 494
[60] Syarah
Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 495
[61] Majalah
As-Sunnah hal 30
Post a Comment