Dekonstruksi Khilafah, Skenario Jahat di Balik Runtuhnya Khilafah
Dekonstruksi Khilafah, Skenario Jahat di Balik Runtuhnya
Khilafah
Bani Utsman, kurang lebih selama dua
abad kekuasaan mereka, telah dipimpin oleh delapan sultan, sebelum akhirnya
mereka melakukan ekspansi ke sebagian negeri Arab. Turki Utsmani sama dengan
para pendahulu mereka, seperti Turki Saljuk dan kabilah Hun. Mereka berasal
dari keturunan Mongol, atau Thurani. Mereka mulai merambah ke Eropa pada abad
ke-5 M. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah dan Utara. Etnis yang sama
juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang telah merambah ke Eropa Timur, dan menetap
di sana selama dua abad, ke-7 dan ke-9 M. Turki Utsmani adalah etnis Asia
terakhir yang telah merambah dan mendiami Eropa, bahkan merupakan negara Mongol
yang paling penting dan kuat, yang pernah lahir dalam sejarah.
Sejarah Turki Utsmani dimulai dengan peristiwa agung, yang notabene menunjukkan
kepahlawanan dan kesatriaan mereka.
Pada pertengahan abad ke-13 M, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil
di Asia Tengah, yang telah dikalahkan oleh Mongol —di bawah pimpinan Artoghul,
kepala suku Turki Utsmani— menyusuri Asia Tengah, berdekatan dengan Ankara .
Ketika mereka menyaksikan dua kelompok berperang, yaitu Kekaisaran Romawi
dengan Dinasti Saljuk Rum, yang berpusat di Iconium di bawah pimpinan Sultan
‘Alauddin, maka para pemuka kabilah kecil ini tak punya pilihan lain, kecuali
melibatkan diri dalam peperangan ini, karena dorongan naluri berperang mereka
demi melindungi pihak yang lemah, sehingga Artoghûl dan sekutunya (Sultan
‘Alâ’uddîn) yang lemah tersebut menuai kemenangan. Kabilah kecil dan tokohnya,
Arthaghul, inilah yang merupakan cikal bakal Turki Utsmani. Dialah bapak
Utsman, yang namanya kemudian digunakan untuk menyebut negara yang dibangunnya.
Setelah Artoghul meninggal dunia pada tahun 1288 M, anak tertuanyalah yang
kemudian menggantikannya. Dialah Utsman. Utsman dikenal sebagai pemimpin yang
mempunyai keberanian luar biasa untuk mengalahkan kabilah dan trah yang
berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan ‘Alauddin untuk mengangkatnya menjadi
pemimpin dan menjadikannya sebagai penguasa yang independen di semua wilayah
yang telah ditaklukkannya.
Pada tahun 1300 M, Mongol telah menyerang Daulah Saljuk di Asia Kecil, dan
berhasil menghancurkannya. Sultan Alauddin kemudian meninggal, lalu tiap emir
melepaskan diri dengan wilayahnya sendiri-sendiri; Utsman pun akhirnya
memisahkan diri dan mempunyai kekuasaan tersendiri. Dari sanalah kekuasaannya
sedikit demi sedikit berkembang hingga beliau mendengar penaklukan Bursa , ketika beliau tengah
terbaring menjelang kematiannya. Utsman memberikan perhatian besar pada
strukturisasi tentara dan pemerintahan sehingga namanya menjulang, dan
negaranya pun menjadi besar. Namanya begitu dikenal dan disebut-sebut di
kalangan para pemimpin sehingga dia disebut sebagai pendiri negaranya. Karena
itu, negaranya dinisbatkan kepada dirinya.
Pada tahun 1336 M, Utsman meninggal, kemudian digantikan oleh puteranya,
Ourkhan, yang memang telah dilatih dengan berbagai kegiatan peperangan dan
pemerintahan, hingga berhasil menguasai Bursa, dan menjadikannya sebagai
ibokuta bagi negara baru ini. Dengan manuver inilah, keluarga Utsman telah
mendekati Konstantinopel, ibukota Bizantium.
Sebelum perang di antara kedua pemerintahan ini berlangsung —yang satu negara
muda, kuat, dan berambisi untuk mengembangkan kekuasaannya; sedangkan yang satu
lagi negara tua, yang mulai merosot dan sebelum sampai ke Konstantinopel,
Ourkhan terlebih dulu menduduki Izmir .
Dia melihat pentingnya dilakukan sejumlah pembenahan, yang kelak akan mempunyai
pengaruh langsung bagi kemenangan yang akan diraih Turki Utsmani, pertama-tama
di Asia Kecil, kemudian di Eropa. Dia menaklukkan Nicomedia (Izmit) dan Nicaea (Iznik) serta negeri-negeri Asia dan Bizantium yang lain. Setelah itu, selama 20 tahun,
dia mengokohkan pilar-pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan internal
negara, serta mendirikan angkatan bersenjata baru, yang dikenal dengan
Inkisyâriyah. Angkatan bersenjata inilah yang dalam kurun waktu cukup lama
menjadi penopang kekuatan negara Utsmani, baik dalam peperangan maupun
penaklukan.
Ketika Muhammad II bin Murad II naik tahta, dia segera merealisasikan cita-cita
kaum Muslim sejak zaman permulaan Islam untuk menaklukkan Konstantinopel hingga
cita-cita itu benar-benar berhasil diwujudkan pada tahun 857 H/1453 M.
Akhirnya, dia dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih (Muhammad sang Penakluk),
dan tak lama kemudian Islâm bûl —atau yang kini dikenal dengan Istambul— itu
menjadi ibukota negara Utsmani, dan menjadi titik tolak untuk melakukan penaklukan
ke seluruh Eropa, setelah sebelumnya penaklukan telah terhenti, dengan
meninggalnya Abdurrahman al-Ghafiqi, di bagian Selatan Prancis. Tak lama
kemudian, Muhammad al-Fatih bertolak untuk menundukkan Murrah , Serbia ,
dan Bosnia .
Beliau juga melakukan tekanan terhadap Italia, Hungaria, dan Jerman. Akhirnya,
Tharabzun dan Cremia di kawasan Asia pun
tunduk kepadanya. Setelah itu, dia kembali untuk menaklukkan Jerman dan
beberapa bagian wilayah Italia, namun dia meninggal dunia sebelum bisa
merealisasikan rencananya untuk menaklukkan Rodesia.
Dia kemudian digantikan oleh putranya, Yazid II, yang telah berhasil mewujudkan
kemenangan armada laut Utsmani yang pertama, melawan armada Bunduqiyah
(Italia). Kekuasaannya kemudian diserahkan kepada anaknya, Salim I. Dialah yang
kemudian menjadi sultan Utsmani yang paling besar dan mendapatkan kemenangan
serta penaklukan paling banyak. Dia menyerang Sultan Safawi, Shah Ismail, yang
telah berusaha menyebarkan mazhab Syiah, dan mengembangkan kekuasaan Persia hingga
ke Irak. Dia berhasil dikalahkan di Galadiran, berdekatan dengan Tibriz. Sultan
Salim I kemudian menduduki Diyarbakar dan Kurdistan ,
yang merupakan langkah awal untuk menaklukkan Syam dan Mesir, seiring dengan
kemenangannya di Maraj Dabiq dan Raidaniyah. Pada saat itu, Kekhilafahan Islam
secara syar‘î telah berpindah ke tangannya, setelah Khalifah al-Mutawakkil
Alallah, Khalifah Abbasiyah terakhir di Mesir, menyerahkan tampuk kekhilafahan
kepadanya. Sultan Salim I pun resmi menjadi khalifah kaum Muslim di seluruh
dunia sejak tahun 923 H/1517 M. Dia kemudian meninggal setelah 8 tahun
berkuasa. Syarif Makkah juga telah menyerahkan kunci-kunci dua tanah suci,
Makkah dan Madinah, kepadanya.
Setelah itu, dia digantikan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566
M). Era kepemimpinannya dianggap sebagai era Kekhilafahan Utsmani yang paling
jaya berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa,
sementara Khilafah Utsmani telah meninggalkan jauh negara-negara Eropa, di
bidang militer, sains, dan politik. Sulaiman juga telah berhasil menaklukkan Belgrade dan mengambil
Rodesia dari pasukan berkuda Santo (Karel Agung) Yohana. Dia menuai kemenangan
atas Hongaria dalam pertempuran Mouhackz, serta berhasil menaklukkan Armenia
dan Irak, hingga armada laut Khilafah Utsmaniah disegani di seluruh perairan
laut; mulai dari Laut Putih, Laut Merah, hingga Samudera Hindia —meskipun
kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan berkuda Santo Yohana, penguasa
kepulauan Malta. Kepulauan ini merupakan pemberian Charles V, ketika mereka
diusir oleh tentara Khilafah Utsmaniah dari Rodesia pada tahun 1522 M.
Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Sulaiman al-Qanuni merupakan zaman
kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Hanya dalam waktu 3 abad, kabilah kecil
ini berhasil melebarkan sayap kekuasaannya dari Laut Merah, Laut Tengah, dan
Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Makkah hingga Budapest di satu sisi dan dari Baghdad hingga ke
Aljazaer di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam pun jatuh ke
tangannya. Sebagian besar Kerajaan Austria dan Hongaria pun jatuh ke
tangannya. Kekuasaan mereka sampai di bagian utara Afrika dari arah negeri Syam
hingga perbatasan Marokesh. Setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia pada
tahun 974 H/1566 M, negara mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.
Realitas Politik Dalam Dan Luar Negeri Khilafah Ustmaniah Menjelang Keruntuhannya
Politik dalam negeri di sini, maksudnya adalah penerapan hukum-hukum Islam oleh
negara di dalam negeri, ketika negara menerapkan hukum-hukum Islam di dalam
wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya; mengatur muamalah, menegakkan hudûd,
menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar dan
ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam.
Semua ini dilaksanakan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Islam.
Dalam hal ini, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah
Utsmaniah. Pertama, faktor buruknya pemahaman Islam. Kedua, faktor kesalahan
dalam menerapkan Islam. Sebenarnya, buruknya pemahaman dan kesalahan dalam
menerapkan Islam ini bisa diperbaiki ketika Khilafah Utsmaniah dipegang oleh
orang yang kuat dengan keimanannya yang tinggi, namun sayangnya kesempatan ini
tidak dimanfaatkan dengan baik. Sulaiman, yang dijuluki al-Qânûni, karena
jasanya mengadopsi undang-undang (al-qânûn) sebagai sistem yang diterapkan
dalam Khilafah Utsmaniah, yang ketika itu juga seorang khalifah yang sangat
kuat, justru menyusun undang-undang berdasarkan mazhab tertentu, yaitu mazhab
Hanafi, dengan kitab Multaqâ al-Abhur (Pertemuan Berbagai Lautan)-nya yang
ditulis Ibrahim al-Halabi (w. 1549 M). Padahal, Khilafah Islam bukanlah negara
mazhab. Dengan kata lain, semua mazhab Islam seharusnya mempunyai tempat di
dalam negara dan bukan hanya satu mazhab. Dengan tidak dimanfaatkannya
kesempatan emas ini untuk melakukan perbaikan, pemahaman Islam yang buruk dan
penerapan Islam yang salah selama ini tidak pernah diperbaiki. Sebagai contoh,
dengan diadopsinya undang-undang oleh Sultan Sulaiman, seharusnya penyimpangan
dalam pengangkatan khalifah bisa dihindari, namun justru kasus ini tampak tak
tersentuh oleh undang-undang. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman
al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak
mempunyai kelayakan, atau lemah. Sebut saja kasus Sultan Musthafa I (1026
H/1617 M), Utsman II (1026-1031 H/1617-1621 M), Murad IV (1023-1049 H/1622-1640
M), Ibrahim bin Ahmad (1049-1058 H/1639-1648 M), Muhammad IV (1058-1099
H/1648-1687 M), Sulaiman II (1099-1102 H/1687-1690 M), Ahmad II (1102-1106
H/1690-1694 M), Musthafa II (1106-1115 H/1694-1702 M), Ahmad III (1115-1143
H/1703-1730 M), Mahmud I (1143-1167 H/1703-1727 M), Utsman III (1168-1171
H/1758-1761 M), Musthafa III (1171-1187 H/1757-1773 M), dan Abdul Hamid I (1187-1203 H/1773-1788 M). Inilah yang
kemudian mendorong pihak militer, Inkisyâriyah —yang dibentuk oleh Sultan
Ourkhan— kala itu melakukan kudeta; masing-masing pada tahun 1525, 1632, 1727
dan 1826 M. Akhirnya, Inkisyâriyah dibubarkan tahun 1241 H/1785 M. Di samping
itu, kemajemukan rakyat, baik dari segi agama, etnik, maupun mazhab memerlukan
penguasa yang kuat, baik secara intelektual maupun yang lain. Jadi wajar,
tampilnya penguasa yang lemah ini pada akhirnya memicu terjadinya gerakan sparatisme,
seperti yang dilakukan oleh kaum Druz yang dipimpin oleh Fakhruddin bin
al-Ma‘ni.
Inilah yang juga menyebabkan politik luar negeri Khilafah Islam, yaitu dakwah
dan jihad yang bertujuan untuk melakukan penaklukan, telah terhenti sejak abad
ke-17 M. Berhentinya penaklukan ini juga menyebabkan jumlah pasukan
Inkisyâriyah semakin membesar, melebihi pasukan dan pegawai pemerintah biasa,
sementara pemasukan negara semakin merosot. Kenyataan ini menyebabkan ekonomi
Khilafah Utsmaniah terpuruk, ditambah banyaknya praktik suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatan mereka
untuk menumpuk kekayaan dan menjilat Sultan. Ditambah dengan menurunnya
pendapatan pajak yang dipungut dari komoditas dari Timur Jauh yang melintasi
wilayah Utsmaniah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga
komoditas tersebut bisa diekspor langsung ke Eropa. Semua ini menyebabkan mata
uang Utsmaniah tertekan, sementara sumber pendapatan negara, seperti bahan tambang , tidak mampu menutupi kebutuhan uang yang
terus meningkat.
Pada paruh kedua abad ke-16 M, telah terjadi krisis moneter, ketika emas dan
perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru (Amerika) melalui
kolonial Spanyol. Mata uang Utsmaniah ketika itu benar-benar terpuruk; inflasi
melambung. Mata uang Barah diluncurkan oleh Khilafah Utsmaniah pada tahun 1620
M tetap tidak berhasil menyelesaikan inflasi. Kemudian, dikeluarkan pula uang
Qisry pada abad ke-17 M. Faktor-faktor ekonomi inilah yang menjadi sebab
pasukan Utsmaniah di Yaman melakukan pemberontakan pada paruh kedua abad ke-16
M. Dengan kehidupan pejabat yang korup seperti itu, akhirnya negara harus
menanggung utang sebesar 300 juta lira.
Dengan tidak dijalankannya politik luar negeri sesuai dengan hukum Islam, yaitu
dakwah dan jihad, mafhûm jihad sebagai metode untuk mengemban ideologi Islam ke
luar negeri hilang dari benak kaum Muslim, termasuk para khalifahnya. Ini
terlihat dengan jelas pada tindakan Sultan Abdul
Hamid Khan ketika meminta syaikh al-Azhar agar membacakan
Shahîh al-Bukhâri di al-Azhar supaya Allah memenangkan Sultan atas Rusia dalam
peperangan yang berlangsung pada bulan Rajab tahun 1203 H. Sultan kemudian
meminta Pasha (Gubenur) di Mesir kala itu agar memilih sepuluh ulama dari
berbagai mazhab untuk membaca Shahîh al-Bukhâri setiap hari.
Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel pada abad ke-15,
Eropa-Kristen telah melihatnya sebagai awal dari masalah ketimuran (al-mas’alah
as-syarqiyyah), hingga abad ke-16 M, saat terjadinya penaklukan sebagian besar
wilayah Balkan, seperti Bosnia dan Albania, serta Yunani dan kepulauan Ionia.
Masalah ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) menyatukan
negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama, antara sesama
Kristen, yaitu Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah
diselenggarakanya Konferensi Westavalia tahun 1667 M. Pada saat yang sama,
penaklukan Khilafah Utsmaniah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Memang,
setelah kekalahan Khilafah Utsmaniah atas Eropa (Paus Paulus V, Spanyol,
Hungaria dan Perancis) dalam Perang Lepanto tahun 1571 M, Khilafah nyaris hanya
mempertahankan wilayahnya. Kelemahan Khilafah Utsmaniah pada abad ke-17 M itu
juga dimanfaatkan oleh Austria
dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M),
wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan
sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan,
Khilafah Utsmaniah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah
kekalahannya dengan Rusia dalam Perang Crimea
pada abad ke-18 M, dan semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San
Stefano (1878) dan Berlin
(1887 M).
Menghadapi kemerosotan tersebut, Khilafah Utsmaniah sebenarnya telah melakukan
reformasi (ishlâh) sejak abad ke-17 M, yang diteruskan pada abad-abad
berikutnya. Namun, lemah pemahaman Islam justru telah menyebabkan reformasi ini
gagal. Sebab, ketika itu para penguasa Khilafah Utsmaniah tidak bisa membedakan
antara hadhârah dan madaniyah; antara sains/teknologi dan tsaqâfah. Kelemahan
para penguasa ini dimanfaatkan untuk membentuk struktur baru dalam negara, yang
ketika itu dikenal dengan shadr al-a‘zham (perdana menteri). Struktur seperti
ini tidak dikenal dalam sejarah Khilafah Islam, kecuali setelah terpengaruh
dengan tradisi demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh Khilafah Islam. Pada
saat yang sama, para penguasa dan juga syaikh al-Islâm ketika itu mulai membuka
diri terhadap demokrasi melalui fatwa-fatwa syaikh al-Islâm yang penuh
kontroversi. Bahkan, dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M semakin
mengokohkan tsaqâfah Barat, setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti
Undang-undang Acara Pidana (1840 M), dan Undang-undang Dagang (1850 M),
ditambah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang
berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.
Di dalam negeri, ahli dzimmah —khususnya orang Kristen— yang mendapatkan hak
istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak
dengan kaum Muslim. Bahkan, kemudian hak-hak istimewa inilah yang akhirnya
dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing dengan
jaminan perjanjian. Masing-masing, antara Khilafah Utsmaniah dan Bizantium
(1521 M) serta Prancis (1535 M) dan Inggeris (1580 M). Dengan hak-hak istimewa
ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Inilah
yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris yang mulai melakukan gerakannya
secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat
gerakan mereka. Dari sanalah, mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620
M, dan tinggal di sana
hingga tahun 1773 M. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia
Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka.
Pusat-pusat kajian ini kebanyakan milik Inggeris, Prancis, dan Amerika. Gerakan
inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban intellectual leadership mereka
di Dunia Islam, disertai dengan serangan-serangan mereka terhadap pemikiran
Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis
Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan center of the Oriental Studies
(pusat kajian ketimuran).
Jadi, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai dunia
Islam, Islam —meminjam istilah Imam al-Ghazali— sebagai asas harus dihancurkan,
dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk meraih tujuan
yang pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang
pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan yang kedua, mereka sengaja
menghembuskan paham nasionalisme, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah
Utsmaniah, dengan sebutan the Sick Man (orang yang sakit). Supaya kekuatan
Khilafah Utsmaniah lumpuh, sehingga dengan mudah bisa dijatuhkan dengan sekali
pukulan, maka dilakukan upaya intentif untuk memisahkan wilayah Arab dan
wilayah lain dari Khilafah Utsmaniah. Dari sinilah, lahir gerakan-gerakan
patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Bahkan, gerakan-gerakan keagamaan
juga tak luput dari eksploitasi, seperti kasus Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak
pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui
agennya, Ibn Sa‘ud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dan
sekitarnya, yang sebelumnya tidak berhasil dilakukan oleh Inggris melalui
gerakan kesukuan. Meskipun demikian, laju gerakan ini di beberapa wilayah
akhirnya berhasil dibendung oleh Khilafah Utsmaniah melalui Muhammad Ali Pasha,
Gubernur Mesir yang —ternyata juga agen Prancis— didukung oleh Prancis.
Sementara itu, di wilayah Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh
Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan, sejak abad ke-19 M
hingga abad ke-20, seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir
Krisis Balkan. Begitulah, akhirnya Khilafah Utsmaniah kehilangan banyak
wilayahnya, dan yang tersisa akhirnya hanya Turki.
Konspirasi Barat Dan Yahudi Menghancurkan Khilafah
Seperti telah dimaklumi, nasionalisme dan sparatisme yang telah dipropagandakan
oleh negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia sengaja dilakukan
untuk menghancurkan Khilafah Islam. Keberhasilan mereka menggunakan sentimen kebangsaan
dan sparatisme di Serbia ,
Hongaria , Bulgaria , dan Yunani mendorong
mereka untuk menggunakan cara yang sama di seluruh wilayah Khilafah Islam.
Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di wilayah Arab dan Turki. Sementara
itu, kedutaan besar Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis
Khilafah Islam yang lain —seperti Baghdad, Damaskus, Beirut, Kaero dan Jeddah—
telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, telah dibangun dua
markas, Beirut
dan Istambul. Markas Beirut memainkan peranan jangka panjang, yaitu mengubah
putra-putri umat Islam agar menjadi kafir serta mengubah sistem Islam menjadi
sistem kufur. Sedangkan markas Istambul memainkan peranan jangka pendek, yaitu
memukul Khilafah Islam dengan telak.
Kedutaan-kedutaan negara Eropa juga mulai aktif menjalin hubungan dengan orang
Arab. Di Kairo, dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai oleh Rafiq
al-‘Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan
Prancis mulai menyusup di tengah orang-orang Arab yang cenderung memperjuangkan
nasionalisme. Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab telah mengadakan
kongres di Paris, dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di
Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka
kepada Khilafah Utsmaniah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.
Sementara itu, di Markas Istambul, negara-negara Eropa tidak hanya puas dengan
merusak putra-putri umat Islam di sekolah-sekolah dan universitas-universitas
melalui propaganda. Mereka ingin memukul Khilafah Islam dari jarak dekat dengan
telak. Caranya adalah dengan mengubah sistem pemerintahan Islam dan hukum Islam
dengan sistem pemerintahan ala Barat dan hukum-hukum kufur. Kampanye mulai
dilakukan oleh Rasyid Pasha, menteri luar negeri zaman pemerintahan Abdul Majid
I, pada tahun 1839 M. Tahun yang sama, Honourable Script —yang dikenal dengan
dengan Khalkhanah— yang dijiplak dari perundang-undangan Eropa diperkenalkan.
Pada tahun 1855 M, negara-negara Eropa, khususnya Inggris, telah memaksa
Khilafah Utsmaniah untuk melakukan amandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah
Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855 M. Midhat Pasha, salah seorang
anggota Free Masonry, pada tanggal 1 September 1876 M diangkat menjadi Perdana
Menteri. Midhat membentuk panitia Ad Hoc untuk menyusun UUD, sebagaimana yang
dikehendaki oleh Inggris. Komisi ini berhasil menyusun UUD berdasarkan
Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun,
konstitusi ini ditolak oleh Sultan Abdul Hamid
II, dan Sublime Port pun tidak bersedia melaksanakannya,
karena dinilai bertentangan dengan Islam. Medhat Pasha pun akhirnya dipecat
sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 1908 M, Turki Muda yang berpusat di Salonika —pusat komunitas Yahudi Dunamah— melakukan
pemberontakan. Khalifah dipaksa oleh Turki Muda, yang menjalankan hasil
keputusan Konferensi Berlin, untuk mengumumkan UUD yang diumumkan oleh Turki
Muda di Salonika, dan tanggal 17 Nopember 1908 merupakan tanggal pembukaan
parlemen yang pertama dalam Khilafah Utsmaniah. Bekerjasama dengan syaikh
al-Islâm, Sultan Abdul Hamid II
akhirnya dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika .
Sejak saat itulah, sistem pemerintahan Islam telah berakhir.
Namun, Inggris tampaknya belum puas sebelum menghancurkan Khilafah Utsmaniah
secara total. Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh Inggris untuk
menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan.
Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak
popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan
dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kemal Pasha, seorang agen Inggris,
keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu akhirnya menjalankan agenda Inggris,
yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam. Pada tahun
1919 M, dia menyelenggarakan Konggres Nasional di Sivas, yang berhasil
menelorkan Deklarasi Sivas. Deklarasi ini mencetuskan kemerdekaan Turki dan
negeri-negeri Islam yang lain dari penjajah, sekaligus melepaskan negeri-negeri
tersebut dari Khilafah Utsmaniah. Irak ,
Syria ,
Palestina, Mesir, dan lain-lain kemudian mendeklarasikan konsensus kebangsaan
sehingga masing-masing menjadi negara merdeka. Pada saat itulah, sentimen
kebangsaan semakin mengental, seiring dengan lahirnya Pan-Turkisme dan
Pan-Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib
sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
Perseteruan Antara Mustafa Kemal Dan Khalifah
Sejak tahun 1920 M, Kemal Pasha telah menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya.
Setelah Inggris berhasil menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman
politik, dengan menawan banyak pejabat negara, dan menutup kantor-kantor dengan
paksa sehingga bantuan Khalifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas
terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan Khalifah dan
sebaliknya memihak kaum nasionalis. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Kemal
Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional, yang menobatkan dirinya sebagai
ketuanya. Karena itu, pada saat itu ada dua pemerintahan; pemerintahan Khilafah
di Istambul, dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional yang berpusat di Ankara . Meski
kedudukannya semakin kuat, Kemal Pasha tetap tidak berani membubarkan Khilafah.
Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan draft yang mengatur pemisahan
antara Khilafah dengan kesultanan (pemerintahan). Namun, setelah perdebatan
panjang di Dewan Perwakilan Nasional, draft Kemal Pasha ini ditolak. Kemal
Pasha pun mencari alasan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Nasional ini.
Caranya adalah dengan melibatkan Dewan Perwakilan Nasional ini dalam berbagai
kasus pertumpahan darah. Setelah krisis memuncak, Dewan Perwakilan Nasional ini
diusulkan agar mengangkat Kemal Pasha sebagai ketua Parlemen, yang diharapkan
bisa menyelesaikan kondisi kritis tersebut.
Setelah resmi dipilih menjadi ketua parlemen, Kemal Pasha mengumumkan
kebijakannya; mengubah sistem khilafah dengan republik, yang dipimpin seorang
presiden yang dipilih melalui pemilihan umum. Pada tanggal 29 Oktober 1923 M,
Kemal Pasha dipilih oleh Parlemen menjadi presiden Turki yang pertama. Namun,
karena track record Kemal Pasha yang dikenal buruk di mata kaum Muslim,
ambisinya untuk membubarkan Khilafah Islam ini tidak mulus. Mustafa Kemal Pasha
dianggap murtad, dan rakyat pun mendukung Sultan Abdul Majid, serta berusaha
mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tidak menyurutkan langkah Kemal Pasha.
Justru sebaliknya, dia melancarkan serangan balik, dengan melakukan penyesatan
politik dan pemikiran, bahwa siapa saja yang menentang sistem republik adalah
pengkhianat bangsa, dan harus dihukum mati. Akhirnya, berbagai teror dilakukan
oleh Kemal Pasha untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Pada saat yang
sama, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing sehingga harus dienyahkan.
Setelah situasinya kondusif, Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan
Nasional, dengan draft keputusan yang sudah di tangan. Tepat pada tanggal 3
Maret 1924 M, Kemal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem
khilafah dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur
yang dilakukan oleh Kamal Attaturk, la‘natu Allâh ‘alayh.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan, bahwa faktor utama yang menyebabkan
kemunduran dan hancurnya Khilafah Utsmaniah tak lain adalah buruknya pemahaman
keislaman umat Islam dan kesalahan dalam menerapkan Islam pada waktu itu. Dari
kedua faktor inilah, persoalan-persoalan derivat lainnya lahir dan berkembang.
Akhirnya, berbagai konspirasi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis
Barat dengan mudah mendapatkan tempat. Inilah yang juga menjadi pintu masuknya
orang-orang non-Muslim, termasuk mata-mata asing, di dalam negeri, sehingga
gerakan misionaris bergerak dengan leluasa di negeri-negeri Islam, sembari
menyebarkan racun nasionalisme dan patriotisme. Dari sinilah, gerakan-gerakan
nasionalisme dan patriotisme, yang menuntut kemerdekaan negeri mereka, yang
notabene akan menyebabkan wilayah mereka terlepas dari Khilafah Islam itu
bermunculan. Karena faktor yang sama, usaha mulia dan brilian Sultan Abdul Hamid II melalui Pan-Islamisme-nya pun kandas
di tangan para anggota Free Masonry, yang notabena adalah putra-putri umat
Islam.
Lepasnya wilayah Islam, satu persatu dari negara induk menyebabkan lemahnya
kekuasaan Khilafah Utsmaniah sehingga yang tersisa hanya Turki. Dengan
mundurnya taraf pemikiran politik umat dan penguasa pada saat itu, upaya
Inggris, Prancis, dan Rusia untuk menyeret Khilafah Utsmaniah dalam Perang
Dunia I pun tak terbendung. Kekalahan pihak Jerman-Utsmaniah ini menyebabkan
Khilafah Utsmaniah tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara
pemenang perang. Akhirnya, tinggal sekali pukulan telak, institusi yang telah
rapuh ini telah cukup untuk diruntuhkan. Eksekusi itu diserahkan pada Markas
Istambul, dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai eksekutornya.
Post a Comment