TAATI ALLAH DAN RASUL-NYA


TAATI ALLAH DAN RASUL-NYA
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Q.S. Al-Hujurat:1).
Surat ini diawali dengan perintah Allah kepada orang-orang yang beriman untuk tidak menginterupsi pembicaraan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau dengan keras kepala menentang beliau. Sebaliknya, mereka diperingatkan untuk takut kepada Allah dengan cara bersabar dan mematuhi apa yang beliau katakan dalam semua urusan. Kepatuhan itu digambarkan sebagai perwujudan rasa takut kepada Allah sebab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berbicara atas kemauannya sendiri. Beliau dibimbing oleh Allah yang Maha Tinggi. Karena itu ucapan-ucapan serta perbuatan-perbuatan beliau harus dipandang sebagai petunjuk Allah. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah perantara yang dipilih Allah untuk menyampaikan pesan terakhirnya kepada ummat manusia. Point penting ini ditekankan dan diabadikan oleh Allah dalam ayat berikut, yang artinya:
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (Q.S. An-Najm:3-4).
Kita diharuskan untuk menghormati Al-Qur'an dan mendengarkan pesan-pesannya dengan tenang, berdasar firman Allah, yang artinya:
"Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." (Q.S. Al-A'raaf:204)
Kita juga diharuskan untuk menghormati Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendengarkan keterangan-keterangan beliau dengan penuh kesungguhan. Ibnu Abbas, ahli tafsir terbesar di kalangan para sahabat, menambahkan dimensi lain pada ayat ini, juga ayat-ayat yang serupa. Beliau menafsirkan ayat itu dengan arti bahwa orang-orang yang beriman seharusnya tidak mengatakan apapun yang dapat dianggap menentang Al-Qur'an dan As-Sunnah. Secara figuratif, seseorang diumpamakan berada langsung di hadapan Allah ketika ia membaca kalam-Nya. Demikian pula ketika ia mempelajari hadits, yang menggambarkan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia harus merasa seolah-olah sedang berhadapan dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena itu, "Kehadiran Allah dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam" dapat dimisalkan sekarang ini dengan Al-Qur'an dan sunnah. Demikian pula sifat mendahului atau kurang ajar di depan Allah dan Rasul-Nya. Karenanya dapat pula diterapkan bagi orang yang membuat keputusan kilat semata-mata berdasarkan pada membaca (Al-Qur'an) sepintas lalu atau membuat penafsiran-penafsiran Al-Qur'an dan sunnah tanpa dasar dan tanpa otoritas. Mendahulukan pendapat pribadi atau pengaruh lingkungan kultural di atas wahyu-wahyu Allah dalam Al-Qur'an dan sunnah dapat dianggap sebagai kekurangajaran di depan kehadiran Allah dan Rasul-Nya. Kita harus berhati-hati ketika menerangkan prinsip-prinsip Islam, supaya tidak terdapat pernyataan-pernyataan yang berlawanan dengan maksud Allah dan Rasul-Nya secara tidak sengaja, yang kemungkinan menyebabkan orang lain tersesat. Jika suatu waktu kita memiliki pemikiran yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunnah, kemudian ketidakbenaran pemikiran itu terbukti belakangan, seorang mu'min yang baik harus segera membuang konsep-konsep pemikirannya yang salah itu dan menyerah pada perintah-perintah otentik Allah dan Rasul-Nya. Jika tidak, misalnya orang tersebut mempertahankan pemikiran dan amalan kelirunya itu dengan dalih warisan nenek moyang, maka ia sebenarnya tidak lebih baik dari orang-orang musyrik Makkah yang menjawab da'wah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berkata, yang artinya:
"Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." (Q.S. Az-Zukhruf: 22).
Orang tersebut juga berdosa karena berdasarkan firman Allah, yang berarti:
"Apakah kamu beriman pada sebagian Al-Kitab (taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?" (Q.S. Al-Baqarah:85).
Inilah dosa yang menyebabkan Allah mencela orang-orang Yahudi.
Sebaliknya seorang mu'min seharusnya bersikap sebagaimana firman Allah, yang berarti:
"Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya!" (Q.S. Ali 'Imran:32).
Tanpa sedikit pun bimbang dan ragu. Jika tidak, keislaman orang tersebut -Islam artinya ketundukan kepada Allah dan Rasul-Nya- patut dipertanyakan.
Allah lalu menutup ayat ini dengan peringatan untuk takut kepada-Nya setiap waktu. Sebab, hanya dengan mengingat Allah, mengharapkan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya dapat menciptakan perbaikan nyata dan abadi atas perilaku manusia. Ayat ini lalu diakhiri dengan dua sifat Allah yang keduanya dapat menciptakan keadaan benar-benar sadar akan Allah pada segala kondisi bagi orang yang memahami implikasi dua sifat tadi. Allah Maha Mendengar segala ucapan, rencana maupun makar, dan Dia Maha Mengetahui segala kekurangajaran terhadap Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, Al-Qur'an, maupun terhadap sunnah semuanya diketahui oleh Allah. Barangsiapa berani melakukan perbuatan semacam itu akan dikenai perhitungan amal.

Tidak ada komentar