Hikmah di Balik Beriman kepada Takdir
Hikmah di Balik Beriman kepada Takdir
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tiada 
(pula suatu bencana) menimpa dirimu kecuali telah tertulis di dalam kitab 
(al-Lauh al-Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu 
adalah mudah bagi Allah. Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput 
darimu, dan supaya kamu tidak merasa bangga dengan apa yang telah diberikan-Nya 
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan 
diri." (Al-Hadiid: 22--23). 
Beriman kepada qadar baik dan buruk adalah salah satu rukun 
iman yang wajib diyakini oleh setiap mukmin. Itu merupakan awal dari tawakal 
kepada Allah dalam segala usaha yang dilakukannya. Dengan iman pada qadar setiap 
mukmin akan optimis dan selalu optimis dalam segala tindak tanduk dan perbuatan 
serta usahanya. Karena setelah ia mencurahkan segala kemampuan yang ada padanya, 
ia akan bertawakkal kepada Allah semata dalam hasil yang akan dicapainya. 
Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Dia tidak melakukan 
dan menetapkan sesuatu pada hamba-Nya kecuali ada hikmahnya. Lagi pula Dialah 
yang mengetahui apa yang baik dan buruk bagi hamba-Nya. Dengan modal iman akan 
qadar baik dan buruk, dan bahwa semua itu telah ditulis di al-Lauh 
al-Mahfuzh, seorang mu'min akan siap jiwa raga menerima apa pun hasil yang 
diraih, apa pun yang menimpanya. Jika buruk yang dicapai, atau musibah yang 
menimpa, itu tidak akan membuatnya sedih dan larut dalam kesedihan dan duka 
lara. Jika ia tidak mencapai apa yang diinginkannya walau pun sudah mengerahkan 
segala daya upaya, ia tidak akan berkecil hati karenanya. Ia tahu bahwa apa yang 
disukainya belum tentu baik baginya, dan apa yang dibencinya belum tentu buruk 
baginya. 
Sebaliknya, jika kesuksesan dan keberhasilan serta untung yang diraihnya, ia tidak serta merta merasa bahwa itu semua merupakan hasil jerih payahnya semata. Ia sadar bahwa semua itu adalah karunia Allah semata. Ia tidak akan menyombongkan dirinya dengan segala keberhasilan itu. Tentunya dengan menyadari ini semua ia tidak akan kikir atau pelit dalam berbagi dengan sesama sebagian dari keberhasilan dan keuntungan yang diraihnya.
Sebaliknya, jika kesuksesan dan keberhasilan serta untung yang diraihnya, ia tidak serta merta merasa bahwa itu semua merupakan hasil jerih payahnya semata. Ia sadar bahwa semua itu adalah karunia Allah semata. Ia tidak akan menyombongkan dirinya dengan segala keberhasilan itu. Tentunya dengan menyadari ini semua ia tidak akan kikir atau pelit dalam berbagi dengan sesama sebagian dari keberhasilan dan keuntungan yang diraihnya.
Jika iman akan qadar baik dan buruknya kurang mantap, hal itu 
akan membawa dampak negatif pada seseorang dalam menyikapi segala yang terjadi 
dalam kehidupan dunia ini. Apabila buruk yang diraih dan menimpanya ia akan 
larut dalam kesedihan dan kepesimisan. Bahkan akan mudah tumbuh subur di hatinya 
rasa dengki dan iri terhadap orang lain yang berhasil. Namun jika keberhasilan 
dan kesuksesan yang diraihnya, secara perlahan akan tumbuh rasa bangga dan 
sombong dalam jiwanya, karena merasa bahwa apa yang diraihnya adalah hasil 
usahanya semata. Akibatnya ia akan membanggakan diri pada orang lain, kikir dan 
pelit untuk berbagi, kecuali ada tujuan tertentu. Itulah sifat si Qarun, yang 
dulunya miskin, kemudian menjadi kaya raya setelah Allah mengabulkan doa nabi 
Musa 'Alaihissalaam untuk si Qarun. Kekayaannya melimpah ruah, sampai-sampai 
kunci gudang-gudang penyimpanan hartanya tidak mampu diangkat oleh beberapa 
orang yang kuat. Tetapi, rupanya dia tidak tahu diri dan tidak mau bersyukur. 
Dia malah membanggakan dirinya bahwa apa yang dimilikinya adalah karena 
kepintarannya. Dia lupa bagaimana dia dulu merengek-rengek kepada nabi Musa 
'Alaihissalaam agar didoakan supaya Allah memberinya kekayaan. Dia kikir dan 
pelit luar biasa, karena baginya ia tidak perlu berbagi dengan orang-orang 
miskin yang bodoh menurutnya. Akhirnya, Allah menenggelamkan si Qarun dan 
seluruh harta kekayaannya ke dalam perut bumi tanpa ada yang tersisa.
Itulah salah satu contoh orang congkak akan segala nikmat yang 
diraihnya. Ia tidak menyadari bahwa baik dan buruk merupakan qadar yang sudah 
Allah tetapkan di al-Lauh al-Mahfuzh, dan bahwa semua itu adalah ujian 
baginya. Kalaulah seseorang menyadari hal yang demikian, ia akan sadar bahwa ia 
tidak punya alasan untuk menyombongkan diri atas orang lain, apalagi di hadapan 
Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam.
Post a Comment