Menjemput Fajar kebangkitan Umat


Menjemput Fajar kebangkitan Umat


Sudah 25 tahun sejak 1401 Hijriah ditandaskan sebagai awal kebangkitan umat. Sudahkah umat di ambang kemenangan?

DR. Yusuf al Qardhawy, ulama Qatar yang telah menjadi milik umat Islam internasional memberikan beberapa ukuran tentang kebangkitan umat. Dalam sebuah tulisannya, Qardhawi berpendapat, ciri khusus kebangkitan umat kontemporer adalah sebuah kebangkitan yang tidak saja bermodal semangat. Apalagi hanya ungkapan verbal dan slogan. Kebangkitan yang benar adalah kebangkitan yang didasarkan pada komitmen Islam dan adab-adabnya. Bahkan pada sunnah-sunnahnya pula. 

Abad 15 Hijriah oleh para pakar Islam disebut-sebut sebagai abad kebangkitan Islam. Seperempat abad sudah, sejak dicetuskan tahun 1401, kebangkitan umat terus berjalan. Dinamika terus terjadi, terlebih pasca peristiwa 11 September 2001. Sebuah studi yang dilakukan oleh American Jews Committee memperkirakan jumlah Muslim di Amerika saat ini sekitar 6,7 juta jiwa. Dr. Tom W. Smith, seorang ahli penelitian yang terlibat dalam studi tersebut mengatakan, sejak peristiwa 11 September 2001, populasi Muslim mengalami peningkatan yang luar biasa. Bahkan ada yang menyebutkan, sepanjang tahun 2002 saja, sebanyak 33 ribu mualaf tercatat di berbagai Islamic Center di seluruh Amerika.

Adakah peningkatan jumlah populasi Muslim di jantung kapitalis, Amerika itu bisa dijadikan indikasi sebuah langkah kebangkitan? Ustadz Anis Matta, tokoh yang banyak mencermati perkembangan dunia Islam mengatakan, ada beberapa indikasi yang bisa ditangkap sebagai simbol kebangkitan. Misalnya fenomena maraknya jilbab, bank dan lembaga keuangan Islam yang menjamur tidak saja di negara Islam tapi juga di negara-negara sekuler sekalipun. “Ini belum lagi ditambah fenomena masjid sebagai tempat ibadah yang ramai dibanding tempat ibadah umat lainnya di seluruh dunia. Begitu juga dengan buku-buku Islam yang mendominasi hampir seluruh pasar dunia,” ujar Anis Matta yang juga tercatat sebagai Sekjen Partai Keadilan Sejahtera ini.

Anis menambahkan, hal yang ia sebut di atas hanya beberapa simbol saja dari gejala sosial yang menghendaki kebangkitan umat. “Banyaknya non-Muslim yang menjadi Muslim, baik di Eropa maupun di Amerika juga benar-benar menjadi fakta sosial-politik tentang kebangkitan umat,” ujarnya lagi. 

Tapi buru-buru Anis mengatakan, sebaiknya dalam hal ini jangan digunakan pendekatan sudut pandang sukses atau gagal. “Yang harus kita kembangkan adalah memandang fenomena ini sebagai proses pertumbuhan. Apakah pertumbuhan ini cepat atau lambat. Jika cepat apa penyebabnya, jika lambat apa penghambatnya?”

Dengan segala indikasi positif yang terjadi, Anis berharap tidak melenakan umat untuk terus melakukan konsolidasi. “Peradaban Islam yang sedang naik ini belum terlalu tinggi naiknya, sedangkan peradaban Barat yang sedang berkuasa belum terlalu jauh pula turunnya. Peradaban Barat itu memiliki banyak pilar, sebagian pilar sudah runtuh tapi sebagian lagi masih kukuh,” ungkap Anis.

Lebih lanjut Anis menyebutkan, pilar-pilar yang rapuh dan runtuh dari peradaban Barat adalah aspek spiritual, moral dan juga kemanusiaan. “Orang-orang Barat sendiri sudah tidak terlalu yakin dengan nilai-nilai kemanusiaan mereka sendiri. Bahkan mereka percaya bahwa Barat itu imperialis yang sadis dan tidak manusiawi. “Sementara itu ada aspek lain seperti kekuatan ekonomi, sistem pertahanan dan militernya, juga teknologi yang mereka punya masih cukup kuat untuk dibuat bertahan,” katanya lagi.

Di lain pihak, peradaban Islam yang sedang merayap naik mengalami kebalikan dari itu semua. “Pertumbuhan spiritual umat Islam ini luar biasa dahsyat, perbaikan moralnya pun begitu cepat. Tapi pada saat yang sama, secara kasat mata, kekuatan di bidang ekonomi, politik, pertahanan dan teknologi belum nampak sama sekali,” ujar Anis.

Harapan tentang sebuah kebangkitan juga diungkapkan oleh Ustadz Ihsan Arlansyah Tandjung. Ustadz yang dikenal mendalami masalah-masalah tentang Zionis dan Yahudi ini mengatakan masa depan umat Islam sangat cerah. Namun tentang kebangkitan, Ihsan Tandjung sedikit berbeda dalam terminologi penyebutan. “Saya lebih setuju jika disebut kebangkitan umat bukan kebangkitan Islam. Sebab, jika kita sebut kebangkitan Islam, seolah-olah Islam pernah jatuh lalu kini bangkit lagi. Al Islam ya’ lu wala yu’la alaihi, tidak ada yang menandingi ketinggian Islam,” tegasnya pada SABILI.

Selanjutnya Ihsan Tandjung mengatakan, meski optimis atas masa depan Islam, umat harus pula realistis dengan kondisi sekarang. “Umat ini masih banyak tertinggal dibanding umat lain. Bahkan kepemimpinan dunia saat ini bukan orang-orang beriman yang memegangnya, tapi di tangan orang-orang yang tidak mau ruku’ dan sujud kepada Allah. Kepemimpinan dipegang oleh para kafir harbi yang memiliki jiwa permusuhan terhadap Islam,” tandasnya lagi.

Untuk mengawali sebuah kebangkitan umat, Ihsan Tandjung mengatakan sudah banyak acuan tahapan yang telah dirumuskan oleh para ulama. “Salah satunya apa yang telah dirumuskan oleh asy Syahid Imam Hasan al Banna dalam arkanul baiahnya,” terang Ihsan.

Dalam arkanul baiah ada satu bahasan tersendiri yang mengupas rukun-rukun beramal umat Islam, arkanul al amal. Ada tujuh tahapan yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin untuk mewujudkan peradaban Islam. Membina pribadi Muslim menempati urutan pertama dalam grand design perjuangan Islam. Kemudian mencetak keluarga Muslim, selanjutnya irsyadul mujtama’ atau membimbing masyarakat. Setelah tiga tahapan tersebut, tahrirul wathan atau membebaskan negeri dari dominasi pihak-pihak asing harus menjadi langkah selanjutnya. Setelah memerdekakan negeri, langkah selanjutnya adalah islahul hukumah, memperbaiki umat dan pemerintahan yang ada. Tahap keenam adalah mengembalikan Khilafah Islamiyah dan ketujuh mewujudkan peran umat Islam sebagai soko guru peradaban serta rahmatan lil alamin.

Ihsan Tandjung juga menambahkan, selain ketujuh tahapan yang dirumuskan Imam Hasan al Banna, setidaknya ada tiga kekuatan pula yang harus dimiliki oleh umat Islam. Pertama, umat harus memiliki kekuatan akidah yang sempurna. Kemudian mampu membangun kekuatan ukhuwah atau persaudaran dan yang juga menentukan adalah kekuatan shilah, atau persenjataan. “Persenjataan ini harus diartikan seluas-luasnya. Senjata ekonomi, politik, keuangan bahkan senjata dalam arti sesungguhnya,” tukasnya.

Menurut Ihsan Tandjung, hingga saat ini dirinya belum melihat seluruh kompenen kaum Muslimin punya agenda mewujudkan tiga kekuatan tersebut. “Saya melihat sebagian umat Islam masih terlalu senang bersibuk-sibuk dengan kelompoknya saja,” katanya prihatin. 

Soal centang perenangnya berbagai gerakan Islam, dirasakan juga oleh Habib Rizieq Shihab, dari Front Pembela Islam. Setelah melakukan evaluasi terhadap gerakannya selama ini, Habib Rizieq yang baru saja keluar dari rumah tahanan Salemba ini menyimpulkan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah merapatkan barisan. “Kita tidak boleh membuat jarak sedikitpun antar gerakan dan aktivis Islam. Mulai dari NU, Muhammadiyah, Hidayatullah, aktivis Tarbiyah, MMI, Hizbut Tahrir sampai pada unsur gerakan yang kecil-kecil harus bersatu. Sinergikan semua kekuatan, dengan pembagian tugas dan peran masing-masing. Jika sudah demikian, insya Allah akan terjadi kejutan-kejutan yang luar biasa di ke mudian hari,” kiat Habib Rizieq bersemangat.

Jika sudah kokoh barisan dan sinergi kekuatan, Habib Rizieq menitipkan pesan agar potensi dakwah yang dimiliki oleh berbagai gerakan dan aktivis Islam mampu sosialisasi sampai jauh ke bawah. “Selama ini sepertinya kita belum benar-benar sampai ke bawah. Saya pernah ke Tanjung Pinang, ada seorang ibu yang selalu memasang nomor undian. Dia bertanya kepada saya, apakah itu termasuk judi. Dalam hati saya sangat prihatin dengan keadaan ini,” katanya pedih.

Habib Rizieq mengatakan, ibu yang ia temui di Tandjung Pinang itu adalah gambaran umum masyarakat Islam Indonesia sekarang ini. “Banyak orang yang sama sekali belum tersentuh oleh dakwah,” katanya lagi.

Habib Rizieq membayangkan, seharusnya kader-kader dakwah tidak segan-segan untuk turun ke sawah, pantai, pasar-pasar, menyapa tukang becak, ke pabrik-pabrik. Tidak saja menunggu orang datang ke masjid atau mushalla untuk diberi ceramah. “Kita jangan menunggu, kumpulkan petani, nelayan, lalu makan siang bersama dengan mereka di bawah saung yang rindang sambil memberikan pengetahuan dan dakwah secara rutin dan berkesinambungan. Lihat saja tukang becak-tukang becak di Pantura (Pantai Utara, red) mereka pulang ke rumah seminggu sekali. Tiap hari tidur, makan di becak. Mandi turun ke kali. Mereka nggak ada waktu ke masjid, nggak ada waktu ikut tabligh apalagi mengaji,” ujarnya.

Untuk orang-orang seperti ini, para aktivis dan kader dakwah harus giat-giat mendekati mereka. “Sekarang sudah saatnya kita turun, merangkul dan mengajak mereka,” katanya lagi.

Jika jalan ke arah sana sudah dirintis, menurut Habib Rizieq, insya Allah akan ada kejutan-kejutan yang diberikan oleh Allah. “Wong sekarang saja kelompok-kelompok anti Islam sudah mengambil langkah-langkah yang tidak masuk akal lagi untuk membendung Islam ini, dengan kemajuan yang sekarang kita capai.”

Cara-cara irasional yang dimaksud Habib Rizieq itu adalah, tuduhan para ulama sebagai teroris, pelarangan jilbab di negara-negara besar, dan perburuan aktivis gerakan Islam.

Langkah yang sama dianjurkan pula oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, kawan satu blok Habib Rizieq dalam Rumah Tahanan Salemba. “Konsentrasikan seluruh kekuatan kita untuk membenahi diri. Setelah itu perkenalkan pada dunia, apa dan bagaimana Islam yang sebenarnya. Jika orang sudah mengartikan Islam dengan sebenar-benarnya, baru kita bisa bangkit!” tegas Ustadz Abu, panggilan akrab Kiai Ngruki ini.

Masih menurut Ustadz Abu, saat ini belum saatnya umat Islam merebut kekuasan dan mengembalikan kebangkitan. “Kita belum sampai pada tahapan itu. Umat saat ini harus berjuang jangan sampai umat Islam ditindas,” katanya saat ditemui SABILI di Rutan Salemba.

Bagi ustadz yang berkali-kali dituding sebagai teroris ini, ada dua pintu yang harus dimasuki oleh umat Islam untuk meraih kemenangan. “Pintu pertama dakwah, pintu kedua jihad. Ada juga ulama yang mengatakan dakwah, amar ma’ruf nahyi munkar dan jihad. Intinya, jangan pisahkan dakwah dan jihad,” tegasnya.

Menurut Uztadz Abu, kondisi dulu dan kini sebenarnya sama belaka, tak ada yang berbeda. “Dalam menegakkan Islam, dari dulu sampai sekarang sama, dakwah wal jihad. Mungkin hanya beda saran dan taktiknya saja. Substansinya sama.”

Tapi diam-diam, ada yang merisaukan ustadz sepuh ini di tengah-tengah masa depan cerah yang menanti umat. Menurutnya, ada semacam virus yang sekarang sedang menyebar di tubuh umat Islam. Jika tak diantisipasi dan berhati-hati, virus ini akan membalik keadaan yang sudah baik menjadi buruk. “Sekarang ini saya melihat ada penyakit seperti yang disebutkan Allah, kullu hizbin bima ladaihim faarihun, mereka terlalu bangga dengan golongan dan kelompok masing-masing. Silahkan berkelompok, tapi ingat harus saling ta’awun alal birri wattaqwa. Pada cabang kita boleh berbeda, tapi pada prinsip dan pangkal kita harus selalu satu,” serunya.

Lewat SABILI, Ustadz Abu menitipkan agar setiap gerakan dakwah, apapun namanya senantiasa membentuk pribadi-pribadi tangguh, berjiwa tauhid dan tidak mau tunduk kecuali kepada Allah saja. “Teruskan pembinaan umat, jangan sampai kita diperbudak oleh kaum kafir. Lahirkan para mujahid thaifah manshurah, orang-orang yang membela agama Allah!”

Ya, benar. Kebangkitan tidak bisa ditunggu, ia harus dijemput dan diwujudkan. Kebangkitan umat atau kebangkitan umat tak bisa diharapkan akan jatuh tiba-tiba dari angkasa. Kebangkitan harus diperjuangkan dan ditebus dengan pengorbanan. Pengorbanan harta, airmata, darah juga nyawa. Dan yang pasti, seperti kata ulama-ulama bijak, tegakkan dulu Islam di hatimu, maka Islam, insya Allah akan tegak di muka bumi ini. Amin. 

Tidak ada komentar