IMAN TERHADAP QODLO DAN QODAR
IMAN TERHADAP QODLO DAN QODAR
I. MUKADIMAH
Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa
diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang
Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali.
Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan
sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia.
Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah
ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi
hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan
tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.
Dengan
bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang
mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak
berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT. Ia akan berubah
menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa
sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu
bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya.
Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.
“Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,”
(al-Hadiid: 22-23)
“Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
(al-An’aam: 59)
“Tiada
seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga.
Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya,
Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah …karena setiap
orang dimudahkan (dalam beramal).’ Kemudian, beliau membaca ayat ini, ‘Adapun
orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya
jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan
mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya
(jalan) yang sukar (al-Lail: 5-10).’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi
Thalib)
“Sangat
mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung kebaikan.
Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali orang mukmin;
apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah
kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia
bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari, Abu Yahya
Shuhaib bin Shinan)
II.
DEFINISI
DAN DALIL-DALILNYA
Secara etimologi, qadha memiliki
banyak pengertian sebagaimana berikut.
-Pemutusan, hukuman. Kita bisa temukan pada ayat
berikut ini.
(QS…..)
-Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada
firman Allah di bawah ini.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia.” (al-Israa`:23)
-Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat berikut
ini.
“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara
itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (al-Hijr: 66)
Imam az-Zuhri berkata, “Qadha
secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan
dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib
al-Hadits, Ibnu al-Atsir 4/78)
Adapun qadar secara etimologi
berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran yang berarti penentuan.
Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini.
“Dan dia menciptakan di
bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia
menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa.
(Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Fushshilat: 10)
Dari sudut terminologi, qadha
adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali.
Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan
(qadha).
Ibnu Hajar berkata, “Para ulama
berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali
(secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian
kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)
Ada juga dari kalangan ulama yang
berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada
zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya, qadha dan qadar ini
merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain
terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau
pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di
antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii
Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).
Dalil-dalil Qadha dan Qadar
Beriman kepada qadha dan qadar
merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan
sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam
(aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar,
maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan
mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa
Syeikh al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada
qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus
dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut
ini.
-Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin
Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman.
Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab,
Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR
Muslim)
-“Sekiranya Allah SWT menyiksa penduduk langit
dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya
Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan
sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu
infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman
terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak
akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu,
dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu
masuk neraka.” (HR Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)
Perhatikan beberapa ayat Allah
dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadiid: 22-23)
“Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
(al-Qamar: 49)
“(Yaitu di hari) ketika
kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah
yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu
mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak
sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah
mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti
dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang
nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata
(pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfaal: 42)
Tidak ada suatu keberatan
pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah
menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu
dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)
“Yang pertama kali
diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam).
Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya
tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada
sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
“Tiada
seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di
surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya,
Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap
orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun
orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya
jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan
mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya
(jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang
mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta
mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5-10)
III.
RUKUN-RUKUN
IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
Beriman kepada qadha dan qadar
berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak
tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang
mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti
satuan anak tangga tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar
memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama, Ilmu Allah SWT. Beriman
kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan
deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu.
Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia
ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga
mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan
terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam
beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.
“Allah-lah yang menciptakan
tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar
kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan
sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)
“Dialah Allah Yang tiada
Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 22)
“Dan pada sisi Allah-lah
kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,
dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji
pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
(al-An’aam: 59)
“Allah lebih mengetahui
apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)
Kedua, Penulisan Takdir. Di
sini mukmin harus beriman bahwa Allah SWT menulis dan mencatat takdir atau
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah
yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada
suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,”
(al-Hadiid: 22-23)
“Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan
di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh
Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)
“Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun
dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (al-An’aam: 38)
“Yang pertama kali
diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam).
Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku
tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada
sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah
(Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah
mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak)
Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti
terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun
yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan
menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia
tidak menghendakinya. Allah berfirman,
“Dan tiada sesuatu pun
yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Faathir: 44)
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah
sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.
“Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam.” (at-Takwiir: 29)
“Dan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita.
Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan
barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya
berada di atas jalan yang lurus.” (al-An’aam: 39)
“Sesungguhnya keadaan-Nya
apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka
terjadilah ia.” (Yaasiin: 82)
“Siapa yang dikehendaki
Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama
ini.” (HR
Bukhari)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i
ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang
Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku
kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada
Engkau menciptakan
hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu
ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta
Kepada
(hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong
dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada
yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang
jahat dan sebagian mereka ada yang baik
Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika
beriman terhadap qadha dan qodar, seorang mukmin harus mengimani bahwa
Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada
Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Allah menciptakan segala
sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”
(az-Zumar: 62)
“Yang kepunyaan-Nya-lah
kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu
bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan
Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.”
(al-Furqaan: 2)
“Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ (ash-Shaaffat: 96)
“Sesungguhnya,
Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.”
(HR Hakim)
Inilah empat rukun beriman kepada
qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di
antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai
gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat
rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan
ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan
pada bangunan tauhid itu sendiri.
IV.
MACAM-MACAM
TAKDIR
Takdir ada empat macam. Namun,
semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali
kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut
adalah sebagai berikut.
Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali).
Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum
diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah SWT memerintahkan al-Qalam (pena)
untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari
kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(al-Hadiid: 22)
“Allah-lah yang telah
menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan
langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR Muslim)
Kedua, Takdir Umuri.
Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika
pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini
mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda
Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian Allah mengutus
seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat
perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia... .” (HR Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu
takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman
Allah berikut ini.
“Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
(ad-Dukhaan: 4-5)
Ahli tafsir menyebutkan bahwa
pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai
dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan
peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada
Lauh Mahfudz.
Keempat, Takdir Yaumi.
Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam
satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni
dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah,
“Semua yang ada di langit
dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (ar-Rahmaan: 29)
Ketiga
takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah
ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
V.
BERDALIH
DENGAN QADAR DALAM KEMAKSIATAN DAN MUSIBAH
Semua yang ditakdirkan oleh Allah
SWT selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang
telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan
keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan
keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah SWT, melainkan dinisbatkan
kepada amal perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat
Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT.
“Apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa`: 79)
Maksudnya, segala kenikmatan dan
kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang
menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.
Allah membenci kekufuran dan
kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan
meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk
hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah satu
jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih
jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan
atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan
secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun
sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari
kehendak Allah SWT.
Maka, tidak ada alasan dan hujjah
lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya
karena takdir Allah SWT. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik
yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam
firmanNya;
“Orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami
dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami
mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum
mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami.
Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya
kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu
tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi
kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.”
(al-An’aam: 148-149)
“Dan berkatalah
orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah
sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula
kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat
orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain
dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul
yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” (an-Nahl: 35)
Adapun berhujjah dengan takdir
atas musibah yang menimpa manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog
yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani
Adam dari surga.
“Adam dan Musa
berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang
telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu,
wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu
dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana
Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’
Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah
Musa.’” (HR
Muslim)
VI.
BUAH IMAN
KEPADA QADAR
Muslim yang meyakini akan qadha
dan qadar Allah SWT secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam
kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau
harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas
kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua
senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.
DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam
kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar
sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan
kesyirikan.
Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya,
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat.” (al-Ma’arij: 19-22)
Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka
apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang
merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (al-A’raaf: 99)
Keempat, sabar dalam menghadapi
segala problematika kehidupan.
Post a Comment