Home/
Unlabelled
/Bolehkah Ruqyah Sebagai Profesi?
Bolehkah Ruqyah Sebagai Profesi?
Bolehkah Ruqyah Sebagai Profesi?
Pendahuluan Ruqyah adalah mengobati orang
yang terkena kesurupan, gangguan atau kemasukan jin. Ruqyah syar`iyah adalah
mengobati orang yang terkena kesurupan , gangguan atau kemasukan jin dengan
cara-cara yang di syariatkan Islam, yaitu dengan ayat-ayat Alquran, Asma`ul
husna, do`a-do`a yang berasal dari Alquran dan hadis. Islam melarang ruqyah
dengan bantuan dukun, sihir, jin dan cara-cara lain yang bertentangan dengan
Islam.
Nabi mengizinkan ruqyah dengan Alquran, dzikir-dzikir, dan
do`a-do`a selama tidak menngaundung syirik atau perkataan yang tidak bisa
dimengerti maknanya. Berdasarkan hadis di bawah ini:
Dari `Auf Bin
Malik, Ia berkata, "Kami meruqyah di masa jahiliyyah , lalu kami berkata, Wahai
Rasulullah! Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu?` Beliau menjawab,
Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku. Tidak mengapa melakukan ruqyah selama
tidak mengandung syirik." (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Para ulama telah
bersepakat membolehkan ruqyah, apabila menurut kategori yang disebutkan tadi,
serta menyakini bahwa ia adalah sebagai sebab, tidak ada pengaruh baginya
kecuali dengan taqdir Allah. Adapun menggantungkan sesuatu di leher atau
mengikatnya di salah satu anggota tubuh seseorang, jika bukan berasal dari
Alquran, hukumnya haram, bahkan syirik. Berdasarkan hadits di bawah ini:
Dari Imran bin Al Husain, bahwa Nabi melihat seseorang di tangannya ada
gelang dari kuningan. Beliau bersabda,"Sesungguhnya ia tidak menambahkan anda
selain kelemahan, lemparkanlah dari anda. Sesungguhnya jika anda meninggal dan
dia tetap bersama anda, anda tidak akan beruntung selamanya." (HR. Ibnu Majah,
Ahmad. Dihasankan Al Bushairi dalam Az Zawaa`id).
Dan hadis yang
diriwayatkan dari Uqbah bin Nafi` dari Nabi beliau bersabda, "Barang siapa yang
meanggantung tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barang
siapa menggantung wada`ah, semoga Allah tidak mmberi ketenangan padaa dirinya."
(HR. Ahmad).
Dari Ibnu mas`ud saya mendengar Rasulullah bersabda,
"sesungguhnya ruqyah, tama`im dan tiwalah adalah syirik." (HR. Ahmad dan Abu
Dawud).
"Barang siapa menggantungkan tamimah, berarti dia telah berbuat
syirik." (HR. Ahmad).
Jika yang digantungkan adalah dari ayat-ayat Al
Quran, maka pendapat yang shahih adalah dilarang pula karena tiga alasan :
a. Bersumber dari hadits-hadaits nabi yang melarang menggantungkan tamimah
dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya. b. Menutup jalan, karena hal itu
bisa membawa kepada menggantungkan yang bukan dari Alquran. c. Jika ia
menggantungkan dari yang demikian itu (Alquran), menjadi penghinaan dengan
membawa serta di waktu buang air, istinja` dan jima` (bersetubuh), serta yang
semisal dengannya.1
Hukum Mengambil Upah dari
Meruqyah Perlu diketahui, bahwa bacaan ruqyah tidak akan berguna
terhadaap orang yang sakit kecuali dengan beberapa syarat : a. Pantasnya
orang yang meruqyah adalah seorang yang baik, shalih, istiqamah dalam
melaksanakan yang wajib, sunah, menghindari yang haram dan syubhat. b. Tidak
menentukan upah atas orang yang sakit, menjauhkan diri dari mengambil upah yang
lebih dari kebutuhannya. Maka semua itu lebih mendukung kemanjuran ruqyahnya.
c. Mengenal ruqyah-ruqyah yang dibolehkan dalam syariat. d. Orang yang
sakit adalah orang yang sholeh ,baik , istiqamah dalam beragama dan jauh dari
yang diharamkan. e. Orang yang sakit menyakini bahwa Al Quran adalah
pernawar ,rahmat dan obat yang berguna.2
Seharusnya Seorang raaqi/ yang
meruqyah (berniat) berbuat baik dengan ruqyahnya untuk manfaat kaum muslimin dan
mengharapkan pahala dari Allah dalam mngobati umat islam yang sakit,
mennhilangkan bahaya dari mereka, dan tidak mengharapkan upah atas ruqyahnya.
Tetapi ia menyerahkan perkaranya pada pasien. Jika mereka memberikan kepadaya
melebihi jerih payahnya, ia mesti bersikap zuhud dan mengembalikannya. Jika
upahnya kurang dari haknya, ia mesti membiarkan kekurangannya. Syekh
Abdullah Al Jibrin berkata, "Tidak ada halangan mengambil upah atas ruqyah
syar`iyyah dengan syarat kesembuhan dari sakit." Dalinya adalah hadits riwayat
Abu Sa`id , bahwasannya teman mereka meruqyah pemimpin suku tersebut setelah ada
kesepakatan antara mereka atas upah sekelompok kambing, lalu mereka pun
menepatinya. Nabi bersabda:
"Bagilah dan tentukanlah satu bagian untukku
bersama kalian." ( H.R. Bukhari Muslim ). "Sesungguhnya upah yang paling pantas
kamu ambil adalah kitabullah (Alquran)." (HR. Bukhari).
Beliau
menetapkan kepada mereka penentuan syarat dan mereka pun memberikan bagian untuk
beliau sebagai tanda kebolehannya, namun dengan syarat ia melakukan ruqyah
syar`iyyah. Jika bukan ruqyah syar`iyyah maka tidak boleh. dan tidak
disyariatkan melainkan setelah selamat dari sakit ( setelah sembuh ) dan
hilangnya penyakit. Dan yang utama dalam membaca ruqyah adalah tidak memberi
syarat, dan melakukan ruqyah untuk manfaat orang-orang beriman serta
menghilangkan bahaya dan sakit. Dan jika memberikan syarat maka janganlah
memberikan syarat yang ketat, namun sekadar keperluan mendesak.
Hadits
Abu Sa`id Al Khudry tersebut adalah menunjukkan bolehnya ruqyah dan mengambil
upah atasnya. Syaikh Abdullah Al Jibrin juga mengatakan, "Kami katakan bahwa
sesungguhnya dokter yang mengobati, apabila mensyaratkan upah tertentu , maka
harus disyaratkan sembuh dan selamat dari sakit yang ditanganinya, kecuali
apabila mereka sepakat untuk memberikan senilai biaya pengobatan dan
obat-oabatan. Adapun jimat semacam ini, pada dasarnya adalah ruqyah, maksudnya
membacakan atas pasien serta meludah disertai sedikit air liur. Demikian pula
penulisan ayat-ayat di kertas dan seumpamanya dengan air za`faran, boleh
mengambil upah atas yang demikian sebagai imbalan obat-obatan. Dan seperti ini
air bersih dan minyak. Apabila dibacakan ayat-ayat Al Quran padanya, maka boleh
baginya mengambil nilai biasanya, tanpa berlebih-lebihan dalam penetapan tarif
yang tidak sebanding."3
Hukum Ruqyah Sebagai Profesi dan Mendirikan
Tempat Praktek untuknya
Syaikh Shalih Al fauzan pernah ditanya, "Apa
pendapat Syaikh tentang orang yang membuka praktek pengobatan dengan bacaan
ruqyah?."
Beliau menjawab, "Ini tidak boleh dilakukan karena ia membuka
pintu fitnah, membuka pintu usaha bagi yang berusaha melakukan tipu muslihat.
Ini bukanlah perbuatan As-Salafush Shalih bahwa mereka membuka rumah atau
membuka tempat-tempat untuk tempat praktek. Melebarkan sayap dalam hal ini akan
menimbulkan kejahatan, kerusakan masuk di dalamnya dan ikut serta di dalamnya
orang yang tidak baik. Karena manusia berlari di belakang sifat tamak, ingin
menarik hati manusia kepada mereka, kendati dengan melakukan hal yang
diharamkan. Dan tidak boleh dikatakan,"Ini adalah orang shalih." Karena manusia
mendapat fitnah, semoga Allah memberi perlindungan. Walaupun dia orang shalih
maka membuka pintu ini tetap tidak boleh."4
Banyak manusia
berkenyakinan tentang kekhususan tertentu yang dimiliki oleh orang yang telah
melakukan ruqyah (raaqi), sehingga mereka mempunyai anggapan (bersikap
ghuluw/berlebihan) terhadap raaqi tentang apa-apa yang dibaca ketika sedang
meruqyah. Aslinya dalam syariat Islam adalah saddu dzari`ah (mencegah bahaya)
karena pekerjaan ruqyah ini kadang-kadang membuka pintu kejahatan dan kesesatan
bagi ahli Islam. Cara-cara seperti ini (mengambil ruqyah sebagai profesi) tidak
pernah ada (dasarnya) dari Nabi saw. dan tidak pula dikerjakan oleh satupun dari
sahabatnya, serta tidak pernah dikerjakan salah seorang dari ahli ilmu dan ahli
kemuliaan, walaupun mereka ada keperluan. Pada dasarnya kita harus mengikuti dan
mencontoh mereka (Nabi, para sahabatnya, ahli ilmu, dan ahli kemuliaan).5
Pada
dasarnya bila seseorang menjadikan ruqyah sebagai profesi, ia akan disibukkan
oleh urusan ini dan meninggalkan urusan-urusannya yang lain. Terkecuali bila
seseorang tadi mempunyai pekerjaan dan tidak menjadikan ruqyah sebagai
profesinya serta tidak membuka praktek, maka hal itu boleh-boleh saja. Dan dia
hanya melanyani masyarakat yang membutuhkan bantuannya untuk diruqyah karena
diganggu setan. Dia niatkan ruqyahnya untuk tolong menolong dalam kebaikan, amar
ma`ruf nahi munkar, memerangi setan dan jin yang mengganggu manusia dan
mengharapkan ridha Allah semata. Dia tidak mengharapkan upah dari manusia dan
tidak menetapkan tarif besar kecilnya dari manusia. Bila di tengah-tengah ia
meruqyah ada yang ikut (maksudnya adalah diberi upah), maka bila ia memerlukan
boleh diambil. Dan bila ia tidak memerlukannya karena sudah merasa cukup, maka
boleh tidak diambil sebagai sikap zuhud pada apa yang ada ditangan manusia.
Karena pada dasarnya ia hanya mengharapkan ridha Allah dan wajah-Nya serta
menolong manusia yang membutuhkan bantuannya. Melakukan ruqyah dengan niat
seperti ini adalah dibolehkan dan disyariatkan . Adapun bila ia melakukan
ruqyah hanya dipakai sebagai profesi saja, membuka praktek, dan memasang tarif
yang tinggi serta tidak ada unsur untuk membantu masyarakat yang membutuhkan
pertolongannya. Maka meruqyah dengan niat seperti ini, jelas bertentangan dengan
syariat. Wallahu A`lam Bish Shawab.
Sumber Bacaan: 1. Zadul Ma`ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. 2. Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. 3. Al Qaul Mufid Fi Kitabut Tauhid, Syekh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin 4. Syarah
Kitab Aqidah At Thawiyyah, Imam Abil Izz 5. Fatwa-fatwa terkini, Imam Baladul Haram. 6.
Aqidah Mukmin, Syaikh Abu Bakar Al Jazaairi. 7. Minhaj Al-Syar`i Fi `Ilaaji
Al Massi Wa Al Shura`i. 8. Fataawa Lajnah Daaimah. 9. Alam Jin dan
Manusia, Ustadz Abu Umar Abdillah. 10. Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar. 11.
Shahih Muslim Syarah Imam Nawawi. 12. Idhaahu Ad Dalaalah Fii `Umuumi Al
risalah.
Post a Comment