Sikap dan Solusi atas Kelemahan Aqidah Umat
Allah SWT menciptakan manusia dengan dua ketentuan:
ketentuan bersifat mutlak sebagai kehendak Allah yang disebut iradah kauniyyah
dan ketentuan yang menghendaki menusia berjalan menuju ke jalan kebenaran atau
disebut iradah syar'iyyah. Dalam iradah kauniyyah, manusia tidak dimintai
pertanggungjawaban atas kehendak Allah yang terjadi padanya: mengapa ia menjadi
seorang pria atau wanita, mengapa muka kita seperti ini, mengapa berbadan
tinggi, dan yang semacamnya.
Ketentuan kedua Allah, iradah syar'iyyah,
menghendaki manusia berjalan menuju kebenaran. Untuk tujuan tersebut, Allah
memberikan sejumlah perangkat. Pengutusan para rasul yang ditutup oleh Nabi
kita, Muhammad saw., adalah salah satunya. Barang siapa yang menerima dan
memegang komitmen dalam hidupnya sesuai dengan kehendak Allah, maka dia selamat
dunia maupun akhirat (lihat An-Nahl: 97). Tetapi sebaliknya, jika ia menolak
dengan berpegang pada isme-isme buatan jin dan manusia, dia tersesat di dunia
dan merugi di akhirat (lihat Taha: 124-126). Atas dasar itu, terjadi
tarik-menarik antara kebenaran dan kebatilan. Bendera kebenaran dibawa oleh para
nabi, sedang bendera kebatilan dibawa oleh setan dan konco-konconya dari jin dan
manusia (Al-An'am: 112). Maka, sejak iblis diusir dari neraka, dia bersumpah
untuk menyesatkan seluruh manusia, kecuali hamba Allah yang bersyukur (Al-A'raf:
12-18). Upaya penyesatan itu berlangsung sampai hari kiamat. Maka, sejak itu
terjadi dua kelompok yang selalu tarik-menarik, seperti firman Allah SWT (yang
artinya), "Orang yang beriman di jalan Allah, sedangkan orang-orang kafir
berjuang di jalan thaghut, maka perangilah pembela-pembela seitan, sesungguhnya
tipu daya syaitan itu lemah." (An-Nisa: 76).
Upaya perusakan setan
dilakukan melalui dua arah. Pertama, fitnah syubhat berupa wacana pemikiran dan
keyakinan yang berlawanan dengan kebenaran. Fitnah ini diusung oleh non-muslim
(baca: kafir), atau juga lewat orang muslim yang berpenyakit (baca: munafik).
Kedua, fitnah syahwat dalam perilaku seksual. Jika seorang muslim terkena salah
satu fitnah tersebut atau bahkan keduanya, daya memperjuangkan Islamnya akan
lumpuh.
Dalam melumpuhkan kekuatan umat Islam, musuh-musuh Islam
menggunakan segala macam cara yang terus-menerus dikembangkan, baik melalui
eksternal (vis to vis dengan kaum muslimin) maupun internal (pembusukan dari
dalam). Dan itu dilakukan sepanjang sejarah perjuangan umat Islam. Semenjak dari
negara pimpinan Nabi saw., lalu dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dinasti-dinasti
lain, dan sampai yang terakhir, Utsmaniyah. Dicatat oleh Dr. Abdul Halim dalam
kitabnya, Asbaabu Suquuthi Tsalatsiina Daulah Islamiyah (Sebab-Sebab Kejatuhan
30 Negara Islam), bahwa kejatuhan negara-negara Islam umumnya disebabkan oleh
hal-hal di atas, dari penyimpangan ideologi sampai penyimpangan moral.
Faktor Eksternal yang Menggerogoti Umat Islam
Kerja sama
zionisme dan salibisme internasional dalam menghadapi umat Islam dicatat Dr.
Umar al-Faruk dalam bukunya, Segi Tiga: Penjajahan, Orientalisme, dan
Kristenisasi, sebagai usaha yang memporak-porandakan kekuatan umat Islam di
seluruh dunia.
Kita melihat bagaimana Portugal, Inggris, dan Belanda
ketika menjajah Indonesia. Ketiga hal di atas (penjajahan, orientalisme, dan
kristenisasi) menjadi suatu langkah kongret usaha mereka yang berhasil
mengangkangi umat Islam Indonesia berabad-abad. Mereka memperlakukan umat Islam
sekehendaknya, dan bagi yang menentang, dikenakan tuduhan ektresmis,
fundamentalis, dan lain-lain.
Ketika penjajah sudah hengkang, peranan
mereka digantikan oleh kaum intelek kita yang menjadi perpanjangan tangan para
orientalis dengan mengampanyekan paham-paham mereka atas nama nasionalisme,
modernisme, sekularisasi, desakralisasi, reaktualisasi, pribumisasi, dan
semacamnya. Hal tersebut diungkapkan R. William Lidle dalam bukunya, Islam,
Politik, dan Modernisasi. Di antara wacana-wacana itu, yang kini lumayan naik
daun adalah Islam Liberal.
Perkembangan Islam Liberal telah mendominasi
para intelektual kita. Greg Burton dalam bukunya, Islam Liberal di Indonesia,
menyebutkan paling tidak ada tiga nama besar pembawa gagasan paham ini di
Indonesia: Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, dan Johan Effendi.
Ditinjau dari sudut pemerintahan, perjalanan peran umat Islam dipegang
oleh tiga elemen. Pertama, elemen nasionalis muslim, Soekarno, yang dilanjutkan
oleh Soeharto, lalu Habibie. Mereka adalah tipe pemimpin sekuler yang mengadopsi
paham Islam formalistik. Kepemimpinan model ini telah gagal menciptakan
kesejahteraan umat, bahkan keadaannya termarjinalkan. Elemen kedua adalah
kelompok modernis dan Islam liberal. Di bawah kepemimpinan Gus Dur, model ini
terbukti gagal juga.
Terakhir, kaum kafirin khawatir akan lahirnya
elemen ketiga, yang nantinya membawa kemenangan dan kesejahteraan Islam melalui
kekuasaan, secara de facto dan de jure. Elemen ketiga itu mereka sebut
fundamentalisme.
Roger Garraudy menyebut fundamentalisme sebagai
antitesis bagi sekularisme. Sementara, mantan Presiden Amerika Richard Nixon
setidaknya menginventarisasi lima pemicu munculnya kaum fundamentalis dalam
Islam. Pertama, mereka yang digerakkan kebencian terhadap Barat/anti-Barat.
Kedua, mereka yang bersikeras mengembalikan peradaban Islam yang lalu. Ketiga,
mereka yang bertujuan mengaplikasikan syariat Islam. Keempat, mereka yang
mempropagandakan bahwa Islam adalah agama dan negara. Kelima, mereka yang
menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun masa depan, mereka ini bukan
orang-orang konservatif, namun cukup revolusioner (Adian Husaini, Yusril Versus
Masyumi, hal. 49).
Fundamentalisme benar-benar dianggap ancaman oleh
blok kafir yang dikomandoi oleh Barat. Mata dunia terbuka lebar ketika
menyaksikan Sovyet yang kokoh bertekuk lutut di hadapan para mujahidin
Afghanistan, yang oleh mereka disebut muslim fundamentalis. Sebuah bukti bahwa
kekuatan fisik dan mesin-mesin perang tidak cukup ampuh melawan gelora jihad
(mereka menyebutnya fundamentalisme). Maka, tidak heran jika kemudian tesis
Samuel Huntington, The Class of Civilisation/Benturan Peradaban, mereka jadikan
kemudi untuk menyudutkan umat Islam di seluruh dunia. Lalu, dibuatlah isu
terorisme untuk membungkam gelora jihad umat Islam sehingga tidak mempunyai
perlawanan lagi. Betul kata Nabi saw., "Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad
kecuali akan hina."
Adapun gerakan kristenisasi, yang berjalan terus
semenjak masa penjajahan hingga kini, imbasnya jelas-jelas dirasakan oleh umat
Islam di berbagai pelosok daerah. Grafik statistik kependudukan tentang
kuantitas kaum muslimin yang menurun drastis adalah bukti yang autentik.
Padahal, Indonesia mempunyai piranti undang-undang yang melarang pemaksaan
agama.
Jika memperhatikan keadaan umat Islam, akan kita dapati berbagai
indikasi kemerosotan dalam hampir seluruh aspek kehidupan, baik akidah, ibadah,
maupun moralitas. Fenomena kemusyrikan terjadi di mana-mana. Di antara yang
paling menonjol adalah praktik perdukunan. Ditambah lagi dengan pesatnya
perkembangan aliran-aliran sesat yang memanfaatkan kebodohan umat.
Dalam
ibadah ritual, umat Islam masih jauh dari masjid, terutama salat subuh. Dari
segi moralitas, sudah nyata-nyata bobrok. Sebagai ilustrasi, Jakarta yang
penduduknya 80% muslim, dengan jumlah masjid 2.400, musala 5.500, dan majelis
taklim 6.750 (data statistik 1997), mencetak rekor tertinggi dalam peredaran
narkoba skala nasional, sekitar 60%, sedang sisanya tersebar di wilayah-wilayah
lainnya.
Budaya munafik, sikap ulama yang tidak berpihak kepada umat
dalam bentuk pembodohan atas nama ketaatan, sikap para penguasa muslim dengan
komitmen Islam yang lemah, sikap masa bodoh para pengusaha muslim dalam
mengentaskan kemiskinan, dan tampilnya ulama-ulama kagetan yang bodoh tetapi sok
pintar, serta berbagai macam penyakit umat yang sudah sangat kronis,
pengobatannya membutuhkan waktu yang cukup lama dengan melibatkan semua elemen
umat Islam yang terampil untuk bangkit menyelamatkan umat dari jurang
kehancuran. Dari kezaliman menuju keadilan Islam; dari kebodohan menuju
kesadaran Islam.
Faktor Internal Penyebab Kelemahan Umat
Jika
ditinjau lebih jauh, masyarakat muslim di berbagai pelosok Indonesia
terpecah-pecah dalam berbagai sekat kelompok, organisasi dan model dakwah
variatif lainnya, dengan klaim masing-masing kelompok paling benar. Realita
itulah yang menyebabkan kekuatan dakwah tercecer.
Berbicara tentang
dakwah berarti berbicara risalah Islam. Sudahkah ia terimplementasi dengan baik?
Seberapa jauh pemahaman dai kita tentang metode dakwah Rasulullah? Seberapa
banyak dai yang diterjunkan ke dalam masyarakat? Setingkat apa kualifikasi
mereka? Bagaimana intensifitas dakwah mereka? Sejauh mana mereka dapat
menghindarkan masyarakat muslim dari keterperosokan moral? Pertanyaan-pertanyaan
ini penting untuk direnungkan, mengingat bahwa kebangkitan umat Islam dari
multidimensi yang dialaminya sangat bergantung pada keberhasilan peranan dakwah.
Dalam tataran lokal (Indonesia), kelemahan dakwah telah sampai pada
tingkat yang luar biasa, sehingga sulit mengharapkan sebuah kebangkitan Islam
dalam jangka waktu yang pendek. Indikasi kelemahan tersebut antara lain sebagai
berikut.
Masih meratanya tingkat kebodohan tentang Islam.
Banyaknya syirik, bidah, khurafat, dan takhayul.
Dekadensi moral
yang mengerikan.
Permusuhan antar-umat yang kerap terjadi hanya karena
sebuah perbedaan.
Integritas pribadi para dai yang bermasalah.
Masjid-masjid banyak yang kosong dan difungsikan hanya untuk salat.
Pendidikan agama di sekolah-sekolah mengkhawatirkan.
Mayoritas
masyarakat muslim enggan menampakkan penampilan Islamnya.
Banyak daerah
yang tidak terjamah dakwah karena kurangnya dai dan diperparah oleh penyebaran
aliran sesat yang sangat luas.
Fanatisme tiap-tiap kelompok yang sulit
dipertemukan.
Dan lain-lain.
Solusi Problematika Umat:
Menegakkan Islam dengan Cara Islam
Sub-judul di atas menggambarkan
upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan
syariat Islam dengan cara yang sesuai dengan Islam. Meskipun pada kenyataannya
banyak upaya yang dilakukan umat Islam dalam menegakan kalimat Allah itu dengan
berbagai cara. Ada kalanya islami tetapi parsial, ada pula yang tidak islami
tetapi berusaha melegitimasi dengan dalil-dalil syar'i dengan lebih banyak
bersifat ijthadi pada saat ada dalil, sebab ijtihad dilakukan pada saat tidak
ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.
Karena
itu, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama
lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi
muslim, umpamanya, menekankan perjuangan Islam yang paling efektif adalah
melalui jalur politik. Sementara, para ekonom muslim menganalisis, mana mungkin
perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula
para juru dakwah, mereka harus mengemukakakan bahwa perjuangan Islam yang paling
dominan adalah dengan kembali berpegang kepada Islam agar mereka jaya, tanpa
memperinci lebih jauh apa dan bagaimana merealisasikannya, dans seterusnya.
Tanggung Jawab Personal
Kita menyadari bahwa tanggung
jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab
personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada
kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karena itu,
banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.
"Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286).
"Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri."
(An-Nisa: 84).
"Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian
dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).
Rasulullah saw.
bersabda, "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu."
Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari
segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan, yaitu "Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku."
(Adz-Dzariyat: 56).
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti
ibadah seluas-luasnya. Yaitu "segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan
kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridai Allah SWT".
"Segala apa
yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang
nampak maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1).
Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai
dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah kita sementara acuannya adalah
syariat Islam.
Karena itu, tidak benar seseorang yang belum mengerti
ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tetapi sudah sibuk bagaimana
menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak penting, tetapi prosesnya
salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab
dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di
masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi
interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat muslim sesuai dengan firman
Allah SWT, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).
Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas
kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai
pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian
adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang
menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung
jawab, dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya, dan dia akan ditanyai
tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang isteri bertanggung jawab
terhadap rumah suaminya, dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR
Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).
Dan apabila setiap individu tidak
melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban
melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah
berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).
Dalam
istilah fikih, bahwa tanggung jawab personal itu fardu ain, sedangkan tanggung
jawab kolektif adalah fardu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang
mengutamakan fardu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab
fardu ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardu
ain, juga melaksanakan fardu kifayah. Kalau tidak, maka seluruh umat berdosa.
Teladan Rasulullah
Gambaran di atas akan lebih jelas pada
personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladalan bagi perjuangan umat Islam. Dan,
mempelajari perjalanan perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong,
seperti mereka yang terperangkap dengan mengotak-kotakan masa Mekah dan masa
Madinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkannya secara
sempurna. Maka, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara
komperehensif dan mempaktikkannya sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita
seperti firman Allah SWT. "Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian
...." (Ath-Thaghabun: 16).
Dan, Rasulullah saw. memberikan arahan atas
kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani. "Sesungguhnya Allah SWT
telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya dan
telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia
mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya dan mendiamkan banyak
hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari hukumnya."
(HR Daruqutni, hadis hasan).
Dan, beliau menekankan pegangan yang harus
dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan. "Maka barang siapa
yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka
hendaklah kalian (mengikuti) sunahku dan juga sunah khulafa ar-rasyidin yang
mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian
menjauhui perkara-perkara yang diciptakan, karena sesungguhnya setiap bidah
adalah sesat." (HR Abu daud dan Tirmizi, hadis hasan).
Secara ringkas,
kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam, yaitu sebagai
berikut.
Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan
di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang
matang ditugasi menyampaikan dakwah seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke
madinah.
Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan
dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tetapi tidak cocok. Kemudian,
beliau lebih memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian,
beliau membangunn masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempaan para
kader.
Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama muslim dengan
mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau
membuat Piagam Madinah untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak
non-muslim.
Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala
upaya ofensif kaum kuffar sampai 27 kali belaiu berperang antara perang defensif
dan ofensif (seperti Perang Tabuk).
Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan
visi yaitu membangun akidah yang benar sampai kesatuan langkah. Yaitu, menuju
tegaknya kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat DR.
Robi' bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya, hlm. 87).
Karena itu, Ibnu
Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara
Islam, yaitu dengan ungkapan Jihad. Beliau membagi jihad ini menjadi 4 bagian.
1. Jihad menundukkan hawa nafsu (meliputi 4 tahap).
Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Berjihad dengan melaksanakan ilmu yang telah
diperolehnya, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti, dan bahkan
membahayakan.
Berjihad dengan menjalankan dakwah berdasarkan ilmu yang
benar dan praktik nyata.
Berjihad dengan menekan diri agar sabar terhdap
cobaan dakwah berupa gangguan manusia.
Empat hal inilah makna yang
terkandung dalam surah Al-Ashr, yang kata Imam Syafii, seandainya Allah tidak
menurunkan ayat kecuali Al-'Ashr, niscaya cukup bagi manusia.
2. Jihad
melawan setan (meliputi 2 hal).
Berjihad melawan pemikiran setan berupa
syubhat dan keragu-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah
dengan keyakinan.
Berjihad melawan setan yang membisikan agar terjerumus
kepada syahwat hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan
berpuasa. (Lihat As-Sajdah: 2).
3. Jihad melawan kaum kufar dan
munafikin (melalui 4 tahap).
Berjihad dengan qalbu.
Berjihad
dengan lisan.
Berjihad dengan harta.
Berjihad dengan tangan.
4. Jihad melawan kaum kuffar lebih utama dengan tangan, sementara
terhadap kaum munafikin dengan lisan.
Jihad melawan kezaliman,
kemungkaran, dan bidah (ditempuh melalui 3 tahap).
Berjihad dengan
tangan kalau mampu.
Kalau tidak, dengan lisan.
Kalau masih tidak
mampu, maka terakhir dengan hati. (HR Muslim).
Demikian 13 tingkatan
jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim
al-Jauziyah, Zaadul Ma'ad, Juz 3, hlm. 6--12).
Sebagai penutup, kami
kutipkan ucapan Umar bin Khattab r.a. yang artinya, "Kami adalah kaum yang
dimuliakan Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainnya, niscaya kami
akan dihinakan oleh Allah." Juga, ucapan Imam Malik rhm. yang artinya, "Tidaklah
urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah
menjadikan umat terdahulu menjadi baik." Wallahu a'lam
Post a Comment