Bagaimana Bersikap Terhadap Sunnah Rasul



Bagaimana Bersikap Terhadap Sunnah Rasul 


Dipersembahkan untuk mereka yang mencari kebenaran
Dan demi Kebenaran semata
<><><><><><><><><><> <><><><><><><><><><> <>

Dengan Nama Allah yang Pengasih dan Penyayang.,
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

"Allah telah menurunkan perkataan paling baik (Ahsanal Hadits)..."
(QS. Az-Zumar 3923)

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam (QS 12), yang telah
meridhai Islam sebagai agama kita (QS 262) Aku bersaksi tiada i-lah
selain Allah, sebagaimana kesaksian Allah sendiri, Malaikat dan orang
berilmu (QS 318). Muhammad adalah Rasul Allah dan penutup nabi-nabi
(QS 3340).

Berhukum dengan sunnah Nabawi merupakan kebutuhan agama yang sudah
pasti.
Sebagian ulama yang telah meninggalkan kita berani mensejajarkan
sunnah dengan Al-Qur'an, contohnya Al Auza'y yang pernah menyatakan
"AlKitab lebih membutuhkan sunnah daripada sunnah membutuhkan
Al-Kitab".

Pendapat demikian pada hakekatnya telah mendudukkan posisi Qur'an
sebagai wahyu Allah dibawah tingkat periwayatan Hadist/Sunnah yang
seringkali simpang siur.

Secara pribadi, saya tidak berani lancang berkata dan berbuat seperti
itu.
Sebaliknya saya berkata "Sunnah yang benar merupakan penjelas dan
refleksi dari Al-Qur'an."

Mari kita ambil jalan tengah atas kontoversi ini, dengan mengatakan
kalaupun ada sunnah yang sejajar dengan Al-Qur'an, tentulah bukan
model pakaian, model rumah, mata uang, kendaraan dan bahasa yang
biasa dipakai Nabi. Dengan kata lain kita diwajibkan untuk mengikuti
seluruh isi dan kandungan Al-Qur'an dan beberapa sunnah yang sudah
teruji keotentikannya.

Buku-Buku Sejarah dan Buku-Buku Hadis

--------------------------------------------------------------------

Sekarang kita kembali kepokok pertama, kepada mereka yang aktif dalam
bidang pengetahuan agama Islam, yang tidak jarang seringkali
mengkritik agamanya sendiri akibat kesalah pahaman mereka terhadap
apa yang mereka yakini terlalu mudah untuk percaya terhadap hal-hal
yang bersifat samar-samar, belum jelas mana yang benar dan mana yang
salah.

Mereka terkadang "melalap" AlQur'an seperti membaca sebuah buku
cerita saja layaknya tanpa memperhatikan makna yang tersurat maupun
tersirat dibalik semua bacaan tersebut. Mereka-mereka ini juga
memperlakukan hal yang sama terhadap kitab-kitab Hadist dan buku-buku
yang menceritakan mengenai sejarah kehidupan para Nabi dan Rasul
Allah. Mereka mendudukkan posisi Hadist dan buku-buku Sirah tersebut
seimbang dengan wahyu Allah, AlQur'anul Karim.

Asal percaya saja terhadap apa-apa yang termaktub disana tanpa
mengadakan pengkajian serta check dan ricek secara lebih mendalam.
Untuk mengatasi hal-hal semacam itu, saya rasa lebih bijaksana bila
kita sendiri mencoba untuk mengadakan pengupasan dan penelaahan semua
yang ada dengan metode mutakhir.

Satu diantara banyak caranya adalah dengan memakai metode Ilmiah,
kita pelajari dengan gaya zaman kini. Bukankah inilah cara yang baik
menurut pandangan Ilmu Pengetahuan yang berlaku sekarang dengan
berbagai macam cabangnya, baik yang berkenaan dengan sejarah atau
tidak.

Bagi saya -dan ini pendirian saya- tidak perlu kita terikat pada
buku-buku lama. Antara kedua cara dan cara-cara lama dengan yang
berlaku sekarang terdapat perbedaan-perbedaan yang besar sekali.
Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak dibenarkan adanya kritik
seperti berlaku sekarang.

Kebanyakan buku-buku lama ditulis untuk suatu maksud keagamaan dalam
arti Ubudiah, sementara penulis-penulis dewasa ini terikat oleh
metode dan kritik -kritik ilmiah.
Tapi saya pikir ada baiknya juga saya jelaskan barang sedikit
sehubungan dengan sebab-sebab yang membawa ahli-ahli pikir dari
pemuka-pemuka Islam masa lampau itu -dan masa kini- juga yang membawa
setiap penyelidik yang teliti -untuk tidak secara serampangan
mengambil begitu saja apa yang ada dalam buku-buku sejarah dan
buku-buku hadis. Kita terikat pada kaedah-kaedah kritik ilmiah
demikian ialah guna menghindarkan diri dari kesalahan sedapat
mungkin.

Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan yang terdapat dalam
buku-buku itu ialah; banyaknya peristiwa-peristiwa dan hal-hal yang
terjadi, yang dihubung-hubungkan kepada Nabi sejak ia lahir hingga
wafatnya. Mereka yang mempelajari buku-buku ini melihat adanya
beberapa berita yang ajaib-ajaib, mukjizat-mukjizat dan cerita-cerita
lain semacam itu. Disana-sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan
yang tepat, kecuali perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku
tersebut ditulis.

Buku Sirah Ibn Hisyam misalnya -sebagai buku biografi tertua yang
pernah dikenali sampai sekarang- tidak banyak menyebutkan apa yang
disebutkan oleh Abu'l-Fida' dalam Tarikh-nya, atau seperti apa yang
disebutkan oleh Qadzi Iyadz dalam "Asy-Syifa'", juga seperti yang
disebutkan dalam buku penulis-penulis kemudian. Begitu juga tentang
buku-buku hadis dengan segala perbedaannya yang ada Ada yang
mengemukakan satu cerita, yang lain menghilangkannya, ada pula yang
menambahkan.

Dalam mengadakan pembahasan Ilmiah dalam buku-buku demikian, seorang
penyelidik harus membuat sebuah kriterium yang dapat mengukur
mana-mana yang cocok dan mana pula yang tidak. Mana-mana yang dapat
dipercaya oleh kriterium itu, itu pula yang diakui oleh si
penyelidik, mana-mana yang tidak dapat dipercaya, ia akan dimasukkan
kedalam daftar pengujian kalau memang perlu diuji.

Faktor Waktu, Ketika cerita itu ditulis

--------------------------------------------------------------------

Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji sehubungan dengan buku-buku
lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang teliti menurut metode
ilmiah, ialah bahwa buku tertua yang pernah ditulis orang baru
seratus tahun atau lebih kemudian sesudah wafatnya Nabi, dan sesudah
meluasnya isyu-isyu -baik politik atau bukan politik- dalam dunia
Islam, dengan menciptakan cerita-cerita dan hadis-hadis sebagai salah
satu alat penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis orang
kemudian, yang sudah mengalami zaman yang sangat kacau dan gelisah.

Pertentangan-pertentangan politik yang telah dialami oleh mereka yang
mengumpulkan hadis -dengan membuang mana yang palsu dan mencatat mana
yang dianggap shahih- menyebabkan mereka berusaha lebih berhati-hati
lagi.

Mereka berusaha melakukan ketelitian dalam menguji, supaya tidak
sampai menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa yang
dialami Imam Bukhari yang begitu susah payah dengan perjalanan yang
dilakukannya keberbagai tempat dunia Islam, guna mengumpulkan hadis
dan lalu mengujinya.

Apa yang diceritakannya kemudian, bahwa dari hadis-hadis yang beredar
yang dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang dipandang
benar (shahih) olehnya tidak lebih dari 4000 buah hadis saja. Ini
berarti bahwa dari setiap 150 buah hadis yang dipandang benar olehnya
hanya sebuah saja.

Sedang Abu Daud dari 500.000 buah hadis, yang dianggap shahih menurut
dia hanya 4800 saja. Demikian juga halnya dengan
penghimpun-penghimpun hadis yang lain.
Banyak sekali dari hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap
shahih, oleh ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat
kritik, yang akhirnya banyak pula yang ditolak.

Jadi, kalau demikian inilah yang sudah terjadi dengan hadis, yang
sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para penghimpun hadis itu,
apalagi dengan buku-buku sejarah hidup Nabi yang datang kemudian,
bagaimana kita dapat mengandalkannya tanpa penelitian dan pengujian
ilmiah ?

Penghimpunan Hadis

--------------------------------------------------------------------

Sebenarnya, pertentangan politik yang terjadi sesudah permulaan
sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya cerita-cerita dan
hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud tersebut. Sampai pada
saat-saat terakhir zaman Bani Umayyah penulisan hadis belum lagi
dilakukan orang.

Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis
itu dihimpun.
Namun baru dikumpulkan pada zaman Ma'mun, yaitu sesudah terjadi
"Hadis yang shahih dalam hadis yang palsu itu seperti rambut putih
pada kerbau hitam", seperti kata Ad-Daruqutni.

Dan mungkin tidak dikumpulkannya hadis pada masa permulaan Islam
karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata

"Janganlah kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain
AlQur'an.
Barang siapa menuliskan yang dia terima dariku selain AlQur'an,
hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak
mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia menduduki tempat duduknya dineraka." (Riwayat Imam
Muslim)

Akan tetapi pada waktu itu Hadist-hadist Nabi sudah beredar dari
mulut kemulut dan penceritaannya pun berbeda-beda. Keadaan demikian
mengingatkan kita kepada perbedaan redaksi tentang sesuatu kejadian
yang berlaku dijaman kenabian Isa Almasih untuk Bani Israel yang
sekarang dikumpulkan dalam The Bible pada St. Matthew, St. Luke, St.
Mark dan St. John.

Pada salah satu kitab hadits yang tergolong tua yang sampai ke tangan
kita pada zaman ini, yaitu Al Muwath-tho, kebetulan kitab itu
di-syarah (diberi penjelasan) oleh Jalaluddin As-Suyuthy.
Pada pengantar syarahnya Jalaluddin As-Suyuthy membawakan riwayat
tentang niat Khalifah 'Umar Bin Khatab yang ingin mengumpulkan sunnah
Rasulullah saw, tapi setelah sholat istikharah sekian lama akhirnya
Khalifah 'Umar membatalakan niatnya tersebut.

"Kalau aku tidak teringat akan apa yang menimpa Ahli Kitab tentu aku
akan mengkitabkan sunnah di samping mengkitabkan AlQuran. Tapi aku
teringat bahwa Ahli Kitab menulis kitab lain disamping menulis Kitab
Allah, akhirnya mereka lebih mengikuti kitab tersebut dan
meninggalkan Kitab Allah."

Jelas bahwa Khalifah Umar Bin Khatab, salah seorang sahabat paling
dekat dengan Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya, tidak berani menulis
hadits hingga akhir hayatnya untuk mencegah pendistorisan AlQur'an
dengan hal-hal lainnya sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab suci
Allah sebelumnya, sekaligus juga memikirkan akan adanya bahaya
prioritas. Bahaya prioritas yaitu jika umat lebih menyukai hadits
dari pada kitabullah adalah jauh lebih berbahaya.

200 tahun kemudian, setelah semakin menjamurnya pemalsuan atas Sunnah
Nabi, orang mulai kembali berpikir untuk melestarikan Sunnah yang
dianggap shahih/otentik kedalam satu kumpulan agar dapat diteruskan
kepada generasi berikutnya.

Jadi pembukuan Sunnah ini berlangsung setelah lebih kurang masa 200
tahun AlQur'an dibukukan pada jaman Khalifah Abu Bakar r.a. yang
keseragaman bacaannya ditetapkan pada jaman Khalifah Usman Bin Affan
r.a., sehingga keduanya tidak bercampur menjadi satu.

Tercatatlah nama-nama para perawi Hadist ini seperti

  *  Bukhari, yang meninggal tahun 256 Hijriah atau 870 Masehi
  *  Abu Daud, meninggal tahun 275 Hijriah atau 888 Masehi
  *  Masa'i, meninggal tahun 303 Hijriah atau 915 Masehi
  *  Muslim, meninggal tahun 261 Hijriah atau 875 Masehi
  *  Tarmidzi, meninggal tahun 279 Hijriah atau 892 Masehi
  *  Ibnu Majah, meninggal tahun 279 Hijriah atau 892 Masehi

Dan masih terdapat sejumlah nama-nama besar para pakar Hadist
lainnya, seperti Ahmad Bin Hambal dkk. Maka dari itu tidaklah aneh
jika terdapat perbedaan dalam masalah redaksi atau periwayatan
Hadist, dan malah cenderung ada yang saling bertolak belakang. Dengan
segala usaha penelitian yang sudah tentu dilakukan oleh para
penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga hadis-hadis yang oleh
mereka sudah dinyatakan shahih, oleh beberapa ulama lain dinyatakan
tidak otentik.

Dalam "Syarah Muslim" Imam Nawawi menyebutkan
"Ada golongan yang membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim
mengenai hadis -hadis itu sehingga syarat-syarat mereka tidak
dihiraukan dan mengurangi pula arti yang menjadi pegangan mereka,
yaitu para penghimpun itu, yang sebagai kriterium mereka hanya
berpegang pada sanad (askripsi) dan pada kepercayaan mereka kepada
sumber cerita sebagai dasar Menerima atau menolak hadis itu."

Ini memang suatu kriterium yang berharga, tetapi itu saja tentu tidak
cukup.
Bagi saya pribadi khususnya dan kita umat Islam secara umumnya,
kriterium yang baik dalam mengukur hadis -dan mengukur setiap berita
yang berhubungan dengan Nabi- ialah seperti yang pernah diceritakan
orang tentang Nabi Saw ketika menyatakan

"Kamu akan berselisih sesudah kutinggalkan. Maka apa yang dikatakan
orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur'an. Mana yang cocok itu
dari aku, mana yang bertentangan, bukan dariku."

Kriterium yang sebenarnya tentang hadis

--------------------------------------------------------------------

Dalam pengumpulan hadis-hadis shahih, umumnya dipakai ukuran sebagai
berikut

* Hadis itu isinya tidak bertentangan dengan isi ayat Al-Qur'an,
sebab mustahil Nabi menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan
ajaranAlQur'an.

* Perawi (orang yang meriwayatkan hadis itu) haruslah dapat
dipercayai kejujurannya.
* Rantai riwayat dari satu perawi kepada perawi lainnya haruslah
bersambungan, tidak terputus.
* Tidak ada cela dan cacat lain yang merendahkan nilai lafal atau
riwayat hadis itu.

Tetapi Ibnu Khaldun juga pernah berkata
"Saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga tidak
percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang bertentangan
dengan Qur'an, sekalipun ada orang-orang yang memperkuatnya. Beberapa
pembawa hadis dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat
mengelabui, sedang batinnya tidak baik. Kalau sumber-sumber itu
dikritik dari segi matan (teks), begitu juga dari segi sanadnya,
tentu akan banyaklah sanad-sanad itu akan gugur oleh matan.

Orang sudah mengatakan Bahwa tanda hadis maudhu' (buatan) itu, ialah
yang bertentangan dengan kenyataan AlQur'an atau dengan kaidah-kaidah
yang sudah ditentukan oleh hukum agama (syariat) atau dibuktikan oleh
akal atau panca indera dan ketentuan-ketentuan axioma lainnya."

Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut. Dan apa
yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun tadi cukup sesuai dengan kaidah
kritik ilmiah modern sekarang.

Saya kira, sudah cukup lama dunia Islam tenggelam dalam kisah-kisah
agama yang dipenuhi oleh berbagai mistikisme, takhayul, Israiliyat
dan penuh kedustaan, baik mengenai sejarah hidup Nabi Muhammad Saw,
para Nabi dan Rasul sebelumnya serta berbagai kisah-kisah para
sahabat dan orang-orang shaleh lainnya.

Mari kita kembalikan Islam kepada porsi yang benar, Umat Islam bukan
penggemar cerita mitos atau legenda yang penuh kehebatan pengumbaran
mistikisme, Umat Islam terlahir dan diutus sebagai umat pertengahan
yang sebaik-baiknya. Yaitu yang menggunakan fitrah kemanusiaannya
untuk melakukan pengkajian benar-salah dengan berlandaskan wahyu
Allah yang abadi.

Allah, segala puji bagiNya. Dialah yang awal dan yang akhir, tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Berkuasa penuh atas langit dan bumi
serta apa yang ada diantara keduanya.
Allah, Maha pengasih dan Maha penyayang kepada umatNya. Bijaksana
terhadap para utusanNya.

Shalawat dan salam atas penutup segala Nabi, Rasulullah Muhammad Saw
Al-Amin, Ahmad yang dijanjikan Isa Almasih pada QS. 616, dimana
namanya yang mulia juga dinubuatkan dalam semua kitab suci dan utusan
Allah lainnya, Imam seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya dan merupakan
panutan, suri tauladan seluruh umat manusia.

Syaikh Muhammad Al-Ghazali pernah berkata

Mereka berkata Tuhan berputra
Mereka menuduh Rasul Seorang dukun peramal
Jika Allah dan Rasul bersama-sama Tak terhindar dari lidah manusia
Betapakah pula aku ... ?

Akhirnya, manusia tempat salah dan Allah adalah tempat meminta ampun
dari segala dosa dan kesalahan itu, semoga kita semua tetap diberi
kekuatan didalam Iman dan Islam, dan semoga apa yang sudah kita coba
lakukan untuk kesejahteraan umat akan ada gunanya bagi masa-masa yang
akan datang.

Sumber Penulisan

--------------------------------------------------------------------

Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw
[Antara pemahaman Tekstual dan Kontekstual]
Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Penerbit Mizan, Cetakan III Ramadhan 1413/Maret 1993

AlQuran tentang Manusia dan Masyarakat
Nazwar Syamsu
Ghalia Indonesia, Cetakan pertama Jumadil Awal 1403/Februari 1983

Sejarah Hidup Muhammad
Muhammad Husain Haekal
Litera AntarNusa, Cetakan ke-22 Juni 1998


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Tidak ada komentar